
Oleh Aldi Anugrah Saputra
Di malam yang gelap, ketika dunia tertidur dalam damai, rumah itu tempat yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, seorang gadis muda merasakan kegelapan yang lebih mengerikan daripada malam itu sendiri. Tidak ada yang tahu bahwa di dalamnya, di tempat yang dianggap suci, bersembunyi sebuah rahasia kelam yang tak pernah terungkap. Sebuah tragedi yang terjadi jauh dari pandangan, jauh dari keyakinan yang seharusnya dijaga. Dia berlari keluar dari rumahnya, tubuhnya gemetar, wajahnya penuh ketakutan, dan matanya kosong. Di belakangnya, rumah yang seharusnya menjadi tempat aman itu kini menjadi saksi bisu atas tragedi yang terjadi di dalamnya.
Di sebuah rumah sederhana di pinggiran sawah, tinggal seorang perempuan bernama Sinta bersama ayahnya, pak Agus. Sinta memiliki seorang kakak, Septiawan, yang bekerja di kota dan hanya pulang beberapa kali dalam setahun. Sejak ibunya meninggal beberapa tahun lalu, rumah yang dulu ramai dengan tawa kini terasa sepi.
Malam itu, Sinta duduk di ruang tamu, menemani ayahnya yang sedang duduk di kursi goyang. Pak Agus, seorang lelaki tua yang bekerja keras sebagai petani dan imam masjid yang baik di tengah masyarakat. Sinta merasa ada jarak antara dirinya dan ayahnya, namun dia tidak bisa menjelaskan apa yang membuatnya begitu.
Di luar rumah, angin malam berhembus pelan, dan bintang-bintang di langit tampak gemerlap. Sinta menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Dia tahu, meskipun situasi tak selalu mudah, dia bisa tetap berdiri teguh, terutama dengan cinta yang dia terima dari keluarga yang tersisa. Namun di dalam hatinya ada sesuatu yang lebih keras, lebih menusuk sebuah kenyataan yang tak bisa lagi ia hindari.
Sinta, hidup dalam bayang-bayang ayah yang dulu ia anggap sebagai pelindung. Sejak kecil, Sinta tak pernah merasakan kehangatan keluarga yang sesungguhnya. Ayahnya yang seharusnya melindunginya, justru menjadi sosok yang menakutkan di rumah. Setiap malam, ia merasa ada yang salah, tapi dia tak tahu harus bercerita pada siapa. Kenangan itu terus berputar dalam kepalanya, seperti sebuah mimpi buruk yang tidak pernah berakhir, meskipun ia sudah lama ingin melupakan.
Ayahnya. Sosok yang dulu ia pandang dengan penuh rasa hormat, yang dulu menjadi pelindungnya, kini telah menjadi bayangan gelap dalam hidupnya. Tidak ada yang bisa mempersiapkan Sinta untuk kenyataan yang datang dengan begitu kejam. Bagaimana bisa seseorang yang seharusnya menjadi sosok yang melindunginya, yang menjadi pengayom dan pahlawan dalam hidupnya, justru menjadi orang yang menghancurkannya dengan cara yang tak termaafkan?
Itu dimulai pada malam yang sepi. Ayahnya, yang selalu pulang malam dari masjid, datang dengan wajah yang tampak beda dari biasanya. Sinta yang masih terjaga, merasa cemas, namun tidak berani bertanya. Lalu, tanpa peringatan, ayahnya masuk ke kamar tempat ia tidur. Tatapan kosong di matanya, langkah yang ragu, dan suara yang tersekat-sekat. Pada malam itu, dunia Sinta berubah selamanya. Pendidikan yang pernah ia impikan sudah tidak lagi relevan dalam hidupnya.
Ibunya selalu mengingatkan untuk “tunduk pada suami dan ayah” sebagai bagian dari ajaran agama dan budaya yang sudah mendarah daging. Namun, Sinta mulai merasa ada yang tidak beres. Setiap kali ia mencoba mencari cara untuk melawan, ia selalu dihentikan dengan kalimat-kalimat yang mengatakan bahwa “ini adalah takdir perempuan. Ayahnya, yang selama ini dikenal sebagai imam yang dihormati, ternyata tidak hanya merusak ketenangan rumah tangga mereka, tetapi juga merenggut masa depan dan mimpi Sinta. Dia tidak bisa melawan, karena budaya yang mengajarkan bahwa perempuan harus taat pada ayah dan suami, apa pun yang terjadi.
Di luar sana, dunia memperlakukannya seolah-olah tak ada yang salah, seolah-olah semuanya adalah takdir yang harus diterima.
