Kisah Kesederhanaan yang Kini Mulai Pupus

Bukit Barisan yang membujur berkesinambungan dari Aceh hingga Lampung adalah jajaran pegunungan terpanjang di Indonesia. Di puncak-puncaknya tersembul gunung-gunung tinggi, baik yang sudah mati ataupun masih aktif, misalnya Gunung Leuser, Gunung Sinabung, Gunung Kerinci, dan gunung-gunung lainnya yang jumlahnya puluhan.

Di sepanjang Bukit Barisan itu juga tersimpan kekayaan biota, baik flora maupun fauna. Flora terkenal hingga ke Eropa, karena orang Eropalah yang menelitinya, adalah bunga bangkai atau raflesia arnoldi. Dan fauna yang terkenal adalah harimau sumatera yang hingga kini tetap setia menghuni di celah-celahnya. Sedangkan gajah sumatera saat ini mulai punah.

[iklan]

Di celah-celah bukit nan asri ini pulalah tinggal beragam suku bangsa, dari yang sudah dikenal, misalnya Suku Melayu, Suku Batak, Suku Minang, Suku Aceh dan sebaginya, hingga suku-suku terpencil yang sangat sulit dijangkau dan dikenali, seperti suku Anak Dalam, Orang Rimba, suku Munthe yang hidup di Jambi dan lain-lain.

Manakala kita membaca cerita-cerita mengenai suku-suku di atas, sungguh suatu sumber kebijakan hidup yang tak ada batasnya. Namun, rupanya kita kesulitan mencari buku-buku yang menceritakan dengan baik akan keberadaan mereka, kecuali hanya kilasan cerita pendek yang ada di berita-berita portal atau koran-koran lokal di tanah Swarnabumi itu.

Untunglah, kita punya Tere Liye. Seorang sastrawan tanah Sumatera kawakan yang memfokuskan diri dalam menulis novel. Dialah yang berhasil menceritakan dengan tuntas salah satu suku yang ada di Bukit Barisan tersebut. Dengan membuat buku berseri sebanyak 5 jilid yang masing-masing buku berketebalan 350-400 halaman, penceritaannya sungguh sangat konprehensif dan sangat memuaskan sang pembacanya.

Inilah buku seri Anak Bukit Barisan/Anak Nusantara, dengan judul ‘’Si Anak Spesial’’. Buku ini berisi cerita Suku Melayu terpencil, akan tetapi walaupun terpencil mereka tetap berpegang kepada agama Islam dengan taat dan tetap menjaga adat kemelayuannya yang menjungjung sifat gotong-royong, menghargai, sopan-santun, menjaga keseimbangan alam, menerima apa adanya, dan ikhlas dalam bertindak. Secara turun-temurun, sifat-sifat adat tersebut diwariskan ke generasi berikutnya, sehingga terbentuklah nilai-nilai keagungan dalam pendidikan kehidupan yang penuh hikmah kebijaksanaan.

Pendidikan kehidupan di dalam buku ini tetap berporos kepada Pak Bin dan Nek Kiba. Pak Bin seorang guru SD di mana anak-anak dusun tersebut sekolah, dan Nek Kiba seorang guru ngaji yang sangat telaten. kedua sosok terssebut telah menginspirasi anak-anak di kampung celah Bukit Barisan tersebut untuk bangkit dan bangkit lagi tatkala terpuruk.

Buku Si Anak Spesial memang khusus menceritakan kehidupan Burlian, akan tetapi nama-nama yang ada di buku seri lainnya, seperti Mamak, Pak Syahdan, Eli, Amelia, Pukat, dan sebagainya disebut juga sebagai pendukung alur cerita. Sebenarnya, alur cerita di buku ini adalah alur mundur-maju, yaitu penceritaan terdahulu pada waktu kampung itu masih susah; belum ada listrik, belum ada TV swasta, keculai hanya TVRI, belum ada HP, belum ada motor. Bahkan radio pun masih besar-besar sebesar bantal orang dewasa (hlm. 2-11). Jika ada telepon, itu hanya sampai di pabrik gula di tingkat kecamatan. Justru karena cerita ini beralur mundur-maju, terasa keasyikannya dalam membaca. Kita tersuguhkan kampung di celah Bukit Barisan yang asri, alami, dan penuh kenangan.

Burlian merupakan saudara dari Eli, Amelia, dan Pukat yang semuanya tokoh sentral dalam buku berseri Anak Bukit Barisan/Anak Nusantara. Burlian yang penakut menjadi anak special setelah berinteraksi dengan Ahmad Si Dekil Hitam, anak buruh dari Jawa. Burlian menjadi seorang siswa berbakat dalam teknologi sehingga setelah tamat SMA ia mendapat beasiswa belajar ke Jepang. Jadilah ia seorang insinyur satu-satunya yang berasal dari desany (hlm. 328).

Pendidikan kehidupan sejati rupanya memang terdedah dengan baik. Inilah mungkin kelebihan buku ini. Memang benar, bahwa ini ‘sekadar’ novel. Tapi pembaca harus sadar bahwa sesungguhnya karya-karya Tere Liye bukan hanya sekadar itu. Menurut peresensi, tulisan Tere Liye yang semuanya berupa novel, akan tetapi isinya benar-benar berupa ilmu pengetahuan, baik itu pengetahuan agama, pengetahuan budi, pengetahuan sosial, pengetahuan alam, pengetahuan sejarah, dan sebagaianya. Tepat juga, apabila karya ini, dan karya-karya lainnya, dikatakan ensikopedia kehidupan. Itu saking beragamnya tema yang diangkat Tere Liye dalam novelnya.

Rupanya, novel inipun perlu dimiliki para pendidik di Nusantara. Konten yang menarik dan bernilai kebangsaan mendalam adalah alasannya mengapa perlu dimiliki.

 

Ahmad Muhli Junaidi. Guru Sejarah SMA 3 Annuqayah, dan pecinta sastra sejak mondok di PP Annuqayah Daerah Nirmala (Lubangsa Utara). Resensinya telah dimuat di berbagai media, baik cetak, maupun daring. Bisa berinteraksi di email: ahmadmuhlijunaidi@gmail.com

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *