Karya sastra dan realitas sosial merupakan dua hal yang saling pantul memantul.  Artinya, realitas sosial dapat membuat para penulis menemukan inspirasi karyanya,  dan di sisi lain karya sastra menjadi sarana alternatif pendobrak kebekuan realitas sosial. Konsep ini lantas menjadi dasar kajian  sosiologi sastra yaitu bahwa karya sastra merupakan cermin dari realitas sosial atau mimesis (artinya : tiruan). Konsep keterkaitan antara sastra dan realitas sosial akhirnya membuat banyak karya sastra terasa hidup karena tidak berjarak dari kenyataan. Sebaliknya, karya sastra menjadi terasa amat dekat dengan kehidupan. Salah satu karya sastra Tanah Air yang secara gamblang memotret realitas sosial yaitu Potret Pembangunan dalam Puisi  yang ditulis oleh W.S Rendra.

Setali tiga uang, puisi Sunlie Thomas Alexander berjudul Di Tanah Kana’an  ( Jurnal Sastramedia, 2022) menerapkan sebuah potret sosial yang lugas dan tajam tentang mundurnya  peradaban. Peradaban dapat dimaknai secara sederhana sebagai kebudayaan tertinggi dalam hidup umat manusia. Bagaimana seandainya kebudayaan tertinggi mengalami kemunduran dan kemerosotan tanpa kita menyadarinya? Pertanyaan ini menjadi tema besar yang diangkat dalam puisi Di Tanah Kana’an.  Sunlie Thomas Alexander mencoba mengajak para pembaca untuk berani mengkritisi peradaban yang muram. Peradaban yang mundur oleh Sunlie Thomas Alexander dinyatakan dengan beberapa indikator yaitu barometer peradaban secara religius memudar dan timbulnya prahara pada setiap tempat.  Poin-poin dinyatakan secara gamblang dalam kutipan berikut.

di sana di Yerusalem yang terbelah
juga di seluruh Kana’an—tanah gersang
berlimpah susu dan madu
yang dijanjikan kepada abel dalam kejadian
… .
keadilan telah lama jadi obralan
setelah janjinya dikutip berulang
sebagai legitimasi untuk sebuah penjajahan
dan penindasan

Kota Yerusalem dan Kana’an  dapat diinterpretasikan sebagai simbol barometer peradaban. Dalam pandangan umat Kristiani Yerusalem adalah sebuah tempat yang menyiratkan  kesucian agama sekaligus simbol bagi keimanan. Tak hanya itu, kaum Kristiani juga meyakini bahwa kelak dalam akhir zaman Yerusalem baru akan turun. Adapun, tanah Kana’an  juga sebagai ikon umat Kristiani sebagai tempat tanah terjanji yang diberikan kepada Abraham.

Simbol peradaban religius juga muncul dalam banyak agama.  Umat Islam misalnya memiliki kota suci Makkah dan Madinah sebagai simbol peradaban iman yang luhur. Nah,  bagaimana jadinya  seandanya barometer peradaban religius yang mengalami kemunduran? Tentunya sisi moralitas manusia terdegradasi. Hal ini menjadi kenyataan pahit yang dirasakan penulis. Yerusalem yang terbelah, di seluruh tanah Kana’an gersang merupakan potret kemunduran peradaban  yang diangkat penyair Sunlie Thomas Alexander.  Melalui simbol kota suci yang hancur penulis menohok akal sehat pembaca secara lugas.

Sunlie Thomas Alexander bukan tanpa sebab menyatakan bahwa peradaban mengalami degradasi yang mendalam. Sebab utama yang disampaikan penyair sebagai kemunduran peradaban yaitu  perilaku buruk manusia itu sendiri. Hal ini tidaklah berlebihan mengingat dalam sejarah kemunduran sebuah peradaban perilaku  manusia menjadi salah satu andil dalam keruntuhan peradaban. Poin ini yang coba dikritisi sang penyair.  Kutipan berikut akan mempertegas bahwa perilaku manusia menjadi sebab runtuhnya peradaban.

keadilan telah lama jadi obralan
setelah janjinya dikutip berulang
sebagai legitimasi untuk sebuah penjajahan
dan penindasan

Bait di atas merupakan sebab utama terkait penyebab kemunduran bahkan hancurnya peradaban. Pihak yang mendapat stempel kritis dari penyair  Sunlie Thomas Alexander yaitu manusia sendiri. Sikap manipulatif, tamak, dan serakah merupakan akar utama jatuhnya peradaban. Bahkan, manusia sudah melupakan Tuhan dan berperilaku amoral. Potret ini tampaknya tidak jauh dari kehidupan sosial kita. Banyak pihak yang bertindak amoral dan menegasikan ajaran agama. Dampak perilaku demikian dirasakan amat menyesakkan bagi penyair karena menimbulkan sikap bengis dan hilangnya kemanusiaan. Hal ini  sangat  kentara pada bait-bait yang ditulis Sunlie Thomas Alexander dalam sanjaknya.

tak ada lagi Tuhan, sudah lama!
selain namanya saja
yang diserukan sebelum
tajam peluru terlepas di jalan

dan serorang bocah jatuh, dengan batu
tergenggam erat di tangan 

Tuhan sudah menjadi hal usang yang dilupakan. Selain itu, demi nafsu  binatangnya manusia berani melakukan kekerasan, perang, invasi untuk memenuhi ambisi. Lebih parahnya lagi, manusia tidak segan-segan menghabisi lawan yang tidak berdaya. Frasa seorang bocah jatuh adalah gambaran kaum lemah. Bocah menandakan sebuah kondisi kaum yang lebih lemah atau kaum yang tidak mampu melawan bengisnya kejahatan. Namun,  para pengacau peradaban tidak pandang bulu. Mereka terus menerus menghancurkan sesiapa saja.

Pemandangan menarik disampaikan penyair di akhir sajaknya. Tabiat buruk manusia yang mengancam peradaban hendaklah disikapi dengan mawas diri. Pada bait akhir penyair menyampaikan sebuah pesan  cukup menyentuh :

tapi mereka yang kelak mati muda
tahu bahwa nama tuhan tetap abadi
di setiap rekah tembok
dan kuburan-kuburan dangkal
seperti abad-abad silam

Bait di atas berisi fragmen pengingat bagi kita. Mengingat karut marutnya dunia dan kemunduran peradaban, penyair  memberikan sebuah pesan untuk tidak terbawa sikap destruktif yang menghancurkan peradaban. Pernyataan mereka yang  kelak mati muda merupakan simbol keberanian atau semangat melawan upaya penghancuran peradaban.  Sikap ini dimaksudkan penyair  agar kita tetap  kuat dan tidak rapuh terbawa arus zaman. Sebaliknya, kita dituntut  untuk berani berpegang teguh. Makna nama tuhan abadi dapat diinterpretasi pedoman kebenaran yang harus kita jaga bahkan sampai nanti kita tiba di kuburan dangkal.

Akhir kata, potret sosial tentang bobroknya dan mundurnya perdaban amat lekat dalam puisi ini. Penulis mengajak untuk tidak takabur pada zaman dan senantiasa membaca tanda-tanda zaman. Kabar tentang perang, ancaman krisis ekonomi, krisis energi depan mata, jangan-jangan bersumber dari sikap buruk perilaku kita sebagai umat manusia. Jangan-jangan, kita ikut menyumbang pula kemunduran peradaban. Mari mawas diri melalui pesan puisi Di  Tanah Kana’an.

Thomas Elisa, lahir 21 September 1996 di kota Surakarta. Penulis telah menyelesaikan program Strata-1 di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) pada Juni 2018 lalu. Karya terbaru penulis adalah novel fiksi anak berjudul Bangunnya Peri Merah (2017). Penulis mengajar di salah sekolah SMK Mikael Solo.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *