Saung Sarongge di Gunung Gede, Upaya Peningkatan Ekonomi
Berbasis Kearifan Lokal melalui Digitalisasi.
Oleh Dadang Suhenda
Peneliti Pusat Riset Kependudukan BRIN
Sejarah Desa Wisata Saung Sarongge
Saung sarongge merupakan salah satu destinasi wisata yang ada di kaki gunung gede. Tepatnya Kampung Pasir Sarongge Girang, Desa Ciputri, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, provinsi Jawa Barat. Penamaan Sarongge, mempunyai cerita unik tersendiri. Menurut penuturan salah satu tokoh masyarakat di kampung sarongge (Zaenudin), nama Sarongge berasal dari kalimat “Sartawi asal Marongge” disingkat “Sarongge”. Sartawi datang ke kampung sarongge sekitar tahun 1928, beliau dikenal sebagai seorang tokoh spiritual yang berasal dari kampung Marongge wilayah Sumedang. Penamaan Desa Wisata Sarongge itu sendiri secara administratif, lebih dikenal daripada nama Desanya itu sendiri yaitu Desa Ciputri.
Awal mula Sejarah keberadaan saung sarongge diinsiasi dari program reboisasi hutan taman nasional gunung gede yang beralih fungsi menjadi lahan pertanian. Untuk mengembalikan fungsi hutan ini, maka diinsiasi program adopsi pohon mulai tahun 2008 oleh seorang jurnalis sekaligus pecinta alam yang bekerjasama dengan Green Radio.
Program adopsi pohon merupakan kegiatan petani menanam pohon endemi di area yang akan dihutankan, dengan dana sumbangan dari pengadopsi pohon. Jumlah sumbangan per pohon adalah sebesar Rp. 108.000. Adopter bisa menanam sendiri atau diwakilkan ke petani untuk ditanam dan dirawat selama 3 tahun. Tanaman tersebut di tandai oleh GPS, sehingga para Adopter bisa berkunjung untuk melihat perkembangan hasilnya. Dengan kegiatan ini, petani diharapkan bisa turun gunung dengan imbalan/penghasilan yang lebih baik. Hal ini juga menjadi daya tarik agar petani mau turun dan menghijaukan kembali lahan tersebut.
Seiring berjalannya waktu, rupanya program adopsi pohon ini sangat sukes dan menarik minat banyak adopter termasuk dari kalangan tokoh nasional, artis dan dukungan dari para Perusahaan ternama seperti, Astra Internasional, Bodyshop, Four Seasons Hotel, Toshiba dan Unilever. Kegiatan ini juga mendapat dukungan langsung dari orang nomor 1 di Indonesia saat itu), Pada tahun 2013 Presiden SBY berkunjung dan melakukan kegiatan adopsi pohon.
Banyaknya pengunjung baik dari dalam maupun luar negeri yang berkunjung dan terlibat program adopsi pohon ini, dijadikan peluang oleh warga sekitar untuk membuat semacam hunian bagi para pengunjung (Adopter). Adapun pemandangan yang ditawarkan adalah pesona alam pegunungan dan hawa sejuk pedesaan. Dengan bantuan dana hibah dari pemerintah dan Perusahaan, dibuatlah saung sarongge seperti yang kita kenal saat ini. Sebagian bantuan dari para donatur digunakan dalam penyediaan peternakan domba, kelinci, sayur organik, industri rumahan seperti membuat sabun, minyak dan sereh, serta merintis usaha wisata dengan konsep ekowisata dan ekoturisme.
Wisata Saung Sarongge mulai dikembangkan pada tahun 2013. Seiring berjalannya waktu, saat ini, menurut Versi Anugrah Desa Wisata Indonesia (ADWI) dan termuat dalam halaman Website Jejaring Desa Wisata (Jadesta) milik Kemenparekraf, Saung Sarongge berkategori Desa Wisata Berkembang. Wisata Saung Saronggge sangatlah cocok untuk dijadikan pilihan tempat berlibur dan menghilangkan penat dari hiruk pikuknya suasana perkotaan. Di Saung Sarongge sendiri menyediakan tempat rekreasi serta fasilitas untuk belajar tentang pertanian organik, peternakan, dan workshop mengenai produk-produk UKM dari ibu-ibu desa Sarongge. Pengunjung dapat menikmati sensasi bagaimana memanen hasil perkebunan langsung seperti bayam jepang, kubis, buncis dan memberi makan hewan ternak.
Peningkatan Ekonomi Berbasis Kearifan Lokal dan Digitalisasi
Sebagai upaya pelestarian sejarah dan budaya, asal penamaan kampung Sarongge ini selalu ditampilkan dalam acara festival Sarongge. Festival sarongge merupakan pesta rakyat yang bertujuan untuk melestarikan budaya sarongge yang identik dengan suku sunda. Banyak penampilan budaya yang di tampilkan seperti kesenian jaipong, pencak silat, alat musik lokal karinding dan permainan anak tradisional seperti gatrik, tombok, engkrak dan egrang. Berbagai macam kuliner khas sunda juga ikut ditampilkan seperti Gegetuk, Nasi Tiwul, Bagejrot, gegeplak, tutug sangu dan comro. Tidak ketinggalan, sebagai salah satu kegiatan utama dalam festival tersebut diadakan prosesi budaya ngaruwat cai. Sarongge Festival ini diadakan setiap 1 tahun sekali, yaitu pada bulan September.
Sejak Desa Wisata Saung Sarongge digaungkan pada tahun 2013, dampaknya sangat di rasakan oleh masyarakat sekitar. Sebagian besar masayarakat kampung Sarongge berprofesi sebagai petani. Banyaknya wisatawan yang berkunjung, meningkatkan penjualan berbagai produk hasil pertanian. Produk pertanian seperti sayur, teh, kopi, akar alang bahkan alat kesesenian lokal (Karinding). Meningkatnya penjualan produk secara otomatis berdampak pada berdampah pendapatan warga. Bahkan menurut pengakuan beberapa petani yang berhasil diwawancar,i kenaikan pendapatan bisa mencapai lebih dari 100%.
Untuk meningkatkan penjualan produk pertanian dan jasa wisata pada era saat ini, diperlukan adaptasi pengelolaan Desa Wisata melalui pemanfaatan teknologi. Para pelaku usaha dan pengelola jasa wisata tergabung dalam kelompok tani dan Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) Sarongge sudah mengaplikasikan platform digital dalam upaya promosi produk dan destinasi wisatanya. Namun, media yang digunakan untuk promosi produk dan wisata ini masih terbatas pada Instagram dan whatsapp (melalui update status). Beberapa pengunjung ada yang secara tidak langsung ikut mempromosikan desa wisata ini melalui tayangan youtube dan media populer.
Jika melihat potensi yang ada, upaya promosi melalui flatform digital di sarongge dapat bermitra dengan pihak swasta, PPTK (Pusat Penelitian Teh dan Kina) Gamboeng, Koperasi dan BUMDes. Diketahui bahwa BUMDES Ciputri sudah memiliki website yang dapat di gunakan untuk membantu upaya promosi produk dan destinasi desa Wisata (https://bumdesciputri.id/). Bahkan website dimaksud sudah mengakomodir informasi manajemen BUMDES meliputi, Keuangan dan Administrasi. Untuk promosi beberapa produk pertanian yang di jual oleh BUMDES sudah menggunakan platform e-commerce(Tokopedia).
Kemitraan melalui upaya kolaborasi dan partisipasi antara masyarakat sebagai pelaku usaha, pengelola desa wisata, BUMDES, koperasi dan swasta sangat diperlukan. Upaya kolaboratif dan partisipatif dimaksud bisa dilakukan pada aspek penyertaan modal, pelatihan dan pendampingan manajemen pengelolaan Desa Wisata, termasuk promosi produk dan wisata di Sarongge.
Untuk keberlanjutan desa wisata, selain dari aspek lingkungan dan budaya, sangat dibutuhkan adanya regenerasi dari kepengurusan pengelola Desa Wisata dan profesi petani sebagai pelaku usaha. Saat ini banyak anak muda yang lebih tertarik bekerja sebagai karyawan pabrik, dibanding menjadi petani. Upaya transfer knowledge kepada generasi penerus harus tetap dilakukan. Selain itu, aplikasi penggunaan pestisida dalam bidang pertanian agar segera dikurangi dan mulai beralih pada penggunaan pupuk organik atau nabati. Akhirnya, kita berharap lingkungan dan budaya yang lestari dapat dinikmati lintas generasi.