Oleh: Ujang Kasarung
Koordinator KGPS

Perasaan tidak nyaman dalam perkara menulis yang belum dapat saya atasi adalah saat teman meminta saya membuat pengantar untuk karya mereka. Memang kelihatannya sepele, tetapi buat saya sangat menyita waktu, pikiran, dan aktivitas kreasi saya. Maka jangan heran apabila kegiatan membuat komentar terhadap karya penulis lain terkesan ditunda-tunda. Aslinya saya perlu menjelajah puisi-puisi karya penulis yang akan dikomentari dengan cara diapresiasi, dinikmati, disadap maknanya tentu dengan perasaan subjektif. Setelah itu, baru saya mengumpulkan bahan-bahan yang akan saya gunakan untuk membangunnya berupa informasi dari berbagai sumber ilmiah, maupun nonilmiah. Barulah saya memberanikan diri “membangun” sebuah esai yang menurut saya lebih layak disebut testimoni subjektif. Namun hal yang membuat saya tetap membuatkan komentar ini adalah hikmah di balik semua ini sebagai pembelajaran untuk saya tentang keberhasilan atau kebelumberhasilan penulis lain dalam menyuguhkan sebuah karya yang diracik dari problematik hidup yang berada di sekeliling penulis.

Sikap bijak seorang penulis adalah kerelaan untuk menyambut karya (baca: puisi!) mulai dari para penulis yang sudah diakui sebagai penyair, hingga yang mengelu-elukan diri-sendiri sebagai penyair. Sepemahaman saya membaca puisi karya penyair terkenal selain memberikan kenikmatan berada di ruang imaji dan ruang berpikir, juga menyadarkan saya akan posisi diri di rimba karya sastra terkhusus puisi. Kita menakar secara subjektif karya pribadi saya. Demikian pula saat kita menyambut karya penulis yang baru jadi penyair, bahkan yang belum jadi penyair, saya akan memanfaatkannya untuk berandai-andai sambil menyadari bila karya yang dimaksudkan sebagai puisi itu memberikan harapan ada karya puisi yang sekualitas bahkan lebih dibandingkan dengan puisi para penyair beken.

Itulah sebabnya saya tertantang saat  Dwi Irawati menyodorkan sekumpulan karyanya yang berupa puisi untuk saya “komentari”. Sejak saya terima saya mulai memosisikan diri sebagai orang yang tidak terpengaruh oleh eksistensi penulis.

Pada awalnya Dwi minta saya membaca untuk memastikan, apakah karyanya ini puisi atau bukan. Harapannya untuk menjadikannya sebuah buku sangat bergantung pada pendapat saya. Dia juga meminta saya menjuduli bukunya nanti dengan kata Janji.

Terus terang, semula saya pikir yang akan saya baca ini karya penulis pemula yang dijejali nasihat-nasihat yang terkesan menggurui, atau menggunakan aforisma dari para pesohor puisi. Namun betapa kagetnya saya saat membaca karyanya. Puisi-puisi karya Dwi sudah terbilang naik kelas dibandingkan para penulis seangkatannya. Puisi-puisi Dwi sudah memamerkan keragaman tema walaupun masih belum beranjak dari lingkungan indrawi dan rasanya. Saya ambilkan puisinya secara acak berikut.

RASA INI

Tiada kata
Tuk antarkan segenap rasa
Tak ada air mata
Walau langkahmu semakin jauh
Tak ada cerita
Selain tentang kebaikanmu
Tak ada nama lain
Yang akan menggesermu di hatiku
Tiada doa
Selain doa terbaik untukmu

Dalam puisi ini Dwi memaanfaatkan majas repetisi untuk menegarkan perasaannya terhadap “-mu” yang entah karena apa langkahnya semakin jauh. Objek “-mu” bagi penulis merupakan sosok atau sesuatu yang istimewa. Hanya tentang kebaikannya yang ada dalam hati. Hanya doa yang dia panjatkan untuk “-mu”.

Memang ada teman penyair yang menjadi kurator berseloroh saat mengajak para penyair untuk berkolaborasi menyatukan karya dalam antologi puisi. Katanya, “Saya tidak akan meloloskan puisi-puisi yang menggunakan kata nan, ntuk/ tuk, tak, nian, oh, atau … .

Karuan saja walaupun ditanggapi dengan emot tertawa, pernyataan ini tentu menjadi bahan pemikiran bagi para peserta yang berharap puisinya bisa lolos kurasi. Memang tidak ada peraturan atau perundangan yang melarang kata-kata atau tanda baca berderet digunakan dalam puisi, tetapi kesan yang muncul dari puisi-puisi yang menggunakan kata-kata atau idiom yang terlalu sering digunakan akan berasa sepah. Maka banyak penyair terkenal yang sering mengingatkan agar dalam menulis puisi, menghindari isiom, prase, klausa, atau slogan yang sudah terkenal di masyarakat. Saya ambil contoh, sekali berarti sudah itu mati, merpati tak pernah ingkar janji, ada apa dengan cinta, Ibu … maafkanlah aku! (perhatikan tanda titik tiga!), atau Haruskah aku mengharapmu??? (menggunakan tanda tanya rangkap tiga). Walaupun demikian, sebagai pembelajar, jangan takut mencoba, malah kalau bisa “dimasak ulang” agar tidak basi.

Satu hal lagi yang membuat saya tertarik dengan lajur yang Dwi lintasi dalam karyanya. Dwi banyak memanfaatkan moment untuk berkarya sekaligus untuk dijadikan prasasti sebuah peristiwa. Prasasti ini dapat berarti peristiwa kematian, atau peristiwa membahagia-kan. Perhatikan kutipan puisi berikut

PERPISAHAN 241022
(Alm. Diny Widiarty Suryono)

Kita pernah lalui waktu bersama
Merangkai cerita, merangkai asa
Terselip duka, tertulis aneka bahagia

Puisi-puisi seperti ini ternyata lebih dari satu dalam buku ini. Hal ini menunjukkan bahwa Dwi memiliki sense of humanity yang cukup baik terhadap sesama. Tentu saja bukan hanya dalam suasana duka, dalam perihal suka pun dia tidak melewatkannya. Lihat puisi Sang Penolong! Dwi berterima kasiah atas dipertemukannya dengan dokter yang baik hati saat dirawat di rumah sakit.

Selain kandungannya yang sarat pesan humanis, puisi Dwi juga tidak terlepas dari keragaman unsur-unsur pembangun puisi. Secara indrawi saya dapat menemukan puisi dengan tipografi rata tengah, rata kiri, bait yang menjorok, pemanfaatan huruf kapital dan huruf kecil, tanda baca dan sebagainya. Perbedaan tipografi pada puisi-puisi seperti ini galibnya memberi makna dan maksud tersendiri. Tetapi yang sering saya telusuri, para pemuisi pemula cenderung disebabkan selera estetik saja tidak ada tujuan lain.

SAKTI

Bumi yang kupijak tak selalu membuatku tertawa
Tapi Tuhan mengirim engkau dalam hidupku
Walau tak kuminta kau buatku bahagia
Nyatanya aku dapatkan semuanya
Dan kamulah yang buatku kuat
Hadapi cobaan-cobaan berat

Kamu adalah alasanku tuk bernafas bebas
Dan tertawa lepas

Puisi dengan tipografi rata tengah ini contohnya. Saya melihat bentuk seperti cangkir dengan tatakannya. Saya teringat akan secangkir kopi yang memang menjadi kesukaan saya.

Cangkir kopi ini dalam imaji saya memberi kesan kehangatan dan romantis antara kopi, gula dan air hangat. Bila diibaratkan kopi adalah aku, gula adalah engkau, dan air hangat adalah rasa cinta, tentu saat dipertemukan, secara sakti menciptakan kebahagiaan. Pada puisi berjudul Sakti ini Dwi juga memilih diksi engkau bukan kamu. Ini mengisyaratkan bahwa orang kedua di sini bukan orang sembarangan melainkan orang yang dianggap sakti yang membuat si aku (lirik) dapat bahagia, tertawa lepas.

Sementara dalam puisi yang dijadikan judul, yakni Janji penulis terkesan memberi sinyal atau amanat agar kita tidak mudah mengingkari janji. Puisi dengan pola 6+6+2 dengan struktur objektif+subjektif+pesan disadari atau tidak oleh sang penulis telah menggiring saya pada bentuk soneta.

JANJI

Janji tak berbunyi
Menunggu tuk ditepati
Janji tak menyapa
Terwujud dalam aksara
Janji tak menggoda
Hadir menggugah rasa

Jangan janji
Jika tak sesuai hati
Jangan janji
Jika berat tuk menepati
Dan jika bukan karena kesadaran diri
Akankah janji-janji dapat terealisasi??

Janji tak pernah mengenal kata curang
Kitalah yang sebenarnya pecundang

Kecerdasan Dwi dalam menyaampaikan coda tidak memaksa apalagi menindas. Dia menyampaikan dengan tegas tapi bersahaja. Kita (pembaca) diberi keleluasaan untuk memetik nilai kehidupan yang seyogyanya diterapkan.

Di sinilah keberhasilan Dwi dalam menulis karyanya. Dia telah membawa pembaca seperti saya mengalir dalam makna dan estetiknya. Jika ada yang perlu dipertajam adalah penempatan diri penulis terhadap puisi agar tidak terlalu hanyut terbawa ke dalam ranah puisi. Penempatan diri atau jaga jarak penulis terhadap karyanya akan menjadi penting saat puisi dinikmati pembacanya. Penyair yang berhasil menjaga jarak akan terasa saat kita membaca puisinya, puisi tersebut seakan dialami, atau dijiwai oleh pembaca sehingga terasa menjadi karya pembaca.

Dengan demikian saya tidak ragu-ragu untuk mengatakan bahwa puisi-puisi karya Dwi Irawati telah memenuhi kebagusan sebuah karya sastra baik dilihat dari unsur ekstrinsik, intrinsik. Mudah-mudahan dengan hadirnya karya Dwi Irawati ini akan membakar semangat berkarya diri sendiri dan juga para pencinta sastra di sekitarnya.

lagu kenangan
mengalun senja itu,
teringat janji

#ukas_277

Jakarta Pusat, 26 Desember 2023

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *