Dalam satu atau dua dasawarsa ke depan, mungkinkah di negeri ini bakal hadir generasi tanpa korupsi? Selepas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar kasus-kasus besar yang melibatkan sejumlah anggota DPR, Jaksa, para petinggi, gubernur, dan sekian banyak pejabat negara, harapan menuju generasi tanpa korupsi bukanlah sebuah utopia. Kinerja KPK, tentu sangat layak dihormati, meski belum sampai pada prestasi puncak. Masih terlalu banyak kasus korupsi dengan skala raksasa yang dipetieskan dan menunggu pembongkarannya. Pemberantasan korupsi dan berbagai langkah pencegahannya harus dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan.

Sesungguhnya capaian KPK, betapapun spektakulernya, akan menggelinding sia-sia jika tidak diikuti dengan serangkaian gerakan pencegahan. Bukankah tindak pencegahan sama pentingnya dengan tindak pemberantasan! Maka, KPK perlu mengembangkan langkah-langkah yang lebih kreatif dan preventif.

Apakah reputasi KPK atas terungkapnya kasus penyuapan Urip Tri Gunawan, Al-Amin Nasution, dan kasus korupsi lainnya, akan diselesaikan dengan penuh tenggang rasa atau ditempatkan sebagai momentum menciptakan efek jera. Ternyata, kasus Artalyta Suryani diputuskan tanpa usaha menciptakan efek jera. Vonis atas Artalyta Suryani sesungguhnya telah kehilangan momuntem untuk menciptakan efek jera. Kiranya patut dipertimbangkan hukuman maksimal bagi pejabat negara yang korup.

Rencana KPK untuk membuat malu para koruptor dengan menyiapkan baju khusus yang bertuliskan “Koruptor” serta memborgol mereka yang sedang menjalani proses hukum (MI, 8/8/2008), patut mendapat sambutan, mesti juga dapat menghadirkan kontroversi. Untuk menciptakan efek jera, cara itu boleh jadi efektif. Dengan cara itu, kengeyelan Artalyta dengan tampilannya yang anggun, pandangan –yang seolah-olah tak merasa berdosa— Urip Tri Gunawan di persidangan, dan keakraban serta senyum sumringah Al-Amin Nasution dalam menjawab pertanyaan wartawan, di masa depan tak bakal kita jumpai lagi pada para koruptor dan pejabat negara yang terlibat kasus korupsi, jika sejak sekarang dibangun berbagai langkah untuk menciptakan efek jera.

Selain membangun sebuah monumen yang bernama efek jera, sekarang pula saatnya KPK membuat fondasi yang kokoh untuk menciptakan generasi tanpa korupsi. Dalam konteks itu, KPK harus sudah mulai bersiap-siap membuat ribuan poster besar dengan wajah para koruptor. Dalam poster itu disertakan semacam biografi singkat tentang kasusnya, hukuman yang diterima, kerugian negara, dan perbandingannya jika uang negara yang diselewengkan itu digunakan untuk kepentingan bangsa. Sebut misalnya, uang 6,2 miliar yang digunakan Artalyta untuk menyuap Urip itu, dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, beasiswa dan biaya pendidikan, menciptakan lapangan kerja, atau menghidupi para petani.

Jika ribuan poster itu sudah dicetak, tugas berikutnya adalah memasangnya di segenap ruang kerja semua departemen, di ruang-ruang publik, bahkan boleh juga di tempat-tempat ibadah agar setiap orang yang akan beribadah di sana tak lupa ikut mendoakan: “Semoga pengkhianat rakyat ini, arwahnya segera diterima di sisi Tuhan.” Dengan cara itu, mereka tidak hanya memperoleh hukuman berat, tetapi juga hukuman yang berupa sanksi sosial. Jika itu dilakukan, niscaya akan terbangun stigma: betapa nistanya menjadi koruptor!

Selain membuat poster para koruptor yang sudah mendapat keputusan hukum tetap, juga perlu menciptakan stigmatisasi melalui slogan, imbauan, perintah, sampai pada kecaman, penistaan dan propaganda. Tengok saja apa yang dilakukan pemerintah pendudukan Jepang dalam usahanya menciptakan stigma atas Belanda dan sekutunya. Pengumuman pemerintah, laporan jurnalistik, sandiwara, film, ucapan tahun baru, karya sastra, bahkan juga iklan, kerap mencerminkan usaha stigmatisasi. Instruksi Panglima Perang Bala Tentara Dai Nippon, misalnya, berbunyi:  “Nama-nama negeri dan kota diseloeroeh poelaoe Djawa jang mengingatkan kepada zaman pemerintah Belanda almarhum ditoekar dengan nama-nama menoeroet kehendak ra’jat.” Iklan jamu Cap Potret Nyonya Meneer bergambarkan pesawat tempur Jepang yang sedang melakukan pengeboman terhadap armada laut Amerika dan Inggris. Iklan film “Malaria”, selain memuat nama dan gambar bintang film, juga disertai kata-kata:  Musuh kita ialah Inggeris, Amerika dan Malaria!/Semuanja harus dibasmi!/Lihatlah pilem Malaria/Dibuat oleh Nippon Eiga Sha.

Dalam masa singkat pemerintah pendudukan Jepang, berbagai media massa, melalui peran Barisan Propaganda (Sendenbu) dan Jawa Syimbun Kai, sebuah lembaga sensor yang bertanggung jawab atas segala kegiatan yang bersangkutan dengan penerbitan dan pementasan, telah berhasil mencipta stigma bagi Belanda dan sekutunya.

Pemerintah Orde Baru (Orba) secara efektif juga menciptakan stigma bagi anggota PKI, anak-istri, dan sanak keluarganya. Dengan kata keramat anti-Pancasila dan bahaya laten komunis, setiap apa pun yang berkaitan dengan PKI laksana sebuah jalan hitam menuju jurang kegelapan yang bakal membenamkan karier, masa depan, dan martabat keluarga. Maka, tindakan apa pun yang merongrong penguasa Orba, penyelesaiannya mudah saja: anti-Pancasila dan bahaya laten komunis!

Selama ini, dalam semua kasus korupsi, para pelaku yang telah menjalani masa hukuman, begitu gampang diterima di tengah masyarakat. Kerabat, anak-istri, sahabat, bahkan berkeras melakukan pembelaan, seolah-olah tindak korupsi sebagai perbuatan biasa yang segera dapat dimaafkan begitu saja. Segalanya diselesaikan dengan kompromi yang penuh tenggang rasa. Oleh karena itu, sejak dini, dalam keluarga atau pendidikan di sekolah, perlu ditanamkan kesadaran tentang kejujuran, budi pekerti, dan kepedulian sosial.

Sebagai usaha menanamkan nilai-nilai, KPK perlu kiranya bekerja sama dengan pelukis, sastrawan, penyair, komikus, untuk membuat berbagai hal tentang dampak korupsi dengan berbagai stigmanya. Pelukis menggambar para karuptor dengan wajah iblis, belatung atau segala binatang yang menjijikkan. Sastrawan dan penyair menciptakan karya-karya yang menggambarkan nistanya hidup menjadi koruptor. Begitu juga dengan para komikus. Jika saja sejak sekolah dasar stigma tentang koruptor itu sudah ditanamkan kepada para siswa, maka sangat mungkin bakal lahir generasi yang menistakan berbagai bentuk tindakan korupsi.

Jadi, jika kita sepakat hendak memberantas korupsi sampai ke akarnya, langkah-langkah pencegahan melalui penciptaan stigma dan penanaman nilai-nilai, agaknya bukan sesuatu yang mustahil untuk menyongsong generasi tanpa korupsi!

* Dimuat Harian Media Indonesia, 5 Agustus 2009.

Maman S Mahayana, seorang kritikus dan dosen di FIB UI.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *