
Oleh Fauziyyah Isna Putri
Mahasiswa S1 Kimia, Universitas Sebelas Maret (UNS)
Pendahuluan
Etika politik Pancasila sangat dibutuhkan untuk mengendalikan keberlangsungan hukum politik yang berjalan di suatu negara, terlebih lagi Indonesia yang merupakan negara hukum. Etika politik Pancasila menjadi dasar bagi seorang pemimpin dan badan negara dalam menjalankan tugasnya dengan jujur, adil, bertanggung jawab, dan mengutamakan kepentingan rakyat serta persatuan bangsa. Di tingkat daerah seperti Solo juga tidak lepas dari dampak kebijakan nasional. Masyarakat Solo yang dikenal menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan persatuan tentu menaruh harapan besar terhadap penerapan nilai-nilai Pancasila dalam setiap lembaga pemerintahan. Oleh karena itu, evaluasi pelaksanaan etika politik perlu dilihat dari pusat hingga daerah. Hal tersebut dapat mewujudkan sistem pemerintahan yang sehat, sehingga cita-cita negara dapat tercapai. Etika politik Pancasila ini membuat semua elemen negara , mulai dari eksekutif, legislatif serta yudikatif bisa berjalan dengan terus mengedepankan kepentingan rakyat, untuk Indonesia yang lebih baik di setiap aspek.
Penerapan etika politik Pancasila sendiri dapat dilihat dari berbagai kebijakan dan tindakan nyata yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila dalam pelaksanaanya, baik pada lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Sebagai contoh, pada lembaga eksekutif sangat menjunjung nilai Pancasila kesatu, kedua dan kelima. Terlihat dari kebijakan dan program-program yang dikeluarkan oleh presiden dan jajaran kementerian. Program Kartu Indonesia Sehat (KIS) contohnya, Kementerian Kesehatan mengeluarkan program tersebut dengan tujuan, dapat memberikan fasilitas dan pelayanan kesehatan yang baik kepada semua rakyat tanpa terkecuali. Selain itu, terdapat juga program Bantuan Sosial (Bansos), yang disalurkan dari negara ke rakyat yang membutuhkan. Penyaluran bantuan itu melipatkan semua kepala daerah yang ada di Indonesia, sehingga penyebarannya diharapkan dapat merata. Hal ini sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, yang selalu mementingkan kepentingan rakyat secara adil dan beradab.
Implementasi dan tantangan etika politik Pancasila
Pada lembaga legislatif, yaitu jajaran DPR,DPD, dan DPRD. Lembaga legislatif sangat menjunjung nilai-nilai Pancasila terutama nilai sila ketiga dan keempat. Di mana sesuai dengan namanya sendiri yaitu Dewan Perwakilan, sehingga Lembaga legislatif ini dijadikan wadah untuk masyarakat beraspirasi dan berpendapat. Lembaga legislatif sendiri mempunyai fungsi dan tugas utama yaitu membuat undang-undang, mengawasi pelaksaannya dan juga menetapkan suatu kebijakan yang tentunya semua dilakukan untuk kepentingan rakyat. Hal ini terbukti pada bulan Maret 2025, DPR RI menolak rancangan Undang-Undang kebebasan beragama yang diusulkan oleh Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai. Rancangan Undang-undang yang diusulkan dianggap berpotensi tumpang tindih dan membingungkan, karena kebebasan beragama sudah dijamin oleh UUD 1945 pasal 29 dan Undang-undang Hak Asasi Manusia. Penolakan RUU ini dapat mencerminkan etika politik Pancasila dengan menjaga keseimbangan antara kebebasan beragama dan kesatuan hukum nasional.
Pada lembaga yudikatif, yaitu MA, MK, KY dan peradilan lainnya. Lembaga yudikatif erat hubungannya dengan keadilan sosial dan kemanusiaan serta ketuhanan. Lembaga ini memiliki tugas utama untuk menegakkan hukum, memberi keadilan dan menyelesaikan sengketa hukum. Tugas-tugas yang sangat besar tanggung jawabnya karena semua hal di Indonesia di dasarkan pada Hukum yang berlaku, baik tertulis maupun tidak tertulis, sehingga lembaga yudikatif ini sangat penting keberadaannya untuk menjaga keberlangsungan hukum di Indonesia. Hal ini terbukti pada akhir 2024, di mana Mahkamah Konstitusi menolak gugatan yang diajukan oleh Raymond Ksamil dan Indra Syahputra terkait penghapusan kolom agama pada Kartu Tanda penduduk (KTP). Penolakan ini sejalan dengan nilai Pancasila kesatu, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa negara berdasarkan Pancasila mengakui keberadaan Tuhan yang Maha Esa, sehingga penghapusan kolom agama pada KTP tidak bisa dibenarkan.
Etika politik Pancasila selalu menjadi bahasan yang hangat pada sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu dikarenakan bentuk pemerintahan Indonesia yang demokrasi dengan ideologi Pancasila. Setiap elemen pemerintah sejatinya akan selalu dimintai pertanggung jawaban, baik dengan rakyat maupun Tuhan Yang Maha Esa, karena sebelum seorang memimpin pasti akan di sumpah untuk mengikat komitmen mereka. Namun, nyatanya etika politik Pancasila belum bisa dijalankan dengan konkret secara penuh.
Penyelewengan etika politik Pancasila tidak sedikit dilakukan oleh orang-orang pemerintahan Indonesia sampai saat ini. Sebagai contoh pada lembaga Eksekutif, pada Mei 2023 lalu, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate, ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang menyebabkan kerugian negara sekitar Rp8 triliun. Tindakan ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila kelima, karena merugikan rakyat Indonesia secara luas dan merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa penyimpangan etika politik Pancasila masih menjadi persoalan serius di tubuh eksekutif.
Pada lembaga legislatif juga etika politik Pancasila belum bisa dilaksanakan secara konkret. Lembaga yang seharusnya menjadi wadah rakyat dalam menyampaikan pendapat, justru kerap kali terlibat kasus penyalahgunaan kekuasaan dan kepentingan pribadi. Contoh nyata yang terjadi pada tahun 2024 lalu, sekretaris Jendral PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, ditangkap atas dugaan suap dan menghalangi proses penyelidikan terkait kasus penunjukan anggota DPR tahun 2019 silam. Tindakan ini jelas menyimpang dari etika politik Pancasila, terutama sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selain itu, pada lembaga yudikatif juga masih terdapat penyelewengan etika politik Pancasila. Padahal lembaga yudikatif merupakan elemen krusial dalam menegakkan hukum di Indonesia. Lembaga legislatif bahkan lembaga eksekutif jika memang terbukti menyimpang maka lembaga yudikatiflah yang akan memutuskan hukuman dan juga keadilan. Sehingga jika lembaga yudikatif tidak memiliki etika politik Pancasila dalam menjalankan tugasnya maka kepercayaan publik terhadap lembaga hukum akan menghilang, dan sistem pemerintahan negara akan menjadi tidak efektif lagi. Contohnya, kasus yang sempat gempar pada Desember 2024 lalu, kasus kontroversial putusan pengadilan terkait korupsi tata niaga timah melibatkan seorang pengusaha, Harvey Moeis, yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun. Tuntutan awal jaksa yang terbilang ringan, menuai kritik tajam dari berbagai kalangan masyarakat luas. Putusan pengadilan tersebut dinilai menyimpang dari etika politik Pancasila, terutama sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan berbagai contoh kebijakan maupun penyimpangan yang terjadi dalam lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, dapat disimpulkan bahwa etika politik Pancasila belum sepenuhnya dijalankan secara konkret dalam sistem pemerintahan Indonesia. Etika politik Pancasila yang seharusnya menjadi landasan moral dan pedoman dalam setiap pengambilan kebijakan dan tindakan politik yang dilakukan oleh pihak pemerintah. Namun, nyatanya dalam penerapan di lapangan masih sering didapatkan pihak pemerintah yang menyalahgunakan wewenang yang mereka punya untuk kepentingan pribadi. Oleh karena itu, setiap elemen penyelenggara pemerintahan harus lebih memperkuat kembali komitmen terhadap nilai-nilai Pancasila untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang adil, berintegritas, dan selalu mengutamakan kepentingan rakyat. Selain itu, penerapan etika politik Pancasila yang konkret juga akan memperkuat kepercayaan rakyat, termasuk di daerah seperti Solo, terhadap lembaga pemerintahan. Pemerintahan pusat dan daerah harus berjalan seiring dalam menjaga nilai-nilai dasar bangsa ini tetap hidup dalam praktik kekuasaan sehari-hari.