G A N D R U N G    M A R I S I
Uki Bayu Sejati

“…negor gedang soren-soren
tuku uyah dikateni
sarehne wis padhang isun njaluk permisi
sang anak ngomah nawi ngenten-enteni…”

Gemulai, pelahan, tubuh yang letih itu seperti melayang. Tapi Marisi berusaha agar keletihannya tak tampak. Sampur diangkat dan dilambaikan, tubuh diliukkan dan bibir tersenyum. Tangan kiri tetap menggenggam mikrofon, dan bait-bait gending Seblang Shubuh terus dia lantunkan.

Berdesah, lembut, suara gandrung Marisi itulah yang membuat para tetamu betah. Sampai menjelang bedug Shubuh, kursi-kursi di perhelatan masih banyak diisi tetamu. Bukan cuma ikut sebagai pemaju, menari dengan penuh semangat seraya sedikit kliyengan terlalu banyak minum ciu, para tetamu memang terpikat pada kemerduan suaranya.

[iklan]

Marisi tersenyum, matanya berat, kakinya berat. Tapi dia harus menuntaskan gending dan tarian penutup itu. Sesudah itu? Yaa, tetap harus memasang senyum di bibirnya. Sementara para panjak membereskan peralatan musik, dia harus masih berbasa-basi lagi dengan tuan rumah dan para tetamu yang setia menunggu. Ada yang hanya ingin salaman, ada yang menawarkan diri mengantar pulang, ada juga yang mau memanggil untuk hajatan bulan depan.

Marisi tahu, di meja paling depan duduk pak Munar, Carik desa Rogojambe. Usianya sudah lebih dari setengah baya, tapi setiap kali jadi pemaju, gaya dan tenaganya menyaingi lancing likuran tahun. Seperti banteng menyeruduk. Kumisnya yang mencuat, sering menempel sejenak di pipi atau di pundak Marisi. Iih.. geli. Dan… ah, lain-lain tentang pak Munar biarlah jadi rahasia pribadinya. Maka itu tanpa sadar Marisi sesekali melontarkan lirik matanya ke arah lelaki itu, seperti ingat akan keakraban yang pernah mereka lewati bersama. Pak Munar waktu itu memanggilnya Denok.

Itulah pula tadi  ketika menyenandungkan lirik… “sang anak ngomah nawi ngenten-enteni…” suaranya sedikit ia keraskan. Itu sudah cukup membuat wajah yang terkena jadi klincutan, jengah. Sengaja begitu karena Marisi tahu pak Munar ditunggui isrinya di rumah.

Nok, lelaki umur seaku ini udah mateng. Aku bukan lancing, bocah kemarin sore. Aku terus terang duwek bojo siji, anak telu. Tapi wong lanang kayak aku kawin lagi siapa yang larang?”
Isun wedi, Pak…”
Wedi sapa. Aku tanggung jawab…”
Wedi bojo sampeyan, Pak…”

Berulang kali pak Munar membujuk Marisi supaya mau diperistri. Isteri muda, tentu saja. Memang tidak seperti lelaki lain yang lamis, omongannya gombal hatinya culas. Atau yang thuk-mis, bathuk klimis, jidat mengkilat, dandanan perlente, rambut disisir rapi, suka pamer, gayanya royal, tapi kalau sudah lama berhubungan ketahuan kantongnya bolong. Pengangguran atau makelaran yang pinter ngakali kredit. Pak Munar berani bicara apa adanya. Buwuh-nya, wul-nya lumayan. Malah, Marisi pernah diajak ke Bali.

“Ini yang namanya Kuta,” terang pak Munar saat mereka berdua duduk di tepi pantai.

Di tengah hiruk-pikuk wong bule, mata Marisi betul-betul terbuka, bisa melihat dunia seisinya. Kayaknya begitu. Seumur-umur baru kali itu ke pulau Dewata. Padahal jarak ke desanya di Bakuangan Banyuwangi tidak jauh. Menyeberang laut naik kapal ferry satu jam, terus naik bis tiga jam. “Eaalaah, piye carane wong-wong bule iku mampir ndok nggonku ya?” tanya Marini dalam bathin. Jika mereka bersedia mampir di Banyuwangi menyaksikan tari Gandrung, waah..! Sebab, kata orang, wong bule kalo kasih persen royal.

Tapi Marisi tak bisa berlama-lama dengan pak Munar. Kedudukannya sebagai Carik rupanya terancam oleh hubungan mereka. Biar pun bukan pegawai negeri yang –katanya– tidak boleh beristri dua, perangkat desa di pelosok gunung pun wajib taat, tunduk kepada kepala Desa. Dan pak Kades mesti taat, tunduk, setia pada pengayomnya, pak Bupati.

“Kon gela, Nok?”
“Gela? Isun wis biasa, Pak. Nasib…”

Tadi pak Munar sempat menggenggam erat tangannya ketika bubaran sambil mengucapkan terima kasih –seperti yang dilakukan tuan rumah yang mengucapkan terima kasih sampai beberapa kali karena senang perhelatannya ramai tetamu. Buwuh yang diterma lumayan. Marisi tetap tersenyum.

Dia juga tersenyum setiap kali matanya bertemu dengan mata lelaki yang sejak tengah malam tadi duduk di pojok terop. Lelaki itu berkacamata, mukanya ditumbuhi cambang dan jenggot. Serem juga. Rasanya Marisi sudah pernah kenal, …tapi di mana?

Matanya itu lho, kayak ada magnitnya.

“Ayo, Mar,” ajakan Darmo Kluncing mengagetkannya. Belum sempat salin pakaian, Marisi melangkah ke kendaraan. Rupanya yang mengantar pulang pick-up terbuka, tadi yang menjemput colt tertutup. “Ah, pokoknya sampe rumah,” cetus bibirnya tak peduli.

Lantas, begitu pantatnya menempel di jok depan di samping supir, “Heh..?” Marisi kaget. Sebab, lelaki yang berkacamata, bercambang dan berjenggot yang di bawah terop, yang… jadi pengemudinya.

Kendaraan langsung berangkat tepat ketika adzan Shubuh berkumandang. Jalanan masih sepi. Langit terang, bintang timur masih berkeredep di kejauhan. Angin menerpa rambut, sejuk segar. Marisi menghela nafas panjang. Matanya mulai redup.

Dia memang sengaja memejamkannya. Ingin merasakan urat-urat sekitar mata, kening dan alis, mengendur. Pelahan ia menggerakkan lehernya yang terasa agak kaku.

“Cape, ya?” Bisik si supir. Tapi bukan itu yang membuat Marisi kaget dan sedikit tersentak. Sebab, bersamaan dengan pertanyaan itu lehernya terasa dipijati dengan lembut. Nyaman. Tak mampu menolak, dia pasrah saja dipijati. Dia seperti mendapat perlindungan ketika tanpa disadarinya kepalanya bersandar ke bahu supir itu. Mmmm.
“Pacar anyar, ya, Mar?”
“Siapa?”
“Si Bewok..”
“Bukan..”
Alaa, mbujuk. Kamu diantar jemput sudah lebih dari lima kali. Kayaknya dia serius, lho. Jangan pilah-pilih lagi, Mar, diambil orang lain, tahu rasa kamu..”

Yang mengira Marisi dekat dengan si Bewok bukan cuma satu orang, Semua panjak bahkan sudah yakin, penari gandrung mereka kali ini akan mengakhiri lagi masa jandanya. Tanda-tanda ke arah itu sudah jelas. Selain antar jemput, para panjak selalu mendapat rokok masing-masing dua bungkus setiap kali mau pentas.

Marisi juga merasakan hal itu. Bapak Ibunya bertambah ramah kepada si Bewok. Setiap kali ke rumah bawa oleh-oleh. Ada buah-buahan dari luar negeri : apel, anggur. Juga sarung, kebaya,…bahkan, jika Marisi menyebut keperluannya – padahal tanpa sengaja – beberapa hari kemudian barang itu pasti sudah datang ke rumahnya. Seperti ketika dia mengeluh kepanasan, si Bewok membelikan kipas angin. Waktu merasa ruang tamu kurang terang, dibawakan petromaks.

Tapi, sebenarnya Marisi masih takut. Bathinnya belum sepakat dengan tubuhnya. Namun dia butuh orang lain yang bisa diajak ngobrol, yang mau memberi perhatian, yang bisa mengerti bahwa jadi gandrung itu tidak gampang, yang….

