Definisi Virus
Yoga Tri Adhi
Pagi ini, matahari bersinar lumayan cerah. Pemandangan yang sepi, para warga sedang mengikuti anjuran pemerintah untuk tetap di rumah, belajar di rumah, bekerja di rumah, dan beribadah di rumah. Namun, di sebuah kafe yang tak jauh dari kompleks, ada dua sekawan yang secara tidak sengaja bertemu setelah beberapa bulan lamanya. Dito dan Rama merupakan kawan sejak di bangku SMA, mereka langsung lulus berkat kebijakan baru pemerintah yang telah menghapus Ujian Nasional. Sekarang keduanya menjadi mahasiswa yang mulai disibukkan dengan kegiatan-kegiatan perkuliahan secara daring.
“Wah! Kamu ke sini juga! Kamu keluar rumah? Awas ada virus korona loh!” kata Rama.
Dito menjawab, “Kalau selalu di rumah, aku stres, imun aku malah turun! Bukannya yang terpenting menjaga imun, ya? Kamu sendiri sedang apa?”
“Sama saja, sih! Aku juga bosan selalu di rumah. Aktivitasnya monoton, gitu-gitu aja, sakit kepala terlalu banyak tugas dan melihat berita di Medsos. Aku ke sini ingin mengerjakan tugas sambil mencari suasana baru saja, kok!”
Setelah saling menyapa dengan gaya khas anak muda, mereka refleks hampir bersalaman namun mengingat sekarang situasinya berbeda. Cara bersalaman mereka diganti dengan namaste.
[iklan]
Dengan pertemuan yang tidak direncanakan, mereka nongkrong berdua di kafe itu dan mendiskusikan berbagai hal dari yang receh sampai yang serius. Keduanya memang update mengikuti perkembangan berita, sosok yang selalu ingin tahu dan mau belajar.
“Pada akhir tahun 2019, kulihat berita tentang menyebarnya sebuah virus dari Wuhan, Cina. Bagaimana sikap pemerintah? Memang selaku regulator negara, sudah menjadi tanggung jawabnya, kan?” ucap Dito.
Rama menjawab, “Ya, memang itu tugas pemerintah, namun rakyatnya juga harus mendukung!”
Sebelumnya, diketahui dua sekawan ini memiliki ideologi politik yang berbeda, waktu jaman pemilihan presiden beberapa bulan lalu, kerjaan mereka terus berdebat mendukung masing-masing pilihan presidennya, semacam cebi dan kempi-lah. Ditambah pemberitaan media yang masif, sangat mudah memprovokasi masyarakat agar selalu berdebat dan mengadu argumen sesuai apa yang diberitakan. Tidak sedikit juga informasi yang dibagikan adalah hoaxs. Rama merupakan pendukung capres No.1 dan Dito pendukung capres No.2. Namun di luar itu, mereka tetap dua sekawan yang telah dewasa. Terkadang sesuatu harus dibuat heboh untuk meramaikan suasana agar menjadi lebih hidup atau bahasa sekarang harus ada triggered-nya.
“Bagaimana kabarmu? Bagaimana rasanya kalah lagi?” guyon Rama.
Dito menjawab, “Apaan? Sekarang statement pemerintah banyak ngaco, kebijakan blunder, apalagi itu rezim-rezim stasus milenial, rasa kolonial!”
“Ya, begitulah! Mana ada pemerintahan yang sempurna, kamu kira gampang mengatur 270 juta penduduk jiwa, negara kepulauan terbesar, literasi rendah, bahkan ada yang bilang sistem pendidikan kita tertinggal 128 tahun! Tantangannya memang besar namun bukan berarti kita menyerah, kan?!” jawab Rama dengan optimis.
“Ya, ya, kita lihat saja nanti! By the way aku mau cerita, nih! Aku makin heran dengan kelakuan orang-orang zaman sekarang,” kata Dito sambil melihat menu makanan
Rama pun bingung, yang semula hanya sibuk duduk memainkan gawai, kini bersedia mendengarkan ceritanya.
“Jadi gini, kemarin setelah pulang dari mini market, di kompleks terjadi kehebohan. Rupanya ada pemakaman baru di sana. Karena penasaran, aku ingin melihat kerumunan itu lebih dekat karena tidak biasanya ada pemakaman yang sangat ramai. Kepo, dong!”
“Apakah itu jenazah pejabat? Selebriti? Atau tokoh masyarakat?” tanya Dito dalam hati saat itu. Namun, beberapa saat kemudian, terdengar suara Susi, Ibu Dito.
“Dito! Cepat ke sini! Cepat masuk! Kamu jangan terlalu dekat melihat ke sana! Biarkan Ayah saja bersama warga kompleks yang mendemo Pak RT agar jenazah tersebut tidak dimakamkan di kompleks kita!”
“Kok seperti itu, Bu?” Dito bingung. Diketahui mengapa pemakaman di kompleks kali ini begitu heboh karena jenazah yang akan dimakamkan adalah seorang perawat dari rumah sakit yang meninggal karena virus korona.
“Jenazah itu akan membawa virus korona di kompleks kita! Kamu tidak melihat berita-berita di televisi, di grup WhatsApp. Sangat bahaya virus ini kalau sampai menyebar ke kompleks kita!” jawab Susi tergesa-gesa.
Beberapa saat kemudian, rumah Pak RT didatangi para warga kompleks yang komplain mengapa ada jenazah pasien virus korona dimakamkan di kompleks mereka. Sasono—ayah Dito— adalah yang sangat keras dalam menyampaikan pendapat namun minim literasi dan minim akhlak, bersama warga, Sasono beramai-ramai mendatangi rumah Pak RT, berdebat panjang soal pemakaman tersebut.
”Pak, ini gawat, Pak! Kita harus menolak jenazah itu karena bisa menularkan virus!”
Pak RT menjawab, “Iya, tapi kan dia warga kompleks kita juga, jadi wajar dimakamkan di kompleks ini.”
“Tapi ini gawat, Pak! Virus itu bisa menular dengan cepat! Bagaimana kalau menyebar melalui udara? Bagaimana kalau menyebar melalui tanah? Bagaimana kalau menyebar lewat air? Pokoknya gawat, Pak! Ini bisa berbahaya untuk kompleks kita!” sahut Sasono.
Warga lain pun menambahi perkataan Sasono yang mendukung agar jenazah tersebut tidak dimakamkan di kompleksnya. Karena semakin didesak oleh warga yang semakin banyak dan panik, Pak RT berencana mendiskusikan hal ini lebih serius, mediasi mendengarkan pendapat antara warga yang mengeluh karena ketakutan atau tetap membiarkan petugas medis yang sudah berseragam Alat Pelindung Diri (APD) lengkap melanjutkan proses pemakaman.
Namun terlambat, warga yang terlanjur panik dengan brutal mendemo dan mengusir para petugas. Malangnya, setelah menghadapi perdebatan panjang dengan waktu dan tenaga yang terbatas, para petugas harus berpindah, mengangkat kembali jenazah perawat tersebut untuk melakukan pemakaman di tempat lain.
Beberapa hari kemudian, berita penolakan jenazah perawat korban virus korona viral di berbagai kanal berita hingga akhirnya terdengar oleh Pak Gubernur. Pak Gubernur seorang nasionalis. Beliau merupakan sosok yang bijaksana dan tidak mudah diprovokasi. Selain itu, beliau terkenal karena aksinya yang garcep dalam mengatasi masalah warga. Atas berita tersebut, beliau langsung membuka konferensi pers dan mengundang para ahli untuk menjelaskan informasi yang benar soal penanganan jenazah virus korona sekaligus mengedukasi masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh media yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.
“Mengapa rakyat kita suka termakan stigma yang tidak jelas? Di mana rasa kemanusiaan pada manusia yang telah meninggal? Mohon jangan bertindak gegabah dulu! Kita edukasi bersama, di sini sudah ada ilmuwan dan virologi yang akan menjelaskan bahwa virus ini tidak menular dari udara dan warga tidak perlu panik, apalagi sampai melakukan penolakan pemakaman! Memang penyebarannya cepat dan masif, namun selama kita menjaga kebersihan, menjaga iman dan imun, insyaallah kita bisa memutus penyebarannya dan terhindar dari virus ini. Tidak bisa dibayangkan, itu perawat, loh! Mereka garda terdepan dalam menghadapi wabah ini! Kasihan suami dan anaknya, sudah ditimpa berita duka, kemudian jenazahnya ditolak untuk dimakamkan karena opini yang tidak jelas. Belum lagi efek psikologis dan sosial yang akan diterima anaknya di sekolah, suaminya di tempat kerja! Bagaimana nasib mereka setelah berita ini tersebar?! Ini bukan hanya tugas pemerintah tapi juga masyarakat harus bersatu dalam menghadapi wabah ini!” pungkas Pak Gubernur.
Beberapa hari setelah kejadian itu, ketika terjadi lagi pemakaman jenazah yang meninggal akibat virus korona, warga tidak lagi ribut dan menghargai usaha para petugas medis di pemakaman. Akhirnya, kondisi di kompleks Dito kembali kondusif.
“Gila juga warga di kompleks kamu!” kata Rama.
“Ya begitulah, karena minimnya edukasi ditambah banyaknya berita hoaxs, secara tidak sadar kemanusiaan pun dihilangkan oleh manusia itu sendiri! Mungkin hal ini disebabkan karena para warga kompleks tidak memikirkan perasaan keluarga korban. Padahal, korban tersebut adalah warga kompleks itu sendiri. Sekarang kalau ada orang meninggal pasti dugaan utama karena korona. Batuk sedikit dikira korona, flu sedikit dikira korona. Baru kali ini, sehabis flu atau batuk langsung berpikir kira-kira besok masih hidup gak, ya!” gurau Dito.
“Iya benar! Secara lingkungan, polusi udara pun turun setelah beberapa tahun berkat pembatasan aktivitas fisik. Lapisan ozon bumi juga sedang memulihkan diri. Oh iya, aku ada membaca berita di India, saking menurunnya tingkat polusi udara di sana, Gunung Himalaya yang sebelumnya tidak bisa terlihat kini dapat dilihat dengan jelas, sungguh pemandangan yang indah! Jadi siapa yang sebenarnya virus, manusia yang telah banyak melakukan kerusakan atau korona yang merusak manusia? Siapa yang harusnya bertanggung jawab pada bumi? Kadang kupikir virus itu seperti manusia juga.
Perbandingannya seperti ini, mereka hidup, tumbuh, berkembang, mewariskan sifat-sifatnya dari generasi ke generasi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya virus berevolusi yang bisa menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan, kan?” papar Rama panjang lebar.
“Wuisss, filosofis banget pemikiran kamu, ya! Tapi ingat, yang namanya hidup jangan terlalu kebanyakan mikir, life must go on! Jalani saja sesuai kemampuan masing-masing! Tuh, segera habiskan makananmu! Pengunjung lain sudah pulang, cuma tersisa kita di sini,” kata Dito.
Saking asyiknya mengobrol, dua sekawan ini sampai lupa waktu. Matahari sudah berganti menjadi bulan dan semakin tinggi. Kafe pun akan tutup. Ya, begitulah! Ketika kita sudah terlalu asyik mengobrol, waktu terasa begitu cepat.
***
Yoga Tri Adhi, lahir di Banjarmasin, 27 Maret 1994. Telah menuntaskan studi S-1 di Universitas Lambung Mangkurat dan kini berprofesi sebagai administrator Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di almamaternya tersebut. Dapat dihubungi melalui surelnya: yogatriadhi@gmail.com atau dapat dihubungi lewat no. ponselnya: 089654539797.