Oleh Depri Ajopan

Aku tidak boleh terus berlarut-larut dalam kesedihan yang membakar dada ini. Masih banyak yang harus kuselesaikan. Tugas-tugasku sebagai seorang novelis menumpuk, dan masih banyak yang belum kelar. Memang tugas seorang novelis sangatlah berat. Aku harus buang jauh-jauh pikiranku tentang pernikahan, yang jelas aku belum merasa menemukan orang yang tepat untuk dijadikan teman satu atap. Entah sampai kapan aku bisa menemukannya, aku pun tak bisa mereka. Bukannya aku tidak kasihan pada ibu dan ayahku yang terus-terusan memintaku segera menikah. Kalau dipikir-pikir untuk apa aku menikah kalau terpaksa. Apa aku harus menuruti kehendak ayah dan ibu karena ada dorongan dari mereka yang merasa kasihan melihat umur anaknya yang sudah di ujung. Atau karena taksabar lagi ingin seorang cucu dariku. Kakakkukan ada, dan dia sudah punya satu anak perempuan, apakah itu belum cukup? Aku tahu agama mengajarkan, menikahlah karena dengan menikah kamu bisa menenteramkan jiwa dan menjaga kemaluanmu. Sekarang aku merasa jiwaku tenteram dalam kesendirianku. Aku mencintai kesunyian dan kesepian. Aku juga tidak terpengaruh dengan seks bebas seperti dulu. Ketika aku berpacaran dengan Kartika juga dengan perempuan lain. Waktu itu sering aku melakukan perbuatan tidak senonoh. Sekarang aku sudah bisa menjaganya dalam kesendirianku. Sudah berapa lama aku tidak pernah bermain seks. Aku juga tidak pernah lagi mimpi basah. Artinya pikiranku tidak menggeliat ke sana. Apalagi memilih menikah semata-mata karena alasan seks, pantangan bagiku.

Kalau hatiku yang condong pada perempuan itu, ketika ia datang ke rumah dan memelukku, menurutku itu suatu hal yang wajar dan normal. Sesungguhnya ia yang memulai mengajakku terjerumus bukan aku. Tugaskulah yang menepisnya jauh-jauh dari hidupku walaupun berat. Yang lebih penting insyaAllah aku bisa menjaga diri layaknya seorang gadis suci. Aku tak lupa selalu berdoa pada Tuhan ia melindungiku dari segala maksiat, termasuk seks bebas. Setelah pertemuanku dengan Asrianti, bisa kutarik suatu kesimpulan yang akan dijadikan catatan pokok dalam hidupku. Dengan hadirnya seorang perempuan jelita di sisiku bisa meruntuhkan nilai-nilai sastraku yang harmonis, aku tidak mau itu terjadi. Mengenai Asrianti lebih baik aku sirnakan saja ia dari hatiku walaupun tidak lenyap sepenuhnya. Ku akui sejujur hatiku, ada sebuah buku yang berisi tulisanku meledak di pasaran bercerita tentang dia dan aku masa-masa berpacaran. Tapi aku yakin seribu persen, tanpa kehadirannya, dan tanpa menulis kisah ia dan aku, aku tetap bisa jadi seorang nevelis. Bukankah seorang penulis fiksi yang baik itu bisa juga menulis cerita-cerita yang berangkat bukan dari kehidupannya saja. Bahkan awal mengenalnya dulu semangatku dalam menulis mulai merosot. Setelah ia memilih pergi tanpa sebab yang pasti, aku tempuh kembali aktivitasku menulis dengan rutin. Aku semakin gila menjadikan pena menari-nari di tangaku setiap hari. Aku selalu bercinta dengan kertas-kertas yang tercecer, dan juga mencicipi buku-buku yang tersusun rapi. Banyak tulisanku yang berupa cerpen di muat di koran. Dan itu tanpa menyelipkan setitikpun kisahnya yang ternoda denganku yang terluka. Aku menulis semua cerita itu murni dengan menggunakan imajinasi yang tak terlintasi dan tak terbatas. Tidak ada secercah kebahagian terbit dalam hatiku,  bahwa aku  bangga pernah jadi mantannya. Agama Islam yang kuanut dan kuyakini sejuta persen kebenarannya dengan sepenuh hati mengajarkan, berpacaran itu haram hukumnya. Pantas manusia-manusia bobrok yang pernah mengalami berpacaran sepertiku menemukan kehancuran  yang membuat hati jatuh ke jurang. Aku yang lulusan pondok pesantren tahu hukum, membaca kitab kuning dan mengartikannya secepat aku membaca koran. Tapi hukum-hukum yang tercantum di sana banyak  aku langgar. Orang sepertiku, kalau belum  juga segera bertaubat setelah ajal menjemput, akan lebih dulu disentuh api neraka, daripada penyembah berhala sekalipun. Aku memang tidak bisa melupakan kenangan masa laluku yang berlumpur dosa dengan mereka perempuan-perempuan yang pernah kusetubuhi sebelum waktunya, seperti Kartika. Dan aku yakin Kartika sendiri waktu berciuman ketika ingin melakukan hubungan intim dengan suaminya sendiri, pasti di sana ia melihat wajahku melayang-layang jadi tontonan yang membuat ia tersiksa.

Begitu juga dengan Asrianti. Ketika ia berduaan dalam kamar dengan suaminya, pasti ada bayangan wajahku terpampang di sana, walaupun aku belum pernah menyingkirkan kesuciannya. Ketika aku melakukan ciuman tarkhir itu padanya, mulutku bertemu dengan mulutnya. Aku menyimpulkan ia perempuan yang tinggi birahi. Aku tidak percaya, seandainya perempuan bernafsu tinggi itu mendatangiku ke rumah mengaku tidak pernah melakukan hubungan seksual dengan suaminya, dengan alasan tidak saling cinta, makanya mereka belum juga dapat keturunan. Padahal itu tugas dan kewajiban istri dan juga suaminya David, dan mungkin sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya. Jika itu terjadi bukan gara-gara aku. Aku tidak ikut berintervensi di sana, tapi itu murni ulah Asrianti. Aku tidak mau namaku ditarik ulur dalam masalah mereka. Apalagi untuk kembali kepadanya mengulang momen yang penuh luka. Untuk apa aku mencintai sepenuh hati perempuan yang disentuh orang lain tubuhnya secara keseluruhan. Aku mengerjabkan mata, melenyapkan ia dalam pandanganku.

Aku tidak mau ikut campur dalam perceraian mereka nanti jika itu terjadi. Apalagi jadi orang ke tiga. Setelah aku pikir-pikir, aku mencintai Asrianti dulu semata-mata karena kecantikan. Aku mencintainya karena nafsuku yang brutal. Ketika aku mencintainya dulu  belum ada iman di sana, walaupun kesetiaan itu memang sudah lahir. Menurutku mencintai dengan iman dan kesetiaan dua hal yang berbeda. Mencintai dengan kesetiaan saja tanpa diiringi dengan nilai-nilai keimanan tidak cukup. Atau sebaliknya, dia mencintai seseorang dengan nilai-nilai keimanan tanpa ada kesetiaan terisi di dalamnya, juga belum sempurna. Sebaiknya ia harus memiliki keduanya,  mencintai dengan nilai-nilai keimanan dan juga mencintai dengan kesetiaan. Sementara aku pada Asrianti waktu itu mencintai hanya dengan kesetiaan tanpa iman. Kalau sekarang, aku tidak harus mencintai perempuan bekas itu lagi. Aku tepis bayangan wajahnya yang terpampang. Kalau ia menemuiku lagi di mana pun, aku harus lari dan pergi jauh-jauh. Aku tidak boleh mengingat-ingatnya terus, apalagi menyimpan pikiran jorok untuk berbuat nyeleneh, seperti perasaan hina yang tumbuh dalam benakku ketika bertemu Kartika dulu. Sedikit saja ia menjentik hasratku, nafsuku melonjak-lonjak. Aku sudah siap menanggalkan pakaiannya sampai ia benar-benar telanjang di depanku. Dan ia pun setia dilucuti. Aku harus singkirkan dari hatiku mengenai apapun yang bersangkutan dengan perempuan yang mengganggu aktivitasku menulis, termasuk nama Asrianti. Biar saja aku hidup sendirian sampai mati, daripada ditemani seseorang yang merusak kesibukanku dalam berkarya untuk terus mengejar karir sampai bisa menyentuh langit. Apalagi sibuk memikirkan perempuan bekas dari orang lain. Sedangkan bekas dari diriku sendiri saja aku enggan menerima.

Dan sekarang, tepatnya detik ini juga aku harus melanjutkan kembali tulisanku yang hampir rampung. Aku menulis kata demi kata. Aku menyelesaikan naskahku Aku Rapuh Ketika Airmata Jatuh ke Tempat Sujudmu? Kurang lebih enam bulan, selesai kutulis, tidak meleset dari target. Aku tidak boleh ditaklukkan oleh seorang prof yang menurutku bukan saja kerdil, tapi menyebalkan. Pokoknya aku tidak boleh kalah dalam pertarungan ini. Keesokan harinya, aku fokus kembali ke layar laptop. Aku baca ulang karanganku  menggunakan pikiran jernih. Memperbaiki semua kesalahan yang aku temukan. Baik titik, tanda koma, penggunaan huruf kapital, penggunaan cetak miring, konflik yang kurang mengigit dan seterusnya. Aku bekerja sampai larut malam. Mataku yang terus menatap layar jadi perih, meneteskan beberapa titik airmata. Aku yang kelelahan mematikan laptop, menghempaskan tubuh ke atas sofa tertidur pulas. Pagi-pagi sekali, selesai shalat subuh berjamaah, dan setelah membaca kitab suci Al-quran, dan sedikit membaca koran, aku membaca ulang kembali cerita yang kususun. Aku mengedit naskahku dengan tiga kali revisi memakan waktu  tiga bulan dua minggu. Setelah itu membacanya lagi secara sekilas, kemudian memprintnya, berlari ke kantor pos mengirimnya ke salah satu penebit. Masa itu masih ada beberapa penerbit yang belum menerima naskah via email, harus dalam bentuk herdcopy. Seminggu kemudian  sepucuk surat datang.

Slalam.

Terimakasih Mas Asnul, telah mengirimkan naskah ke penerbit kami. Naskah Anda akan segera kami tindak lanjuti. Jika memenuhi sarat akan segera kami terbitkan.

Jujur, aku tidak begitu bergembira berlebih-lebihan seandainya naskahku di acc oleh penerbit. Pendeknya, aku merasa biasa-biasa saja, datar seperti tikar dibentang lurus di atas lantai. Karena sudah ada beberapa naskahku dicetak penerbit, dan laris di pasaran, bahkan sampai diterjemahkan ke beberapa bahasa asing. Bukannya aku tidak bersyukur naskahku terbit. Tulisanku diterima di penerbit, itu terjadi setelah aku lelah berjuang. Tidak seperti dulu awal naskahku masuk dan diterima penerbit mayor untuk dicetak. Sebelumnya aku menemukan penolakan berulang kali. Setelah berjuang tanpa ampun baru naskahku bisa lolos. Waktu itu naskah pertama dicetak sedikit, kalau tidak salah 20 eksmplar. Hari itu ingin rasanya aku naik ke puncak gunung, teriak-teriak menggunakan volume penuh, menyampaikan ke seluruh dunia, aku yang lolos menembus penerbit telah berhasil jadi seorang novelis. Biar semua burung-burung yang baru merenggangkan sayapnya di pagi hari tahu, binatang yang masih mengkedipkan matanya juga bisa mendengar. Pepohonan yang merunduk-runduk diterjang  hembusan angin kecil, juga ikut bergembira mendengar keberhasilanku ini. Begitu aku turun gunung, aku juga menyampaikan keberhasilanku yang gemilang ini pada tembok-tembok yang kokoh, pada pagar-pagar besi yang mengelilingi rumah, dan tentu pada setiap orang yang berpapasan denganku di jalanan. Aku juga akan berlari ke tepian pantai, lalu bernyanyi dan menyampaikan informasi bahagia itu pada ombak yang bergulung menghempas bebatuan. Inilah yang akan terjadi pada seorang penulis novel pemula. Kebahagiaannya tidak tergantikan dengan jatuhnya bulan dan bintang-bintang ke pangkuannya. Sebelum bercita-cita jadi seorang novelis, aku pernah punya impian masuk partai politik. Tapi aku dapat melihat dengan mata batin, politik itu jahat dan licik, seperti yang pernah dikatakan seorang ahli, politik cenderung untuk korupsi. Aku sependapat dengan Alexander Pope (1688-1744) sastrawan asal ingris,  menyatakan, “Party is the madness of many for the gain of a few (Parpol itu kegilaan sejumlah orang untuk kepentingan segelintir orang. Akhirnya aku memilih jadi seorang novelis. Jadi seorang penulis novel juga bukan hal yang mengasikkan kawan. Harus siap ribet dan tekun dalam menyelesaikan naskah. Hanya orang-orang yang ulet dan konsisten dalam pekerjaannya sebagai pengarang yang bisa menyelesaikan naskahnya sampai akhir cerita.

“Kau lihat sendiri begitu banyak orang-orang yang mau jadi seorang novelis, tapi tidak siap terganggu tidurnya, terbelenggu aktivitasnya yang lain. Malas berimajinasi, mudah bosan ketika bermesraan dengan komputer atau sejenisnya. Tidak mau meluangkan waktu untuk membaca, dan berkorban uang membeli buku-buku. Waktu aku diundang jadi pemateri sastra, banyak yang mengaku ingin jadi penulis novel. Tapi lewat di mulut saja. Mereka manusia-manusia yang malas berkarya tidak akan pernah jadi seorang penulis baik fiksi maupun non fiksi,” seorang novelis pernah bernasihat padaku awal-awal aku mulai menulis. Sementara aku wajib terus menulis karya sastra. Sastra adalah dunia pertama dalam hidupku. Aku tetap menulis sampai dunia ini runtuh jadi debu. Kalau aku mati tertusuk pedang, di dalam kubur arwahku juga menulis menggunakan tinta darah. Menjadi seorang penulis bukan juga hal yang menyenangkan. Apalagi jadi penulis berita jujur seperti yang pernah aku saksikan ketika bekerja sebagai wartwan di salah satu koran lokal di Padang. Rekan kerjaku seorang wartawan yang memiliki keberanian sering diancam, dan mendapat sms untuk dibunuh. Mungkin jika lama aku bertahan di sana, aku juga pasti dapat pesan yang sama-sama mengerikan. Dan aku percaya, semakin banyak ancaman menyerupai rentetan yang bertubi-tubi datang menghampiri seseorang, hatinya yang pernah gentar bisa jadi berani. Sebenarnya ia takut mati, siapa juga yang tidak takut mati. Bohong kalau ada manusia tidak takut mati. Tapi rasa takut itu tidak sampai membunuh perasaannya berbuat adil di muka bumi ini.

Depri Ajopan, S.S. Lulusan Pesantren Musthafawiah Purba-Baru, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Menyelesaikan S-1 Prodi Sastra Indonesia di UNP. Sudah menulis beberapa karya fiksi dan sudah diterbitkan. Cerpennya pernah dimuat di beberapa media cetak dan online seperti, Singgalang, Riau Pos, Jawa Pos Radar Banyuwangi, Koran Merapi, Pontianak Post tatkala.co, Kurungbuka.com, Labrak.co, LP Maarif NU Jateng, Harian Bhirawa, ayobandung.com, Mbludus.com, g-news.id, Literasi Kalbar.com, dll. Sekarang penulis aktif di Komunitas Suku Seni Riau mengambil bagian sastra.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *