Hidji
Rizky Alvian
Hujan dan aroma tanah basah setelah kemarau panjang berhasil mencuri perhatian Mega. Gadis itu berkecibakan di genangan; menghanyutkan sandal ke arus air di depan rumahnya–seolah itu perahu; bersepeda, dan membiarkan roda belakangnya memercikkan air tinggi-tinggi ketika dikayuh.
Setengah jam bermain hujan, nampak pemuda dengan setelan kemeja putih, celana hitam, dan menenteng kantong kresek berlari kecil ke arahnya. Gadis itu baru menyadari, itu kakaknya, Tama, yang tersamarkan lebatnya hujan.
Mega yang merasa jemarinya mulai keriput kedinginan, menyudahi bermain hujan. Ia masuk dari pintu belakang, dan disambut wanita tua yang bersilang tangan sambil menggeleng-geleng.
“Basah kuyup begini. Mukamu juga sudah pucat. Habis kakakmu selesai, bergegas mandi!” Mak Jum mencecar Mega dengan nada khawatir.
“Maaf, Mak.” Mega menunduk, seraya menggigil karena terlalu lama bermandi hujan.
Selesai mandi, di ruang makan nampak Tama menyeruput dalam kopinya. Pemuda itu sejak tadi hanya memandang ke lebat hujan. Mega duduk disebelah kakaknya. Ketika hendak menegur, dari arah dapur Mak Jum memanggil gadis itu. Mega disuruh menghidangkan tahu dengan sambal terasi.
Gadis itu menyodorkan lauk yang diberikan Mak Jum kepada kakaknya. Namun Tama tetap melamun, membuat Mega terheran-heran.
[iklan]
“Aang!” Mega menepuk paha kakaknya. “Kesambet lho ngelamun terus.”
Tama menatap adiknya sekilas, lalu tenggelam dalam lamunan lagi, kali ini sembari bertopang dagu.
“Aku bilang emak, lho!” ancam Mega. “Ada masalah, ya?”
Baru Tama membuka jawabannya, gadis itu sudah menghilang di sampingnya. Rupanya Tama tahu sebabnya.
“Abah dapat tahu petisnya?” tagih Mega kepada lelaki tua dengan caping yang terbungkus plastik. Abah Prapto, yang biasa menggarap kebun membawa satu plastik besar singkong, dan menyuruh Mega membawa masuk. Padahal gadis itu, hendak menagih janji kakeknya.
Kebiasaan keluarga kecil itu adalah makan malam lesehan, selepas maghrib. Aroma oseng oncom dengan taburan leunca menyeruak dari arah dapur. Ditambah kerupuk melarat* sebagai pendamping.
***
Lewat tengah malam, Mega masih berguling di kasur, tanpa mau terpejam. Ada satu yang gadis itu risaukan. Seminggu lagi ulang tahunnya, lebih tepatnya ulang tahun kelima kali tanpa ibu di samping.
Dari luar sayup-sayup ada suara statis. Mega menengok, ternyata kakaknya belum tidur.
Tama hampir meloncat, ketika tahu adiknya tiba-tiba ada di sampingnya, yang sedang menonton bola
“Aang, seminggu lagi ulang tahunku,” keluh Mega.
“Minta kado?” sambung Tama.
“Tidak. Tapi ini ulang tahun kelima kalinya ibu tak di samping.”
Tama menarik napas panjang, lalu tersenyum pada Mega. “Mega, kamu bukan orang yang pertama kali tidak bisa berulang tahun bersama ibu. Masih banyak di luar sana yang ibunya sudah meninggal. Kamu kan tau, setiap pulang dari Arab, pasti Ibu bawa oleh-oleh.”
Mega agak sedikit tenang. Namun gadis itu masih penasaran dengan satu hal. “Aang keterima kerjanya?”
Hampir saja Tama tersedak kopi. Ia tersenyum seraya berkata, “belum beruntung.”
Tama yang mengetahui adiknya bingung berujar, “Itulah kenapa Aang terkadang benci nama Pratama.”
Kali ini kebingungan Mega semakin menjadi. “Apa hubungannya, Ang?”
“Kamu tahu sebelum Edison menemukan lampu pijar, ada lebih dari lima puluh ilmuwan yang melakukan percobaan, namun ternyata gagal. Lalu kenapa akhirnya Edison yang paling dikenang? Karena ia gigih, dan tak putus asa. Ini bukan tentang menjadi yang pertama, tapi bagaimana caranya agar bertahan.”
Tama menarik napas dulu. Melihat Mega serius memperhatikan ia menjadi semangat bercerita.
“Dulu Aang, menjadi orang pertama di sekolah kejuruan yang diberitahu, keterima kerja di perusahaan mobil terbesar di Indonesia. Namun karena kelewat senang, jadi lupa untuk mempersiapkan diri di wawancara, walhasil Aang gagap, dan tak lolos tahap selanjutnya. Mundur lebih jauh, sejak kelas tiga SD, Aang mahir sepatu roda, hingga didaftarkan lomba. Ya sekali lagi, karena Aang kelewat senang, sehari sebelum pentas malah asyik memainkan sepatu roda. Dan ketika menunjukan gaya baru, kaki tiba-tiba terkilir. Dan Aang tak bisa maju ke pertandingan.”
“Itu sih karena sombong!” ujar Mega.
“Dan kutukan.” Tama menimpali. “Kesialan nama ‘Pratama.’ Aang tak mau lagi jadi yang pertama, nomor satu, atau apapun itu, jika ujungnya mendapat yang buruk.”
Tiba-tiba Mega merasa tenggorokannya seperti tercekat sesuatu, dan hidungnya sedikit berair, terutama ketika gadis itu menarik napas.
“Kan, Aang bilang. Jangan senang dulu menikmati hujan pertama kali. Tubuhmu belum beradaptasi. Sana minum obat!” suruh Tama yang seolah tahu bahwa virus flu sudah menyerang tubuh Mega.
***
Pagi buta, Mak Jum membangunkan Tama dengan dibantu adiknya yang bertugas teriak dengan suara yang sedikit parau. Akhirnya lelaki dua puluh tahun dapat bangkit juga, setelah beberapa kali hanya menendang-nendang selimut. Sembari mengumpulkan nyawa, Tama duduk lagi di depan televisi dengan mata setengah terpejam.
Mega yang mengetahui kakaknya terpejam di depan televisi langsung menarik lengan Tama. “Buruan, Aang Pratama! Disuruh Emak … ”
Belum selesai Mega bicara. Mak Jum keluar dari dapur membawa dua kotak berisi Combro dan Misro. “Tolong antar ke warung Yayu Erni di desa sebelah.”
Tama sedang memanaskan motor, tiba-tiba Mega menghambur ke arahnya, meminta ikut.
“Katanya sakit?”
“Tapi kalau dirumah, bosan, Ang!” kilah Mega. “Sekalian anterin ke taman. Ini kan hari minggu.” Mega menyunggingkan senyum.
“Tapi jangan jajan yang aneh-aneh, lho, ya!”
Mega mengacungkan dua ibu jarinya.
***
Di perjalanan pulang dari desa sebelah, Tama melihat wanita berdaster, dengan penggulung rambut masih menempel nampak mondar-mandir, sepertinya sedang risau.
“Kenapa, Teh?”
“Kesayangan saya ada di sana. Dia tidak pulang seharian, kayaknya terjebak.” Wanita itu menunjuk sebuah menara perbatasan desa, samping jembatan. Terdengar sayup-sayup ringkikan anjing.
Menara setinggi dua puluh meter, tak ada yang berani ke sana. Bahkan warga sudah memagari dengan seng. Terakhir ada yang kedalam, itu sekitar sepuluh tahun lalu. Selain karena kondisi bangunan sedikit miring, konon di dalamnya sudah rapuh: tangga, tembok, dan balkon, rawan membuat celaka.
“Ang!” Tepukkan dari Mega membuyarkan kehenigan Tama. “Cepetan! Kita ke taman.”
“Kamu turun sebentar.”
Mega terperangah mendengar ucapan kakaknya. “Kenapa?”
Belum sempat menjawab Tama sudah berlari ke arah menara. Mega dan wanita itu mencoba mencegah, namun terlambat.
Air muka Mega menyiratkan kekhawatiran dengan gurat senyum turun dan menggigit-gigit telunjuk.
Setengah jam belum nampak batang hidungnya. Mega meminta tolong warga untuk menyusul Tama ke menara. Sementara wanita pemilik anjing yang terjebak, mengusap lembut bahu Mega.
“Medis!” teriak seorang warga, membuat Mega cepat-cepat ingin melihat kondisi kakaknya. Namun gadis itu malah mendapati dua chihuahua merah muda berlari keluar.
“Ryno! Balto!” Wanita itu nampak membuncahkan bahagianya, seraya membuka tangannya lebar-lebar, lalu anjing itu datang kepadanya.
Dikarenakan darurat, akhirnya Tama dibawa ke klinik dengan pick up warga. Sepanjang perjalanan ke klinik, air mata Mega tak terbendung melihat Tama yang merintih.
“Peliharaannya ada di lantai tiga. Sayangnya ia berada di dekat jendela. Dan untuk ke sana kayu tempat pijakannya sudah lapuk. Makannya Aang juga hati-hati pas melangkah. Nah, rupanya peliharaan si teteh suka tikus. Begitu saya bopong dia keluar, eh dia ngegonggong di depan kuping, sontak saya kaget dan nginjak kayu rapuh, lalu terporosok. Syukurnya, saya masuk masih pakai helm jadi sedikit aman.”
Setelah Tama bertutur apa yang terjadi di dalam menara, Mak Jum rupanya masih menyimpan kesal pada Tama yang sok menjadi pahlawan, hingga lupa keselamatan diri sendiri. Walaupun sebenarnya biaya klinik dan pengobatan jalan, wanita pemilik Chihuahua itu yang tanggung.
***
“Aang hebat!”
Mega tersenyum simpul pada kakaknya yang sedang mengelap kruk.
“Kenapa?”
“Nih, Ang. Menara itu sudah sepuluh tahun tidak dimasuki orang, loh.”
“Lalu?” Air muka Tama kebingungan.
“Aku juga baru tahu. Wanita yang Aang tolong itu ternyata warga baru, menetap baru satu minggu di desa kita. Kok tiba-tiba mau bantu orang yang baru dikenal?” tanya Mega
“Insting, Kehilangan yang paling disayang itu sakit, Dek! Apalagi warga yang lalu-lalang disitu pada cuek.”
“Orang pertama yang masuk menara; menolong orang yang pertama kali dikenal. Aang sadar? Kakak Mega yang tampan ini sudah jadi pahlawan. Semua itu berhubungan dengan ‘Pertama’. Sesuatu yang Aang benci, kok bisa jadi sebab rela nolong yang baru dikenal?!”
Tama menghentikan mengelap kruknya.
“Jadi, masih benci dengan segalanya yang berhubungan tentang ‘pertama’ itu?”
Mega menyikut lengan Tama. Lalu, meninggalkan pemuda yang kaki kanannya dibalut perban tebal. Ia nampak menarik benang merah dari apa yang barusan diucapkan adiknya, dengan peristiwa yang Tama alami tempo hari.
Cirebon, Maret 2020.
*Aang : Panggilan kakak lelaki.
*Kerupuk melarat : Kerupuk yang digoreng menggunakan pasir.
*Yayu : Panggilan kepada perempuan yang usianya di atas kita/ panggilan kakak perempuan.
Rizky Alvian, Lahir di Cirebon, 14 November 1998. Mahasiswa Teknik Sipil di Unswagati, Cirebon. Cerpen dan cernaknya dimuat di media daring dan cetak.