Genjring Bonyok
Genjring Bonyok adalah jenis seni musik tradisional  yang tumbuh dan berkembang di Kabupaten Subang   Kesenian ini lahir dan berkembang di kampung Bonyok , desa Pangsor, kecamatan Pagaden.  Itulah sebabnya jenis kesenian ini dinamakan Genjring Bonyok. Genjring adalah alat musik sejenis Rebana yang memakai semacam anting-anting yang terbuat dari besi atau perungu sebagai hiasan.

Gambar alat musik Genjring:

Kesenian Genjring ini sudah ada sebelum jaman kemerdekaan. Di awal pemunculannya itu alat musik yang digunakan cukup sederhana sekali, hanya satu buah Beduk dan tiga buah Genjring.  Dalam perjalanannya , alat musik yang dimainkan berkembang, bertambah atau dipadukan dengan alat musik  dari jenis kesenian yang ada pada waktu  sesuai dengan keinginan masyarakat. Yaitu menjadi Genjring, Bedug, Kecrek, Tarompet dan Goong. Dengan bertambahnya alat music berarti pemainnya musiknya atau nayaganya juga bertambah, bahkan  ditambah lagi dengan sinden (juru kawih) dan penari. Kesenian tersebut berkembang sesuai dengan keinginan masyarakat yang membutuhkan hiburan.

Sebelum kesenian Genjring Bonyok lahir, di Dusun Bunut, Desa Pangsor, Kecamatan Pagaden, sekitar tahun 1960, ada sebuah kelompok kesenian Genjring Sholawat bernama Sinar Hararapan yang  dipimpin oleh Sajem. Kemudian mulai tahun 1968 sampai1975 kepemimpinan kelompok kesenian tersebut dilanjutkan oleh Talam. Namun sekitar tahun 1969, kesenian Genjring ini sudah kurang diminati oleh masyarakat sehingga jenis kesenian Genjring ini jarang tampil lagi dalam hajatan-hajatan yang diadakan oleh warga.  Kelompok kesenian ini mengalami masa suram dan nyaris tenggelam.

Di dalam masa-masa yang memprihatinkan itu, salah satu anggota kelompok Genjring Sinar Harapan, yaitu Sutarja,  berinisiatip untuk menggunakan instrumen genjring dan bedug dalam suatu bentuk kesenian yang berbeda dari bentuk kesenian sebelumnya (genjring sholawat). Inisiatip dari Sutarja tersebut mendapat dukungan dari Sajem dan Talam. Mereka kemudian mulai menciptakan bentuk kesenian Genjring yang relatif baru yang kemudian dikenal dengan nama Genjring Bonyok.

[iklan]

Proses pembentukan Genjring Bonyok tersebut dimulai dengan mengadopsi instrumen musik Tarompet yang biasa dipergunakan dalam kesenian tradisi Sunda di Kabupaten Subang. Hal ini ditandai dengan bergabungnya Taslim, tokoh seniman dari seni Sisingaan ke dalam kelompok seni Sinar Harapan. Dengan adanya tambahan alat musik Tarompet ini, komposisi musik Genjring menjadi lebih beragam, juga bisa menyajikan lagu-lagu yang sudah dikenal masyarakat dari kesenian tradisi Sunda yang lain. Sesuai dengan selera seni masyarakat pada masa itu, pertunjukan seni Genjring Sinar Harapan sering tampil bersama-sama dengan kesenian gembyung, pencak silat, sisingaan, dan reog.

Sekitar tahun 1973, kelompok kesenian Genjring Sinar Harapan pindah ke Desa Cidadap. Hal ini disebabkan pindahnya Sutarja setelah ia menikahi gadis dari desa tersebut. Sejak saat itu pula kelompok Sinar Harapan yang semula dipimpin oleh Talam diserahkan kepada Sutarja. Oleh Sutarja, nama Sinar Harapan diganti namanya menjadi kelompok kesenian Genjring dengan nama Sinar Pusaka.

Dalam perkembangan selanjutnya, setelah instrumen musik tarompet menjadi bagian dari pertunjukan Genjring. Tahun 1975 kelompok ini kembali mengadopsi instrumen musik Goong dan Kecrek. Dasar pemikirannya adalah supaya dalam penyajian musiknya terasa lebih enak didengar.

Sebagai pemimpin kelompok, Sutarja juga melatih seniman-seniman muda yang berminat pada seni Genjring. Dari sepuluh orang seniman yang dilatih Sutarja, terdapat 1 orang seniman yang berasal dari dusun Bonyok, Desa Pangsor bernama Rasita, yang kemudian membentuk kelompok seni Genjring di dusun Bonyok. Melalui kelompok Genjring yang dipimpin oleh Rasita dari Dusun Bonyok, seni Genjring mulai berkembang dan dikenai masyarakat di luar dari Kecamatan Pagaden. Dengan demikian selain dari kelompok Sinar Pusaka, masyarakat pun mulai menyukai kelompok Genjring yang dipimpin Rasita. Sejak itu seni Genjring banyak ditanggap warga masyarakat.

Seiring dengan dikenalnya bentuk kesenian Genjring ini, istilah-istilah yang ditujukan kepadanya pun mulai berkembang di masyarakat. Pada awalnya kesenian ini disebut dengan nama Genjring Ronyok. Dinamakan demikian karena jika kesenian Genjring ini disajikan, hampir seluruh arena pertunjukan dipenuhi oleh penonton yang seringkali ikut menari bersama alunan musiknya. Sehingga fenomena kesenian Genjring ini memberi kesan meriah, yang dalam bahasa setempat (Sunda) disebut dengan ronyok atau ngaronyok.

Dalam perjalanannya, yaitu pada tahun 1977 istilah Genjring Ronyok berubah menjadi Genjring Bonyok. Istilah ini muncul karena kelompok Genjring pimpinan Rasita dari Dusun Bonyok itu sering melakukan pertunjukan di dalam maupun di luar Kecamatan Pagaden. Sehingga melalui kelompok Rasita dari Desa Bonyok inilah, masyarakat luas lebih mengenal kesenian Genjring ini dengan sebutan Genjring Bonyok.

Pertunjukan dan Penyajian Genjring Bonyok
Beberapa hal yang pokok dan penting dan menunjang pertunjukan atau pagelaran seni Genjring Bonyok adalah: Waditra (alat musik), Nayaga (pemain alat musik), Juru Kawih (sinden atau penyanyi), Penari dan Busana.

Waditra atau alat musik, masing-masing punya fungsi dan peran sendiri-sendiri. Bedug, berfungsi untuk mengatur ketukan, dipukul dengan cara tertentu untuk membuat bunyi yang enak. Genjring yang jumlahnya ada tiga, berfungsi untuk menciptakan irama yang bersahut-sahutan dan mengimbangi alat musik lainnya. Gendang,berfungsi mengatur irama dan memberi tekanan musik. Kulanter, berfungsi mengikuti irama. Goong Besar, berfungsi untuk menutup akhir irama. Goong Kecil, berfungsi untuk mengisi irama. Tarompet, berfungsi untuk membawakan melodi. Kenong, jumlahnya ada 2, berfungsi untuk mengimbangi irama. Kecrek, berfungsi untuk mempertegas dan mengatur irama.

Nayaga atau pemain alat musik, pada saat pertunjukan di atas panggung posisinya duduk. Sinden duduk paling depan, dan diikuti oleh peniup Tarompet yang sejajar dengan penabuh Gendang, dan penabuh Kecrek. Baris selanjutnya adalah penabuh Genjring dan Kenong, dan di belakangnya penabuh Bedug dan penabuh Goong. Kalau memakai penari biasanya posisinya berada di depan sinden. Biasanya kesenian ini dipentaskan bersamaan dengan kesenian lain seperti sisingaan. Genjring bonyok berada di posisi belakang, setelah kesenian sisingaan.

Juru kawih atau Sinden, selain harus bisa menyanyikan lagu-lagu ketuk tilu yang standard, juga harus bisa menyanyikan lagu-lagu yang sedang populer di kalangan masyarakat seperti lagu-lagu dangdut pantura, dsb.

Penari, yang sudah memakai pakaian khusus sesuai dengan koreografi atau tarian yang akan dibawakan. Apabila seni Genjring ini diadakan  pada saat Helaran atau arak-arakan, masyarakat boleh ikut menari secara spontan untuk ikut memeriahkan acara Helaran.

Busana. Adapun busana yang dipakai oleh para personil Genjring Bonyok adalah, Nayaga memakai baju kampret, celana pangsi,  dan iket (barangbang semplak, parekos nangka),  dan selendang atau sarung. Juru kawih (sinden) memakai kebaya, selendang, sanggul, dan hiasan dari bunga melati. Penari laki-laki mengenakan baju kampret, celana pangsi, iket dan selendang. Sedangkan penari perempuan mengenakan kebaya, selendang dan sanggul.

Tempat pertunjukan

Tempat pertunjukan Genjring Bonyok bisa di dua tempat. Di jalan raya dan di atas panggung. Pertunjukan di jalan raya  dilakukan apabila Genjring Bonyok disajikan dalam acara helaran atau arak-arakan. Dalam pertunjukkan ini dilakukan sambil berjalan kaki keliling kampung. Apabila pertunjukkan di atas panggung, semua pemain dan sinden serta penari dalam keadaan duduk manis di atas panggung. (AY)

referensi:
https://www.kotasubang.com/47/genjring-bonyok

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *