Penyair yang menamakan dirinya sebagai Ence Sumirat, lahir di Cianjur  ini mengaku belajar menulis puisi secara otodidak. Benarkah demikian ?

Tentu untuk bisa menjawabnya memerlukan pemindaian lanjut terhadap keseharian Penyair ketika berpuisi. Dalam hal ini pun serasa berat jika Penikmat Puisi harus mengendus berbagai aroma kepenyairan sang Penyair. Hanya sedikit orang yang betah menjadi Periset yakni melakukan pemantauan segala fenomena yang muncul dari Sang Penyair.

Tidak semua orang bersedia menjadi Periset Puisi, kemudian menuliskan laporan risetnya: mulai dari latar belakang masalah, tujuan riset, sitasi teori pendukung maupun kontra, praduga penyelesaian masalah, pemilihan metode, data yang terkumpul, analisis pengolahan data, sampai menyampaikan hasil riset dan kesimpulan.

Sebelum melakukan riset pun, kadang sudah terbayang bagaimana rumitnya kerja kerja seorang Periset, apalagi Periset Puisi yang menyangkut fenomena Penyair di dalamnya, boleh jadi lebih bikin semakin menantang pikiran.

Sebagai langkah pembelaan dari menghindar dengan segala tata aturan riset, maka pada kesempatan ini, Penulis akan memilih diri menjadi Penikmat Puisi saja yang sedikit memiliki kemerdekaan dalam hal cara ungkap logika, rasa, maupun karsa. Kali ini giliran menikmati dua  Puisi Penyair Ence Sumirat, yang pernah tayang di Jurnal Online mbludus.com di alamat Online https://mbludus.com/puisi-puisi-ence-sumirat/. Puisi pertama besutan Penyair Ence Sumirat yang  tayang di mbludus.com tersebut tercium wangi bunga kerinduan yang mendalam, namun tiada obyek kekangenan yang tegas kepada siapa rindu dipanahkan, dan bagaimana suasana kejiwaan Penyair yang terkesan membaurkan antara perjalanan usaha keras, dan pertaruhan terhadap yang diidamkan, sehingga rindu akan kehadiran yang diidamkan itu bisa disamarkan. Suasana kebatinan seperti ini bisa diprediksi di Puisi yang berjudul  “IZRAIL DALAM RUPA LAIN” terutama di kalimat di bagian bait ini:

/Tapi juga mempertahankan
Sesuatu yang diidamkan/

Dari cara ungkap yang terkesan tidak memiliki citarasa khas yang mengacu pada gaya Orang lain, dan cenderung menjadi kalimat tidak lengkap, patut diduga, pengakuan Sang Penyair memang benar benar belajar berpuisi secara Otodidak. Dugaan ini semakin menguat ketika sampai penikmatan ulang pada bait pertama dalam kalimat:

/Telah kuangkat sebagai anak/

Kalimat di atas menjadi semacam kalimat tidak lengkap atas susunan SPOK – Subyek, Predikat, Obyek, dan Keterangan. Itulah Puisi, kata para Ahli Sastra: Puisi tidak harus mengikuti kaidah bahasa tertentu, sebab Tulisan di dalam Puisi bukanlah sekadar Kalimat yang terbaca, tetapi ada rasa, makna, misteri logika, dan tentu saja sarat dengan pesan pesan yang tersembunyi.

Namun demikian, di sisi lain ada yang mengatakan bahwa Puisi adalah persembunyian paling terang benderang alias terang terangan bagi Sang Penyair. Seperti kalimat di bait pertama tersebut, dengan tidak menuliskan  Obyeknya, Siapa yang telah diangkat sebagai anak oleh tokoh /ku/ lirik, maka pembaca punya kesempatan untuk menelisik bait bait berikutnya, Puisi puisi selanjutnya atau bahkan Puisi puisi lain di media lain dari karya Sang Penyair.

Jangan jangan bisa ditemukan adanya hubungan yang saling menguatkan, menegasikan atau sekadar diperoleh munculnya tanda tanda adanya mata rantai logika saja. Adapun Puisi pertama, lengkapnya di bawah ini.

Puisi pertama

IZRAIL DALAM RUPA LAIN

Telah kuangkat sebagai anak
Perlawanan terhadap cinta
Lalu kubina hingga dewasa
Sampai menjadi manusia

Sebab pertaruhan
Bukan sekedar kesakitan
Lepas nyawa dari badan
Tapi juga mempertahankan
Sesuatu yang diidamkan

2022

Puisi ke dua besutan Penyair Ence Sumirat yang telah terbit di mbludus.com, dan menyangkut di aliran keindahan rasa, makna, dan misteri logika, kali ini terpilih puisi yang berjudul “SIAPAKAH”.  Puisi ini diawali dari judul yang bersifat investigasi penuh telisik untuk menelusuri segala obyek yang menjadi sasaran pemindaian dengan praduga: Jangan jangan ini jawabannya. Namun demikian setelah digerayangi dengan endusan yang paling misteri, ternyata belum terbayang jawaban dari kata Tanya /SIAPAKAH /. Apa lagi di judul Puisi tidak diberikan semacam isyaroh tanda tanya (?) yang biasa dipakai sebagai tanda baca untuk kalimat Tanya. Sehingga judul ini pun seolah memberikan kemerdekaan bagi pembaca, akan dimaknai apa, atau akan mempunyai logika seperti apa, atau bahkan rasa yang timbul seperti apa. Justru ketiadaan tanda baca ini menjadikan bertambahnya misteri dari puisi itu sendiri.

Di bait puisi /SIAPAKAH / ini juga belum ditemukan jawaban, padahal puisi itu bisa jadi akan mengungkapkan dirinya sendiri melalui kata demi kata, kalimat demi kalimat, dan bait demi bait. Namun nyatanya dari sisi penikmatan Puisi, secara gamblang, belum ditemukan jawabannya, kecuali samar samar hanya berupa tanda tandanya saja, berupa nilai tawar yang seolah terbalik dari logika dunia nyata, semisal pada kalimat /Setelah berabad peziarah menanti doa/. Peziarah biasanya memberi doa kepada dirinya sendiri atau pun orang lain, bukan menanti doa.

Penyair lebih memilih kata /menanti doa/ dari pada menunggu doa. Kata menanti punya ranah waktu yang tidak pasti kapan datangnya doa, sedangkan menunggu memiliki semangat penuh kepastian, semisal Ruang tunggu dokter, pasti: waktunya, ruangannya, dan cenderung untuk peristiwa tertentu yang terkait dengan dokter dan pasien.

Meskipun demikian, dalam hal keterbukaan informasi, ternyata sang Penyair tidaklah pelit pelit amat, ada sedikit celah misteri yang bisa didalami untuk masuk ke pada kegelapan misteri puisi, satu diantaranya melalui adanya dugaan keterhubungan antara Puisi ke dua dengan Puisi pertama. Adapun Puisi ke dua, seperti di bawah ini.

Puisi  ke dua

SIAPAKAH

“Siapakah yang memindahkan sungai di bumi yang gersang ini?”
Setelah berabad peziarah menanti doa
Yang kering oleh terik matahari
Dari alpa semesta menyalakan cahaya

Semoga saja
Kehilangan rindu ini
Tobat menuju sebuah alamat
Ketika cinta berjalan jauh tersesat

2021

Puisi Pertama dan Puisi ke dua di atas, sama sama diakhiri dengan tulisan angka, yaitu 2022 untuk Puisi pertama, dan 2021 untuk puisi ke dua. Apa arti angka ini, tidak ada penjelasan selain angka itu sendiri. Apakah angka tersebut menandai tahun lahirnya Puisi, ataukah nomor urut. Jika mengacu pada kebiasaan pada umumnya, bisa jadi tulisan angka 2021, dan 2022 adalah tanda tahun lahirnya Puisi. Apabila asumsi kebiasaan ini yang dipilih, maka Puisi ke dua ditulis lebih dulu satu tahun dari pada Puisi yang pertama. Maka tidak terlalu keliru kalau ada yang menyingkap bahwa Puisi pertama dan Puisi kedua terdapat saling keterhubungan, minimal dalam suasana aroma wangi Puisi, yaitu sama sama mengungkapkan tentang rindu. Di Puisi pertama menggunakan pilihan kosa-kata /Sesuatu yang diidamkan/ sedangkan di Puisi ke dua pilihan kosa-katanya adalah /Kehilangan rindu ini/. Kata idam dan rindu sejatinya punya semangat rasa yang mirip, yaitu sama sama ingin selalu bersama. Bersama dengan yang diidamkan, dan bersama dengan yang dirindukan.

Di Puisi kedua, setelah timbul Tanya di bait pertama:

/“Siapakah yang memindahkan sungai di bumi yang gersang ini?”/

Sang Penyair melontarkan harapan lanjut, meski telah kehilangan rindu:

/Semoga saja
Kehilangan rindu ini/

Dari ungkapan di bait di atas dan dihubungkan dengan Puisi pertama, memberi kabar bahwa Sang Penyair sedang risau dengan dirinya sendiri, atau pun mungkin, ini hanya berupa potret dari orang orang maupun alam di sekitarnya, yang diabadikan dalam wujud Puisi, bahwa ternyata ada seseorang yang kehilangan rindu.

Keren!

Penulis:

Kek Atek, Penikmat Puisi, Tinggal di Rumpin, Kab. Bogor, Indonesia.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *