DEWI PUISI DAN KESENIAN

dewi puisi dan kakaknya itu
dewi kesenian suka membantu  yang miskin dan teraniaya

dewi puisi adalah ulat berbulu
hidup di ayunan waktu, tidak menunggu
di balik dedaunan kala basah
di batu bolong tak berlumut
di tembok tembok berlobang
Pernah kamu bermimpi bulan jatuh?
meski kadang lahir dari debur nafsu
dewi puisi tetap mulia, tetaplah agung
puisi bukan bulan pun rayap kayu
apalagi kokok ayam jantan di pagi dini
Dewi puisi mirip wanita pertama kali hamil, banyak maunya, samar rasa, kerap meringis

kesenian ialah ular cobra
jantan dan betina sama saja berbisa
melarikan sakit dendam jutaan abad
sebelum Adam tiba di benua Asia –
Hawa di benua Afrika, Iblis Azazil
di lembah garam Basrah
Keduanya sarat cinta lugu menghadapi musuh,
yang ketiganya makhluk dengki, penuh cemburu
ular alat kemerdekaannya di dahan, di gua
Dewi seni lahir pada saat Qabil  memuja api di malam tak berbintang
dewi puisi lahir dari senyuman Tuhan
(jangan bangga wahai kaum seniman! ini surga tapi jebakan  kehidupan kalian).

Tak perlu bimbang, genangan rasa
di cekungan jiwanya seperti kolam
Dewa prosa penolong suka datang, agar kekaburan makna menjelaskan

kesenian mencintai orang miskin,
semua yang teraniaya dibela puisi
sehabis tsunami, gempa sana sini, beras sisa sebutir, hewan pun ketir,
setelah kebaikan berkeadilan hadir.
Dewi puisi lahir di tanah air hidup sunyi
Dan dewa prosa gemar makanan lezat
sambut, lalu reguklah sepuas mungkin.

/Citarum Rajamandala, 30/1/ 2019

PENYAIR TAHANAN POLITIK

: Amarzan Lubis sampai Martin Aleida

Kesturi meski dirundung kabut, masihlah wangi,
di jangkauan musim pendemi banyaklah gugur,
ya gugur tanpa didedahkan menjadi lagu elegi
tangan yang dulu dibelenggu menuju pulau Buru,
garis-garis keriputnya berdenyut saat jadi saksi
wajah-wajah itu menolak ditawan sejarah palsu
Ya di jendelaku, di jendela siapapun terlihat kukuh, langkah gontai, rambut putih, tak menghapus nyali
Taring orde baru kerap menembus tulang sumsum
Kabar ibumu mati pun hanya dirajam rindu perih
O pujangga bernyali hilang di tanah Melayu!

wangi kesturi saksi berlembar-lembar kertas puisi
ya penyair dibawah mega mendung,
piring rangsum ditaburi racun,
tapi kematian masih jauh, belum tunduk ke waktu
segala yang hidup sebagian dicatat buku
helai kesturi yang terakhir lepas bukan cinta sesaat tangkainya menyimpan harapan,
Helai-helai telah siap terdakwa di atas gulma,
tak ada percakapan di udara sarat khianat
: aromanya berloncatan di senyap,
dan tanpa pengadilan-sejarah dipendam
Jika rantau bagai burung migran,
terbang melintas lautan, bekerja di hutan Vietnam
Puisimu berbicara situs kampung halaman
: tanpa sinaran lampu ibukota dan bulan ngambang
“Bapak Amarzan ada dimana waktu tentara tiba?” tanya wartawan muda.
Tak menyahut, semuanya bungkam
Negeri penuh bencana tiada lain tahanan politik bukan cakrawala kusam Indonesia, itu bunga mimpi
Anak cucu kita masih terpasung di kotak besi
“Kamu tak bisa apa-apa, hanya tangis.”
zaman itu aromaterapi kesturi
lebih berarti dari senyum gadis
dan janji manis bupati pada si miskin
sebab lepas tahanan – dianggapnya dosa itu pergi
Jiwa sonder perkasa saat pena bersaksi
: “kawan, jangan sebut aku penyair sepi!
Begitu hasrat merusak hukum cacat,
anakku kelak menjelma jaksa, meminta hakim Illahi hadir “.
Kelak segalanya berakhir di ujung jari,
Kemarin, penyair tahanan politik sudah mati,
Larik padat puisinya terasa kini

Bandung, 29 Oktober 2020

JEJAK DI BATU KARANGKAMULYAN

berlarian, berlarian anak dalam hujan
menembus segala yang memercik indah,
matamu teduh sekukuh gunung rimbun,
bau kencur, bau lumut bercampur di daun
buku jiwaku tersibak angin hutan
musang, oh tak sopan di batu Karangkamulyan
jejak kakinya berubah lumut batu
di bulu bulu mataku terasa baunya lewat
di mulut cukong tanah adat Priangan
oh hina dina, memalukan peradaban.
Tercatat, masuk kutukan moyang
hujan deras tak bisa menghapus keringatnya,
mata haus pujian, ya garisnya akan memudar
semua ucap – tulisannya hilang,
tak ada kenangan indah, buram
Kesejatian memang perjuangan di hening
buruannya penyair tawanan nurani

hidup oh mimpi,
menyesal pergi sendiri
Kejujuran ibu dari seni, tak ‘kan mati

berlarian, berlarian anak di hujan, senyap tiarap
malamnya menuliskan cerita harian yang terang, remang, lalu gelap berseliweran
terus, terus saja tulis kesaksian,
gamang? Kebenaran bagai kuda di puncak sabana
Bergegas meninggalkan kelam di hutan atas sungai

Berlarian, berlari anak menembus hujan
angin kabuyutan berhembus dari bawah pohonan
serupa malam tak berbintang
awan bisa jadi pedoman
Berlari! Ayo ke dalam
Tolak hidup tak keruan sebelum ajal tiba
Mungkin godaan terbanyak adalah lupa.

*Karangkamulyan : desa lokasi batu situs Lingga Yoni lambang peribadatan umat Hindu Sunda dan Bali di Ciamis.

/Kabuyutan Nagreg, 9 Maret2022

DI BAWAH POHON RIMBUN

riakan kolam
sunyi melelang hampa
lumut bertahan
menoreh tanah
asal mula manusia
oh rumah singgah
sekali hirup dunia
kampung kekal nirwana

jalanan lempang
guyuran hujan malam
ih lembab perkasa
cahya berlalu tenang
sela rimbun pohonan

di rumah lengang, di jalan ke hutan
hikmah mengaliri sejarah, di gerimis,
di padang terbuka, gunung kars situs terluka, di sawah kepungan rumah, dan padang pembantaian tercipta, darahnya – minuman segar petualang:
Tak mungkin diolah jadi tinta,
kini sinar dibikin alasan lapar,
paparannya dengan aturan samar, gelap, membuang kuncup kejujuran.
Gugur sebelum subur, tumbuh tenang.

Sampurasun, ahuuung!
aku terima adanya seperti hujan malam
Perbincangan dibawah pohonan
disertai ingatan keberadaan di tanah! Kepercayaan dibangun dari pertemuan !
Buku sejarah di sekolah biar jadi bara, dusta itu api yang mudah dipadamkan
Bila ada jelaganya, paling bisa untuk campuran warna tenun ikat.

bergerak lindap
menapak jejak samar
adat tiada lain hutan jati di lembah
jauh! jauh terjangkau sinar purnama
dibawah pohon, perpisahan bermakna
liukan akarnya terasa di jeda obrolan, ranting mainan angin mengajarkan;
mengembalikan kasih sayang
lebih berguna dari barang.

#Kabuyutan Rajamandala, 3 April 2019

Jang Sukmanbrata. (Satyariga Sukmanbrata) lahir di Bandung, 17 Agustus 1964. Karya puisinya beragam genre: di buku antologi puisi Negeri Pesisiran; 2019 & buku Antologi Puisi Negeri Rantau; 2020 & Raja Kelana; 2022-DNP. Sejumlah 30 haiku dan puisinya di koran PosBali 2019, koran NusaBali, puluhan karya puisinya di beberapa buku antologi bersama. Karya tanka dan haiku-nya di buku – buku antologi Newhaiku 2021, buku antologi 100 puisi HPI- 2021, puisi-puisinya di koran Pikiran Rakyat Bandung, dan di medcet lainnya serta tersebar di majalah sastra digital dan Fb.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *