Joko Rabsodi adalah Penyair sekaligus seorang pendidik dari Pulau Madura, Jawa Timur. Puisi puisinya yang tayang kali ini terasa memang masih terkait dengan latar belakang Profesi sebagai Pendidik, sekaligus Penyair dari Madura.

Sebagai Pendidik tentu memiliki jangkauan substansi maupun kaidah yang menggairahkan untuk ditelusuri pada setiap bait puisi-puisinya.

Ada kata atau pun istilah yang perlu buka kamus pengertian atau minimal bertanya ke Google untuk mencoba mencari informasi apa maksud dari ungkapan yang tersemat di puisi, semisal kata: Botulinum, Harold knapke-ruth, kronos, al-burdah, sikintan, toor pekai, dan Audrey junic.

Sebagai Penyair dari Madura tentu bahasa Madura juga mampu diusungnya dan di sisipkan dalam puisi, semisal kata: roma patobin, dan Samper.

Istilah-istilah tersebut bisa memperkaya diksi di dalam puisi. Disamping itu juga mampu memberikan imformasi betapa luasnya pengetahuan seorang Pendidik sekaligus Penyair, maka pembaca pun diperkenankan untuk mencari informasi lanjut, jika ingin menelusuri misteri makna pada Puisi sang penyair Pulau Garam ini. Selamat menikmati. (redaksi).

Aku Diam Seperti Kronos

Dalam perihal ini perlu terus terang
aku hanya kuasa menggenggammu dalam mimpi
bukan dalam buntalan cinta yang mengambang
rasanya sulit dipaksakan untuk membawamu ke musim yang lain
sesuatu yang mustahil, matahari yang kehabisan sinar
kuganti redup dupa di tengah-tengah perselisihan
adat kampung yang tak kunjung redam
aku dan kamu replika kromosom tua
yang takkan pernah ditulis karena tinta purna
untuk menyusun bait-bait purnama setelah siang
kehabisan kata-kata

Radeena, bisa saja kita bertemu di suatu meja makan
atau di mana pun tapi kondisi sudah tersuruk lesu
jamuan yang tadinya berharap jadi tumpukan reklame
khusus merekatkan hati justru menggigil satu persatu
meski wajahmu masih dalam dekapan mimpi
dan terkadang kuimpikan kemarau untuk membajak
setiap lelaki yang ingin berteduh di bawah tidurmu
kau berupaya melesat meninggalkan lara
sayapku patah tak kuasa mengawan

Radeena, skenario yang kita unggah untuk menggores rindu
semula dingin-dingin saja, semenjak ibu-bapak menghangati cuaca
dengan sumpah yang ditandukan ke dalam dadamu
pelan-pelan kau bakar botulinum dan aroma sianida
ke dalam kisah Harold knapke-ruth yang haru
sejak itu kau memintaku diam seperti kronos
memakan cintanya sendiri
kerap tidak ada kabar yang engkau kirim
senantiasa aku gelisah menebaknya
-kita masih pacaran atau mati tanpa pemulasaran

Andaikan toh aku mati dan jasad menyebutnya pahlawan
batu nisan takkan terima, orang-orang sekitar akan berbagi prahara
tak pantas seorang lelaki muda mati tanpa ekspektasi
tapi inilah keputusanmu, seperti benda padat yang tak bisa
menyeduhi bentuk bangun ruang

Madura, 10 agustus 2021

Perempuan Desa Dekat Jumat Manis

Kamis atau mendekati jumat manis
perempuan desa menjumput matahari ke dalam pusara
tangis hangus diantar adzan tandai pertemuan telah usai
maghrib bergetar menyambangi kamboja
bekas al-burdah di telinga kanan-kirinya menyerapi
kaki yang makin keras seriring microphone
menyampaikan duka mendalam

Semua berdiri dalam sesengguk tangis
termasuk anak lelakiku yang dibesarkan
tak mampu mengulas
kata-kata telah diganti airmata

Engkau sudah besar sekarang, anakku
pesannya kemarin engkau jangan jadi sikintan
atau semacam legenda batu menangis
perempuan desa itu tak lagi kuat memeluk
bisikkan ke dalam lamunannya dengan segala cinta
yang dialirkan ke rongga napasmu
dialah perempuan yang menjaring matahari di tepi pagi
mengukus bulan tengah malam demi menuntaskan
ikhlasnya padamu

Anakku, perempuan desa itu tentu tak siap berujar
senyumnya tetap mengembang di antara batu nisan
ia mirip toor pekai dalam kisah malala yousafzai
yang meluluhlantakkan

Anakku, kini ia tak ingin diganggu
sendiri menyepi sembari memungut doa
dari jejak fajar yang hengkang

Madura, 12 agustus 2021

Rapuh Mencari Jalan Pulang

Cukup lama bersanding dalam ceritamu
satu kerinduan yang tak pernah berhenti
menikmati pendar bidadari lepas
dari kremasi rambutmu
setiap kisah yang kau sanggul
pasti kuaminkan sekedar berlama-lama
dalam penantian panjang
-satu ketulusan Audrey junicka pada papanya

Masih kau lanjutkan kisah melintasi tarian moyang
roma patobin[1] letih memikul usia dan hendak dipugar, tukasmu setelah
menjelang pukul sembilan malam
tak terasa tiga jam duduk kita tanpa makna
tak kutemukan jeda untuk mengunduh di mana hatimu
menyimpan namaku
kebiasaan yang kusesali dari setiap perempuan yang telah
berkembang wanginya; menyisakan kebencian mencorat-coret
dunia fana

Ini bukan semestinya, tulang rusuk yang kau pinjam
tempo lalu telah berganti warna
kau dibesarkan tanpa rasa malu dan mencuekkan
setiap rindu yang datang
praduga yang kubangun terkoyak gemuruh
dan rapuh mencari jalan pulang
hidup seperti menuju kematian

Di tanahku langit berkabung
menyematkan penyiksaan
udara menutup diri dari cahaya
lagi-lagi kutapaki traumatika dalam sepatah kata
;saatnya qodratmu meratapi penyesalan

Madura, 13 agustus 2021

Kematian Tanpa Kisi-Kisi

Kemarin siang engkau masih membelai rambut kedua anakku
menyisir nyanyian tumbuh di belantara usiamu yang hampir
60 tahun, tembang kancil dan romatika nina bobo kau putar
mendayung masa kanak entah mau dibawa kemana
petuah bersambung mengaitkan jiwa untuk berkunjung
ke peradapan yang agung
dipeganglah kedua jari anak-anakku seakan berikrar
untuk tetap hangat dalam angin dan dingin dalam perapian

Emak, jangan kemana-mana dulu
sebelum sajak anak-anakku tuntas menganugrahkan singgasana
kebahagian itu untukmu dan patut bersenggama dalam
wujudmu, aku tak mau lagi derita hurrem dan suleiman
mendiami petang dan terentang di sekujur mimpi
dan akhirnya terbakar tanpa abu
sia-sia menggebu

Kematian yang tiba-tiba
laksana terompah mimpi
pergi tanpa kisi-kisi

Kaget. Terjerat samper[2] bermotif coklat menutup auratmu
kidung yaa sin berhamburan membalut kedua tangan yang lemas
tangis hancur membedah ashar yang belum selesai
mengapa kau ciptakan mantra yang bisu ketika anakmu dan anak-anaku
meringkuk di ujung kaki
siapa yang akan menghapusnya, kata-kata hampa tertutup luka
senandungku hilang di atas gundukan makam yang menghadang

Emak, kami ikut berduka
di atas puisi yang mengentalkan jasadmu
kami telah melupakan dosamu
dan menyisipkan persaksian baik untukmu!

Madura, 15 agustus 2021
[1] Sebutan rumah induk dari sesepuh juga dikenal tongguh
[2] Dalam bahasa jawa disebut jarik.

Joko Rabsodi, lahir di Pamekasan, 11 Juni 1981. Kini tercatat sebagai pengajar di SMA Negeri 4 Pamekasan, Madura. Karyanya terbit di beberapa media massa nasional seperti Horison, Bali Post, Pikiran Rakyat dan lain-lain. Puisi terbarunya terkumpul dalam antologi “Palestine and Humanity” terbit 2021. Tahun 2021, juara II lomba cipta puisi Ft Sosiawan Leak.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *