
Atas desakan dari istriku, tawaran Pak Cokro akhirnya kuterima. Pengasuh kelompok Seni Bantengan itu memang sedang kebanjiran job, tapi oleh beberapa anggotanya malah ditinggal pergi dan menyisakan banyak sekali pertunjukan yang musti mereka gelar.
Persoalan ini menjadi semakin pelik karena Pak Cokro telah menerima uang panjar dari si pemberi kerja. Tak ingin kehilangan muka, alih-alih mencari anggota baru sebagai pengganti, laki-laki bertubuh tegap itu mendatangi rumahku dengan sekarung beras yang katanya dipanen dari sawahnya sendiri.
“Repot-repot sekali, pak?!”
“Ah, tidak. Kebetulan panen musim ini ini sedang bagus.”
“Lantas, apa yang bisa saya bantu?”
“Tentu istri dik Ismawan sudah menceritakan alasan saya datang kemari,” kalimat penutupnya, setelah kopi dan beberapa makanan ringan tersedia di atas meja.
“Sudah, pak.”
“Lalu bagaimana, dik?”
“Kebetulan saya sedang butuh pekerjaan.”
“Sokur, berarti besok kita sudah bisa latihan.”
“Tapi, pak ….”
“Tapi apa lagi, dik?”
“Bapak tahu saya bukan pekerja seni.”
“Itu soal kecil.”
“Apa tidak sebaiknya cari orang lain saja?”
Air muka Pak Cokro langsung berubah. Sekilas ia tampak menghirup napas panjang, seperti sedang mengumpulkan sisa kekuatan yang ada di dalam dadanya. “Begini, dik …
“Pertama, anggap saja masuknya dik Ismawan ke dalam kelompok asuhan saya ini sekadar untuk mengisi waktu. Lumayan buat sampingan, sebelum dik Mawan mendapat pekerjaan yang layak dan sesuai.” Pak Cokro berhenti sebentar, menyeruput kopinya dengan berisik
“Yang kedua, saya kira sudah menjadi rahasia umum kalau anak muda zaman sekarang tidak tertarik dengan Kesenian Bantengan lagi. Puluhan tahun seni Bantengan telah menghidupi keluarga besar kelompok ini. Tapi, setelah masyarakat meninggalkannya, terlebih ditinggalkan oleh para pegiatnya, saya merasa wajib untuk hadir dan mengambil langkah konkret dengan melakukan lobi ke sana-sini untuk meminta pekerjaan karena keberlangsungan orang-orang di dalam kelompok ini ada di tangan saya.”
Pak Cokro berhenti lagi, memberi jeda yang cukup panjang setelah kalimat terakhirnya selesai. Ada bersit keputusasaan yang terpancar di wajahnya sekaligus lelah yang teramat sangat—seperti seorang petarung yang baru saja menjatuhkan lawan tandingnya dengan jurus pamungkas, tapi si musuh bangkit dan mengajaknya berduel lagi.
Hingga beberapa lama, tidak ada yang ia lakukan selain menikmati kreteknya sambil melirik ke arahku, menunggu jawaban yang keluar dari mulutku; sungguh pemandangan itu membuatku dirundung rasa pekewuh yang amat merepotkan hati.
Jujur saja, dari getaran suaranya sangat terdengar sangat murni dan tak dibuat-buat. Sedikit pun tak kutemukan tendensi lain kecuali sebuah harapan seorang pegiat seni yang ingin mempertahankan tradisi Bantengan yang telah ia rawat sejak lama.
Situasi ini sungguh di luar dugaanku. Padahal sebelumnya, aku tidak pernah berkeinginan terlibat urusan apapun dengan Pak Cokro; maka sedari awal aku selalu menjaga jarak, bahkan memasang kuda-kuda karena nama Pak Cokro, menurut desas-desus yang beredar, adalah jenis orang yang harus dihindari karena gaya hidupnya yang bebas: suka main perempuan, mabuk-mabukan, judi, dan lain sebagainya.
Bisa jadi desas-desus tentang Pak Cokro memang benar adanya. Tapi, apa hak kita? Bukankah semua itu adalah urusan pribadi?! Seandainya pun ada keharusan untuk menilai diri Pak Cokro, maka yang harus dinilai adalah moral publiknya. Bukan yang lain. Misalnya, apakah kualitas pertunjukannya buruk, apakah cara kerja Pak Cokro tidak professional, dan lain sebagainya—yang mana sebagai seorang pekerja seni dia memang tidak pantas mendapatkan apresiasi dan layak untuk dipergunjingkan.
Dan lihatlah sekarang! Orang yang dianggap buruk oleh masyarakat itu kini justru hadir sebagai juru selamat: ingin melestarikan tradisi dan budaya, ingin menghidupi anak asuhnya, dan yang paling penting ia datang menawariku pekerjaan di saat aku sangat membutuhkannya.
Kukatakan demikian karena anakku yang pertama sudah menginjak kelas 3 SMP, yang nomor dua kelas 6 SD. Satu atau dua bulan lagi mereka membutuhkan biaya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya, tapi celakanya tak sepeser pun uang ada padaku karena selama ini seluruh urusan rumatangga bergantung pada pendapatan istriku yang berdagang di pasar.
Awalnya istriku tidak begitu mempersoalkan keadaan ini, bahkan membesarkan hatiku agar tak berlarut-larut di dalam kesedihan karena perusahaan memutus kontrak kerjaku secara sepihak. Dan hebatnya lagi, istriku tak henti-henti memberi semangat agar tak berputus asa untuk mencari pekerjaan baru supaya kehidupan kami menjadi normal kembali. Tapi sayangnya, setelah sekian lama berusaha, dan tak kunjung membuahkan hasil, istriku mulai menampakkan perubahan.
Dia mulai uring-uringan tanpa sebab yang jelas. Tapi, aku masih bisa mengerti karena beban yang ia tanggung tidaklah mudah. Hingga berbulan-bulan lamanya keadaan rumahtangga kami selalu dipenuhi pertengkaran, dan yang paling membuatku terpukul adalah keadaan psikis kedua anakku yang mulai terganggu karena pertengkarang kedua orangtuanya berlangsung hampir setiap hari.
Aku bukanlah tipikal laki-laki penganut budaya patriarkis. Maka, ketika istriku mulai berani merendahkanku dan tidak menghargaiku sebagai seorang suami, aku masih mau mengerti keadaannya. Tapi, ketika sikap itu mulai ia tunjukkan di depan orang lain, aku memberontak, dan hal itu semakin memicunya untuk meminta cerai dengan segera.
“Tidak akan!” kataku, ketika istriku semakin berhasrat memancing keributan.
“Aku sudah tidak tahan hidup seperti ini.”
“Berilah aku kesempatan.”
“Kau tahu jawabannya.”
“Aku sudah berusaha, kau pun tahu itu!”
“Ya, tapi hidup membutuhkan hasil, bukan cuma proses.”
“Kalau begitu, bantulah aku untuk mendapatkannya.”
Ia menyeka linangan airmatanya. “Aku dengar Pak Cokro sedang mencari orang.”
“Maksudmu Pak Cokro yang itu?”
“Siapa lagi!”
“Apa tidak ada yang lain?”
“Terima saja kenyataan!”
Aku diam, tak tahu harus bicara apa lagi.
“Besok dia datang ke sini.”
***
Di ruang tamu Pak Cokro masih memandangi kepulan asap rokok yang mengambang di udara.
“Silakan dicicipi makanannya, pak.”
“Terima kasih,” kata Pak Cokro sambil menuju ke salah satu toples, memutar tutupnya, kemudian menjumput isinya. “Jadi bagamana, dik?”
“Saya mau, pak.”
“Kalau begitu, silakan diterima ….” Pak Cokro mengeluarkan amplop dari saku celana.
“Apa ini?”
“Persekot.”
Tak sanggup aku berpura-pura lagi, perasaanku begitu takjub memandangi amplop pemberian Pak Cokro yang diletakkan di atas meja sambil membayangkan wajah kedua anakku yang, beberapa hari lalu, menanyakan apakah mereka bisa ikut acara perpisahan di sekolahnya.
***
Matahari terasa bergetar-getar di atas kepala ketika aku sampai di halaman rumah Pak Cokro.
Sinden, pemukul kendang, ketipung, jidor, saron, dan kenong melanjutkan latihan setelah azan Zuhur berhenti. Pawang, pemain monyetan, dan pemain macanan menyusul kemudian setelah semua alat musik mengalun—membentuk nada yang sangat harmonis.
“Bantengan masuk!” Perintah Pak Cokro kepada Supri yang celingak-celinguk kebingungan.
“Saya sama siapa, pak?”
“O, iya.” Kini giliran Pak Cokro yang celingak-celinguk mencari keberadaanku. “Berhenti!”
Suaranya yang beribawa membuat suasana menjadi sunyi. Setiap orang yang hadir beranjak dari tempatnya untuk mencari posisi duduk hingga membentuk lingkaran. Setelah itu, Pak Cokro memperkenalkanku kepada yang lain terutama kepada Supri karena kami bertugas sebagai pemain bantengan.
Di dalam rapat kecil itu Pak Cokro memberikan wawasan kepada kami semua, terutama kepadaku tentang apa itu bantengan. Semiotik karakter binatang yang ada di dalam kesenian tersebut dan hal-hal yang dilakukan selama dalam pertunjukan. Pak Cokro juga menjelaskan sejarah jenis-jenis bantengan, dan ritual apa saja yang harus dilakukan sebelum melaksanakan acara.
“Nah, dik Ismawan, karena kamu bertugas sebagai pemain bantengan, selain harus menguasai pencak silatnya, juga harus bisa trans.”
“Apa itu, pak?”
“Itu adalah acara puncak dalam pertunjukan ini, sebagai simbol restu leluhur. Jadi, para pawang akan memanggil arwah leluhur kemudian mamasukkannya ke dalam tubuhmu.”
“Maksudnya ndadi, pak?”
Pak Cokro mengangguk.
Setiap kali kepala laki-laki itu bergerak ke atas dan ke bawah, tubuhku terasa semakin kaku, tak tahu harus berkata apalagi. Masih utuh di dalam ingatan, bagaimana pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi di dalam rumah hanya karena tawaran Pak Cokro yang kuanggap tidak cocok denganku. Tapi, setelah berkompromi dengan banyak hal yang akhirnya membuatku bersedia datang ke tempat ini, permasalahan lain muncul, dan, lagi-lagi, membenturkanku dengan akal sehat. Maksudku, peristiwa yang mengakibatkan seseorang menunjukkan gejala misterius yang dikaitkan dengan kekuatan adikodrati itu adalah entrainment, sebuah keadaan di mana seseorang terbawa oleh ritme musik tertentu yang ada di dalam dirinya sendiri. Ritme musik ini bisa jadi berasal dari bunyi-bunyian di masa lalu yang terekam di alam bawah sadarnya. Dan, ketika suara-suara yang ada di luar dirinya bertemu dengan ritme musik alam bawah sadar miliknya—menjadi lesaplah ia, selaras, menyatu—dan pemain bantengan akan berada dalam kondisi asyik hingga tak lagi sadar bahwa tubuhnya sedang bergerak-gerak di luar kendali.
Selanjutnya sudah bisa ditebak. Orang-orang yang melihat pemandangan tak lazim itu menyebutnya sebagai peristiwa kesurupan, ndadi, atau disusupi oleh roh halus. Padahal menurutku, tidak ada kaitannya sama sekali.
“Jadi bagaimana, dik?”
Aku tidak menjawab.
“Kenapa?”
“Menurut saya, ini semua tidak masuk akal.”
“Kalau menurutmu tidak masuk akal, kenapa tidak dimasukkan hati?” Sergah Pak Cokro sambil memerintahkan agar anggotanya bubar, melanjutkan latihan. Kecuali aku, ia mengajakku berjalan sedikit menjauh.
“Saya kira kita sudah sepakat. Berlakulah profesional. Jika belum bisa, lakukan pekerjaan ini demi anak-anakmu.”
***
Sarat dan bekal untuk tirakat sudah siap.
Satu kantong plastik berisi bunga tujuh rupa beserta uba rampe lainnya kuletakkan di atas meja, lalu berpamitan kepada istriku.
“Aku berangkat dulu, Sri.”
Tak begitu lama ia keluar dari kamar, “hati-hati di jalan.”
“Anak-anak sudah berangkat?”
Sri mengangguk.
“Ya sudah,” selepas kumandang azan Isyak aku beranjak meninggalkan rumah, berjalan menuju ke lokasi ritual, sesuai arahan yang diberikan oleh Pak Cokro.
Sudah cukup jauh aku berjalan, aku baru ingat kalau bunga dan beberapa uba rampe masih tertinggal di atas meja. Panik, aku memutar balik langkahku, berjalan sedikit buru-buru.
Tiga puluh menit kemudian akhirnya aku sampai di depan rumah. Pintu pagar kugeser secara perlahan. Suasana terasa sangat sepi sekali. Juga gelap, karena beberapa lampu tampak dimatikan. Mungkin Sri sudah tidur, pikirku saat itu, maka kumasuki rumah dengan cara mengendap-endap agar tak mengganggu waktu istirahatnya. Setibanya di ruang tamu, kuraba letak kantong plastik di atas meja. Belum sempat ketemukan sesuatu yang kucari di atas meja, telingaku malah mendengar, desis Pak Cokro dan desahan istriku dari dalam kamar.
Fajar SH lahir di Surabaya, 28 Juni 1984. Kuliah jurusan Ekonomi di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Penulis. Praktisi Penerbitan. Aktif di lembaga kebudayaan ‘Padepokan Les Kendalisodo’ – Gresik. Aktif di Perkumpulan Pegiat Literasi Blitar. Tulisan yang pernah dimuat: Majalah Kartini: Debur Dan Ombak, Debar Duka Citaku (Cerbung) edisi 2474, 2475, 2476. Diva Press: Uber SBY (Parade Kisah Pengguna Taksi & Ojek Online) April 2018. Takanta.id: Jurang Ludruk; Agustus 2021. Cerano.id: Membunuh Kercaci; Desember 2021. Yang Terhormat Bapak Saya (kumcer); 2020