Jadi bukan puja-puji, sanjungan, rayuan gombal yang dibutuhkan Marisi. Bukan pula senggolan, rabaan, elusan, ataupun jiwitan nakal ke bokongnya yang penuh. Bukan. Tubuhnya rasanya sudah kebal.

Marisi merasa dengan menjanda saja semua itu sudah dicukupi. Buktinya setiap kali pentas, ada saja tamu entah  lancing, entah  duda, yang mendesak-desak ingin duduk dekat dengannya. Yang kepingin dilayani khusus ketika ngrepen juga sampai antri. Makanya kalo terlalu banyak tamu yang memberi buwuh terpaksa gendingnya dipersingkat, supaya semuanya kebagian menari. Apa betul semua lelaki cuma butuh tubuhnya?

Ingatannya melayang pada awal dari satu kehidupan, yang kemudian dijalani sampai entah kapan. Waktu itu dia sedang senang belajar di kelas 1 SMP. Mendadak Bapak dan Simboknya minta agar dia keluar dari sekolah, “Kamu jadi gandrung saja, Nok. Hidup enak, duit banyak.”

Di desa maupun di kota siapa saja yang punya uang bisa apa saja.  Beli rumah beli tanah bakal menaikkan derajat. Mau jadi priyayi atau bangsawan bisa, kok. Zaman sekarang surat silsilah bisa dibeli. Menurut cerita zaman dulu, Damarwulan itu anak desa, seperti Ken Arok. Karena mampu olah kedigdayaan, ulet, apalagi pintar melayani lawan jenis, jadilah naik pangkat. Semakin lama makin tinggi, sampai akhirnya bisa menaklukan permaisuri, melengserkan Raja dan menduduki singgasananya.

Setiap kali nonton hadrah kuntulan, rengganis, janger Damarwulan, juga pentas gandrung jika ada hajatan kawinan atau khitanan, Marisi memang senang, Kadang dia menari-nari sendirian di rumahnya, seraya membayangkan dia mengenakan pakaian penari gandrung yang kerlap-kerlip, dirubungi lelaki,…Wah!

Lalu, impian itu dia wujudkan. Belajar beberapa kali pada Mbok Darsih, bekas gandrung yang sudah tua, cukup membuatnya berani tampil sendiri. Dan, jadi gandrung anyaran ternyata laris. Banyak yang mengejarnya. Ini membuatnya bingung. Orangtuanya juga jadi repot menerima tamu-tamu. Ada yang mau memanggil untuk pentas, ada yang senang kasih hadiah, ada yang sekedar ngobrol, ada…banyak lagi. Mendadak, suatu hari, ada yang melamar-mengajak kawin. “Daripada kamu jadi perawan tua, mumpung ada yang mau tanggungjawab….” Kata Bapaknya. Marisi manut.

Dia dinikahkan dengan lelaki yang usianya hampir dua kali lipat umurnya, duda anak satu. Dia berhenti jadi gandrung, jadi istri melayani suami.

Tiga bulan pertama, suaminya yang ternyata makelar motor dan tanah, lebih banyak diam di rumah. Marisi melayani suaminya setiap hari. Tiga bulan setelah itu suaminya banyak keluyuran dan pulang pagi. Tiga bulan kemudian Marisi diceraikan. Tanpa keributan, tanpa marah, tanpa gugatan, tanpa…

Dan, begitu saja terjadi, “Mar, daripada kamu nganggur di rumah, mbok jadi gandrung lagi saja,” kata Bapaknya. Tawaran ini segera dilaksanakan. Seperi madu dikerubungi semut, hampir setiap malam lelaki-lelaki menggeliat di sekitar tubuhnya.

Lantas ketemu lancing. Mengaku masih lajang dan anak Lurah setiap kali jadi pemaju wul-nya sekepalan tangan. Dan maunya dimasukkan lewat dada di tengah arena ditonton orang banyak. Marisi merasa risi. Tapi setelah tahu jumlahnya lumayan besar, yaa apa boleh buat. Apalagi setiap Minggu siang diajak jalan-jalan naik motor.

Lucunya, bekas suami pertama kemudian sering menyambanginya lagi. Rupanya dia cemburui ketika tahu bekas istrinya pergi dengan anak muda. Pernah keduanya bertemu bersamaan, “..kayak Damawulan ketemu Menakjingga,” bathin Marisi merasa lucu.

Entah kenapa, sejak itu dia tambah lengket dengan Damarwulan. Aku Dewi Suhita, aku juga Dewi Puyengan. Juga Dewi Anjasmara. Ketiganya ada dalam diriku. Aku, walaupun perempuan desa, mesti bisa sama derajatnya dengan putri-putri keraton. Bagaimana pun caranya. Damarwulan mesti dibuat menyerahkan tubuhnya, bukan cuma jadi pemaju, bukan cuma wul-nya. Atau mungkin harus kejiman roh danyang Blambangan supaya bisa merebut wesi kuning Menakjingga buat Damarwulan?

Marisi pun bermimpi, dia berhasil mengerahkan kemampuannya. Lekuk tubuhnya, ndlengkeng dada ke depan, pinggul ditarik ke belakang, geyol pantatnya dia olah, sampurnya berkibar-kibar ketika menari. Dengan goyang, lirik mata, dan senyum para pemaju makin merem-melek dibuainya. Semua berebut menghamburkan wul.

Marisi berhasil mengumpulkan kelengkapan hidup. Tapi, setelah wesi kuning dia berikan kepada Damarwulan, pernikahan berlangsung tak lebih dari empat bulan. Rupanya persembahannya berubah menjadi wesi ireng dan dipukulkan kepada dirinya sendiri oleh suami kedua – si Damarwulan itu, yang ternyata bisa malih rupa jadi Menakjingga juga.

Kalimat terakhir obrolannya dengan pak Munar sempat melintas. “Gela? Isun wis biasa, pak. Nasib..” Anjasmara setelah banting tulang  mendukung perjuangan Damarwulan menaiki tangga karir, bukannya memperoleh imbalan yang mulia, malah dicampakkan.

Perempuan desa memang sering dilecehkan lelaki kota, juga oleh lelaki desa yang berlagak priyayi, bahkan oleh sesama kaum perempuan sendiri.

Gemulai, tubuh yang letih itu seperti melayang. Tapi gandrung Marisi tetap menari. Dia mesti melantunkan gending Seblang Shubuh, dan mesti tetap tersenyum.

Memang begitulah keharusan yang dia warisi dari generasi-generasi sebelumnya, para penari gandrung di tlatah Banyuwangi.

“…Kembang waru kembang nangka
Tiga taline lawe
Isun seru abot nyang rika
Sun aboti anak kang duwe…”

Pelahan, dia lambaikan sampurnya. Matanya memberat, bibirnya tersenyum, dan bayangan si Bewok muncul di pelupuk matanya. Di benaknya melintas pertanyaan, yang membuatnya selalu ketar-ketir. ”Dia Damarwulan atau Menakjingga atau…?”

Jakarta, 10 Mei 1995

Catatan kaki:
sampur                = selendang penari
anyar                   = baru
nok                   = denok, panggilan ke perempuan
isun                       = saya
wedi                      = khawatir, takut
kon                        = kamu
gela                       = kecewa
terop                     = tenda di hajatan
mbujuk                 = bohong
pemaju            = tamu yang maju ke tengah arena
bokong                 = pantat
kliyengan            = pusing, sempoyongan
ciu                        = minuman keras
lancing                 = jejaka Banyuwangi
buwuh        = uang dalam amplop untuk empunya hajatan
wul                       = uang persen buat penari
ndlengkeng        = tonjolkan
wedi                     = takut
gela                      = kecewa
ngrepen              = turun menari
jiwitan                = cubitan
wesi                     = besi
ireng                    = hitam
malih rupa         = wajah berubah
tlatah                   = wilayah
kejiman roh danyang= kerasukan roh penunggu
kluncing              = triangle, bagian penting musik Gandrung


lirik lagu/dialog
“..sang anak ngomah nawi ngenten-enteni..”
Yang ada di rumah menunggu-nunggu

”..piye carane wong-wong bule iku mampir ndok nggonku..”
bagaimana caranya orang bule mampir di tempatku..

(dimuat di Sinar Harapan, Minggu 10 Maret 1996)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *