Ketika masih punya penghasilan tetap (bergaji), beberapa puluh tahun lalu, setiap bulan saya selalu menganggarkan dana untuk pembelian buku. Dari anggaran itu saya selalu membeli buku di toko buku. Jika buku yang saya beli tipis, saya bisa mendapatkan beberapa judul sekaligus. Namun, jika buku yang saya beli cukup gemuk halamannya – tentu saja – hanya satu atau dua judul yang bisa saya bawa pulang. Lantaran harganya pasti lebih mahal.

Buku yang saya beli, tak harus berlabel “best seller” tak juga yang harus ditulis oleh pemilik ‘nama besar’ atau yang dihujani oleh endorsement. Melainkan buku yang akan punya manfaat bagi diri saya. Apalagi saat itu buku belum dipacking plastic seperti sekarang. Saya bisa membaca dua tiga halaman (atau daftar isinya). Jika saya merasa buku itu layak saya baca dan dikoleksi. Maka buku itu akan saya tenteng ke kasir. Saya beli. Ini prinsip saya dalam membeli buku.

Kenapa dalam membeli buku saya berprinsip seperti itu. Karena saya setuju dengan pernyataan Ali Bin Abi Tholib – undzur man qola wala tandzur ma qila – perhatikan apa yang dikatakan dan jangan lihat siapa yang bicara. Artinya, boleh jadi si penulis buku, memang, penyandang nama besar. Namun, isi buku belum tentu punya manfaat bagi saya sebagai komunikan atas pesan yang tertulis dalam buku. Atau sebaliknya, penulisnya bukan orang terkenal. Tetapi, karena isinya akan memberi manfaat (khususnya buat saya), buku itu akan saya pilih. Itu sebabnya koleksi buku yang saya miliki tidak sepenuhnya ditulis oleh ‘nama besar’, pun tak juga (harus) yang berlabel best seller atau pemenang suatu lomba.

Saya percaya dengan pernyataan Ali Bin Abi Tholib lantaran dari empat orang khulafaur rasyidin – Abu Bakar, Umar Bin Khottob, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abu Tholib – yang mendapat gelar “Gudang ilmu” adalah kholifah yang terakhir.

Buku-buku yang saya  beli (tentu saja di luar buku wajib di sekolah, karena saat itu saya masih tercatat sebagai mahasiswa di Sekolah Tinggi Publisistik) adalah buku sastra, buku agama, buku psikologi, atau filsafat. Tak pernah saya membeli buku tentang hukum, ekonomi, teknik, politik, olahraga, kedokteran, elektronik, atau buku tentang kebatinan. Buku semacam ini (bagi saya) kurang memberi manfaat. Karena bisa dipastikan buku tersebut tak bisa saya “amalkan” isinya.

Pun, saya tidak pernah membeli buku berdasarkan atas resensi yang termuat di media cetak, koran, misalnya. Seperti dilakukan oleh seorang sahabat yang juga pecinta buku. Ia baru mau membeli buku jika sudah membaca resensinya. Padahal buku yang dimuat resensinya tersebut belum tentu sama (jenis bukunya) dengan minat bacanya.  Jika yang terjadi demikian, tentunya, ia tetap tak akan membeli buku tersebut. Kendati ulasannya menarik.

***

Saya pernah berpikir jika harga buku mahal. Tapi, setelah mengamati beberapa orang yang suka jalan-jalan ke mall. Ternyata harga buku tidak seperti yang saya perkirakan semula. Betapa tidak, jika orang ke mall bisa menghabiskan ratusan ribu bahkan hingga jutaan untuk sekedar belanja kebutuhan fisik (baca: makanan.) semacam bakso, nugget, sosis, kentang, atau yang lainnya untuk stok di kulkas. Padahal, Barang-barang tersebut akhirnya akan menjadi (maaf) kotoran setelah dikonsumsi. Namun, untuk kebutuhan yang bersifat non fisik (buku, contohnya) begitu sulit orang untuk mengeluarkannya. Padahal sesuatu yang bersifat non fisik tak akan ‘terbuang’ sia-sia seperti halnya makanan jasmani.

Kenapa demikian? Barangkali karena masyarakat kita lebih menilai sesuatu yang bersifat fisik. Sesuatu yang langsung bisa dilihat secara kasat mata. Ya, jika seorang anak terlihat berbadan besar akan menjadi “tolok ukur” tak kekurangan makan. Karena memang ‘hasil” dari makanan fisik akan terlihat secara kasat mata. Beda halnya dengan ‘hasil’ makanan rohani tak akan terlihat. Sebutlah anak yang menguasai sebuah ilmu, misalnya, menguasai rumus matematika tertentu atau telah membaca sebuah buku tidak akan terlihat secara fisik. Tidak bisa langsung diketahui ‘hasilnya’ seperti halnya makanan fisik. Apalagi ‘hasil’ membaca buku yang berupa sikap santun, tatakrama, atau adab kesopanan lain yang ada dalam diri seseorang.

Itulah sebabnya, barangkali, masyarakat kita lebih mengutamakan sesuatu yang bersifat kasat mata. Santapan jasmani lebih diperhatikan (bahkan terkadang berlebihan) dan tidak peduli dengan santapan rohani – sesuatu yang menyangkut intelektual dan spiritual. Yang salah satu cara untuk mendapatkan santapan rohani tersebut adalah dengan membaca buku.

***

Gagasan itu mahal, demikian sering dikatakan oleh para penulis. Tak terkecuali penulis buku. Entah buku fiksi maupun non fiksi. Apa yang dikatakan mereka bukanlah  “keluhan” agar harga buku menjadi lebih mahal. Toh, buktinya sampai saat ini pun harga buku masih dianggap ‘mahal’. Namun, salah satu faktor yang menyebabkan harga buku seperti sekarang ini karena – diakui atau tidak – karena banyaknya pajak yang menyertai produk ‘makanan rohani’ ini. dan, tak terkecuali pajak yang harus dibayarkan oleh sang penulis ketika bukunya terjual.

Benar. Apa yang dikatakan para penulis bahwa gagasan itu mahal. Karena untuk menuliskan sebuah gagasan untuk menjadi sebuah buku bukan persoalan yang mudah. Ia bukan cuma butuh waktu untuk menuangkannya dalam tulisan. Melainkan pula perlu perenungan-perenungan dan tentu saja juga tambahan literatur. Hal ini saya alami betul setelah ‘berhasil’ menulis beberapa judul buku. Tak terkecuali novel. Tak ada satu pun buku yang saya tulis dalam waktu singkat. Apalagi seperti yang pernah diiklankan di medsos bahwa menulis novel bisa dilakukan dalam satu hari. Ini adalah sesuatu hil yang mustahal (pinjam istilah Asmuni Srimulat).

Meskipun untuk menuliskan gagasan dalam sebuah buku – entah buku fiksi maupun non fiksi – bukan persoalan mudah. Namun, sebetulnya, gagasan itu menjadi sesuatu yang tidak mahal ketika sudah tercetak dalam sebuah buku. Ketika sudah disajikan di toko buku atau dijual di toko online.

Mari kita hitung-hitungan. Katakanlah sebuah buku dengan harga seratus ribu rupiah. Sebutlah umpamanya royalty yang diterima oleh penulis 15 % (tapi penerbit yang memberikan prosentase segini sangat sedikit). Ini berarti hanya 15 ribu yang diterima oleh setiap penulis dalam sebuah buku. Di sini saya tak akan bicara berapa yang terjual. Melainkan dalam sebuah buku yang kita beli dengan harga 100 ribu, sebetulnya, kita hanya “membayar” gagasan yang tertulis hanya 15 ribu rupiah. Yang 85 ribu adalah harga kertas, tinta cetak, biaya cetak, biaya jilid, ongkos produksi lainnya, hingga biaya distribusi dan (terbesar) rabat untuk toko buku.

Limabelas ribu untuk sebuah gagasan yang menjadi santapan rohani sungguh sangat murah. Apalagi jika buku tersebut dibaca oleh tiga orang (ayah, ibu, anak) maka ia menjadi lebih murah lagi. hanya lima ribu rupiah. Angka nominal ini sungguh tak cukup untuk membeli secangkir kopi di sebuah kafe berkelas, semacam starbuck, misalnya.

Tetapi, mengapa masyarakat lebih bangga mengeluarkan ‘nominal besar’ untuk secangkir kopi di kafe berkelas, menikmati burger, pizza, atau makanan lain yang sekali santap dan habis dengan harga yang sangat fantastis. Padahal sebuah buku bisa ‘disantap’ (baca: dibaca) berulangkali tanpa harus membayar lagi, bahkan bisa ‘dinikmati’ dan menjadi ‘santapan’ – rohani – sekeluarga.

***

Akhir-akhir ini, ada semacam kekhawatiran kalau buku cetak akan tergilas oleh buku digital. Namun, menurut saya, kekhawatiran ini tak perlu terjadi. Sebab sebetulnya tanpa adanya buku digital pun memang ‘selera baca buku’ masyarakat kita cukup rendah. Paparan-paparan di atas adalah buktinya.

Bukan satu dua orang pernah mengatakan kepada saya, mereka lebih memilih membaca buku digital. Tapi, kenyataannya mereka cuma omong doang, biar kelihatan seperti mengikuti perkembangan. Sebab ketika saya tanyakan buku digital apa saja yang pernah dibacanya. Ternyata tak ada yang pernah dibacanya. Ini seperti dugaan saya dulu, sejak era internet, masyarakat menjadi gemar membaca (lewat gawai). Namun, sebetulnya mereka cuma membaca hal-hal yang tidak begitu penting. Semacam pesan di WA atau hanya judul berita yang muncul di gawai. Tidak seperti halnya orang yang membaca koran, majalah,atau membaca sebuah buku hingga khatam, misalnya.

Pun, tidak kurang jumlahnya orang yang bilang baca buku di internet gratis. Betulkah demikian? Saya kok ragu. Coba kita tidak punya kuota internet, bisakah kita membaca buku (yang disebutkan gratis itu). Tidak bisa bukan?

***

Bagi seseorang yang punya komitmen ‘hidup dari menulis’ bukanlah kekayaan (benda) yang dikejar. Karena dari ratusan ribu penulis tak pernah ada sejarahnya ada yang bisa ‘hidup kaya dari menulis”. Jika pun ada, jumlahnya bisa dihitung dengan jari tangan, karena bukunya ada yang best seller. Namun, nyatanya ada yang berhasil menulis buku yang ‘best seller’ toh tetap tak mau meninggalkan ‘profesi’nya sebagai karyawan. Lantaran  menulis (di negeri ini) belum bisa dijadikan mata pencaharian yang bisa memberikan kehidupan yang layak. Karena sebuah gagasan, meski sulit untuk dituangkan dalam sebuah buku, ternyata tidak (terjual) mahal. Sudah begitu, kurang laku pula. ***

Humam S. Chudori, sastrawan dan pengasuh surauhumamschudori pada kanal youtube nibukantv, tinggal di Tangsel.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *