Tertegun. Itulah ketika pertama kali membaca puisi karya Syukur Budiardjo. Puisi-puisinya begitu hangat, menyengat juga memikat layaknya sepasang mata yang menjadi jendela jiwa, sebuah anugerah dari yang Maha Kuasa agar manusia melihat kehidupan dengan kesadaran melalui matanya. Mata yang membuka pikiran dan perasaannya. Mata sebagai indera terkuat untuk fokus menatap harapan di masa depan, menutup pintu kelam masa lalu dan melihat ke dalam diri (introspeksi) agar mampu melihat keluar tentang kesadaran dan kebesaran Ilahi. Silakan dibaca dan mari kita renungkan. (Redaksi)
[iklan]
Puisi-puisi Syukur Budiardjo
Sajak Mata Gadis Itu
/1/
Mata gadis itu menyapa senja
yang dilumuri garis-garis wajah lelaki.
Menanti angin membawa nyanyi
asmarandana. Ketika sunyi menjelaga.
/2/
Mata gadis itu mendengar ringkik
kuda jantan. Berlari di panas terik
padang sabana. Mencumbu bau gerai
rambutnya. Mengoyak biru sansai.
/3/
Mata gadis itu menanti isyarat
matahari. Menggelucak di antara batas
impian dan harapan. Gairah memekat.
Kapan waktu akan mendekat.
Jakarta, 3 November 2015
Kisah Sepasang Mata Indah dan Secangkir Kopi
“Selamat pagi!” Sepasang mata indah menyapa secangkir kopi. Lama menatapnya. Kemudian mengenangnya. Sebelum bibir merah merekah menyentuhnya. Bibir cangkir memintanya untuk teguk pertama.
“Sudahlah, kita akhiri saja! Karena engkau diam-diam menyimpan nama lain. Juga foto. Di dalam album dan buku harianmu. Tak perlu dipertahankan. Tak perlu dilanjutkan. Jika ini beraroma pengkhianatan!”
Pada teguk kedua, terbayang hijau telaga. Air menggigir. Angin berdesir. Langit biru. Serombongan belibis terbang mengoyak senja. Mengayuh dayung. Perahu tak lelah menyisir. Seolah mengekalkan cinta!
Pada teguk ketiga, terbayang rinai hujan. Mengguyur wajah, juga tubuh. Pinus dan cemara. Mengiring berjalan. Tak ada resah, juga keluh, Seolah cinta tak kan merapuh!
Pada teguk keempat, terbayang belati. Mengajaknya bunuh diri. Darah meruah. Rindu mengalah. Senyum matahari dan bulan, juga bau parfum melambai. Seolah cinta telah selesai!
Pada teguk terakhir, sepasang mata indah berbinar. Ketika kopi pagi diseruput lelah hatinya pudar. Hidup tak selamanya manis. Tak selamanya pahit. Berkelindan. Telah dirasakan. Telah ditemukan. “Selamat pagi, kawan!” Suaranya lirih tapi menyenangkan.
Jakarta, 5 November 2015
Sajak Mata Harimau
/1/
sepasang mata harimau jantan
di belantara. menyapa betina,
juga anak-anaknya. kuku tajam
membelai. seringai dan auman
memecahkan cemburu purnama.
/2/
mata tajamnya mencabik kelam.
mengirim kabar kepada semesta.
malam diliput kabut gurau senda.
hingga pagi menyapa. malam
tersuruk. mata tajamnya membenam.
Jakarta, 28 Oktober 2015
Sajak Mata Elang
/1/
sepasang mata elang betina
melayang. mencumbui angkasa.
matanya menyihir semesta
hingga aku tersungkur, dinda.
/2/
ketika kau menakik senja
mata pedangmu lumerkan baja
yang mengeram di hati. iba
menjaga marwah. senantiasa.
Jakarta, 27 Oktober 2015
Syukur Budiardjo, pensiunan guru Bahasa Indonesia SMP di DKI Jakarta. Dengan suka hati menulis artikel, cerpen, dan puisi di media massa cetak, media online, dan media sosial. Tinggal di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Sukur adalah sosok nyastra dan ngartikel yang mumpuni. Saya pikir masalah mutu karyanya tak perlu diragukan atau dipertanyakan lagi. Ia konsisten dan loyal terhadap budaya tulis menulis sastra. Ia termasuk spesies yang langka. Ia layak didoakan panjang umur agar tetap berkarya. Aku suka karyanya yang polos, jujur, dan efektif.
Saya tak layak dipuji demikian Kang Ujang Kasarung. Saya mencoba konsisten atau istikhomah menulis. Justru setelah pensiun dari ASN atau PNS saya memiliki waktu yang banyak untuk menulis. Segala puji bagi Allah. Salam literasi Kang. Ayo nulis puisi di sini Kang Salam puisi.