Saat peristiwa itu terjadi, rasanya waktu berhenti. Tubuhnya merasa kaku, terperangkap dalam ketakutan yang tak terkatakan. Dalam benaknya hanya ada satu pertanyaan yang terngiang-ngiang: Kenapa ini harus terjadi? Kenapa ayahku? Rasa takut menguasai dirinya, namun yang lebih mengerikan adalah rasa bingung bagaimana mungkin dia harus menghadapi kenyataan ini, bahwa orang yang paling dia cintai dan percayai, justru yang menyakitinya.
Keesokan harinya, ayahnya bertindak seolah tidak ada yang terjadi. Wajahnya kembali menjadi sosok yang familiar, dengan senyum yang tampak palsu. Sinta merasa terperangkap dalam kekosongan, dalam kebingungannya sendiri. Ia ingin berteriak, tetapi mulutnya terkunci. Ia ingin berlari, namun seolah dunia menahannya dengan tak terlihat.
Seiring waktu, rasa malu yang tak berdasar itu mulai menghantui Sinta. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di dalam keluarganya, dan ia tidak tahu bagaimana harus menceritakannya. Dunia akan melihatnya sebagai anak yang hancur, sebagai perempuan yang kehilangan harga dirinya. Di dalamnya, Sinta merasa seperti ada bagian dari dirinya yang telah direnggut, dan ia tidak tahu bagaimana cara untuk mengembalikannya.
Namun, saat ia merenung lebih dalam, Sinta mulai menyadari bahwa apa yang terjadi padanya bukanlah salahnya. Perasaan malu yang terus menggerogoti bukanlah miliknya untuk ditanggung. Ia tidak bisa terus membiarkan rasa takut dan rasa bersalah yang tidak adil itu menguasai dirinya. Karena yang sebenarnya perlu dipertanggungjawabkan adalah perbuatan ayahnya, bukan dirinya.
Di suatu titik, Ia merindukan hari-hari ceria ketika ia masih bisa bermimpi tanpa ada rasa takut yang mengintai. Tapi kenyataan memaksanya untuk memilih antara berbicara atau diam, antara melawan atau menyerah. Namun Sinta mulai mencari cara untuk berbicara. Ia mulai menemui orang-orang yang ia percayai, yang bisa mendengarkan tanpa menghakimi. Ia mencari tempat untuk melepaskan beban itu, untuk mengungkapkan semuanya tanpa rasa takut akan konsekuensi. Di antara kesedihan dan rasa sakit yang mendalam, ia menemukan bahwa berbicara bukanlah kelemahan. Itu adalah langkah pertama menuju pemulihan.
Tidak ada jalan yang mudah setelah itu. Proses penyembuhan bagi Sinta adalah perjalanan yang panjang, penuh dengan perasaan yang bercampur aduk. Ada hari-hari ketika ia merasa lelah, ada malam-malam yang sunyi ketika rasa sakit itu kembali datang. Tetapi di setiap langkahnya, ia menemukan kekuatan yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
Bagi mereka, malam adalah waktu untuk beristirahat dan menemukan ketenangan, namun bagi Sinta, malam malah mengingatkan pada kenangan buruk yang sulit untuk dilupakan. Saat orang lain menemukan ketenangan dalam malam, ia justru terjebak dalam kebingungan sendiri.
Malam yang hening membuat banyak orang merasa damai, tapi bagi Sinta, ia hanya menambah kesunyian yang semakin menyakitkan.
Sinta tahu bahwa apa yang telah terjadi tidak akan pernah bisa dihapuskan. Kenangan itu mungkin akan selalu ada, terkubur di dalam dirinya. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak akan membiarkan dirinya menjadi korban selamanya. Ia adalah perempuan yang kuat, yang meskipun dihancurkan oleh seseorang yang seharusnya melindunginya, masih bisa berdiri, berjuang untuk dirinya sendiri, dan untuk perempuan-perempuan lain yang juga menderita di tempat yang sama.
Suatu hari nanti, Sinta ingin menjadi suara bagi mereka yang terdiam, bagi mereka yang tidak bisa berbicara, yang merasa terperangkap dalam kegelapan. Karena bagi Sinta, setiap perempuan berhak untuk hidup bebas dari kekerasan, dan setiap luka, meskipun dalam, bisa disembuhkan dengan keberanian untuk menghadapinya. Dan meskipun perjalanannya berat, Sinta tahu satu hal bahwa ia tidak akan lagi diam.
Meskipun Sinta berkali-kali disetubuhi oleh ayah kandungnya sendiri, yaitu pak Agus. Ia akan berusaha terus untuk bangkit, untuk melawan!
Aldi Anugrah Saputra, lahir di Garut 10 Juni 2005. Ia seorang mahasiswa ISIF. Ia senang membaca dan suka bermain game, ia juga menyukai beberapa aktivitas olahraga seperti berenang dan bermain sepak bola.
Cerita nya kerennnn🥳
🙌