Cinta di Ambang Senja
Erry Amanda

“Mari kita mulai berantem,” aku mulai mencoba membuka suasana bisu yang terasa kian beku. Ia membelalakkan mata. Bercahaya. Sangat menawan bola mata itu. Bibirnya menggantung lembut tanpa gincu dengan garis-garis tegas. Tentu, bibir perempuan yang tak mengundang gairah ‘kurang ajar’. Bibir yang berwibawa.

“Kenal juga baru–sudah ngajak berantem,” sergahnya tanpa tekanan. Matahari mulai doyong ke barat. Sore mulai merapat. Pandangannya lurus ke arah perkebunan teh. Kabut mulai turun. Kami masih saling diam. Ia kembali menatapku. Biasa-biasa saja meski menyimpan pertanyaan bergantung lewat sinar matanya.

[iklan]

“Kau membutuhkan ucapan kaprah yang klise? Aku mencintai dengan segenap hati misalnya? Katakan berapa triliyun atau bilyun atau bahkan mampukah kita menghitung jumlah kata cinta itu diucapkan? Lantas, dalam selisih waktu pada sisi lain, berapa jumlah bencana yang dilahirkan oleh kata itu?”

“Cinta paling agung dan sakral sebuah misal, sebut saja cinta kepada Tuhan. Berapa jumlah pengkhianatan yang dilahirkan oleh kata yang disakralkan itu? Berapa jumlah tumpukan petaka yang dilahirkan oleh pengucap kata itu?”

“Cinta yang disumpahkan, bermaterai dan berstempel, bersaksi pada ujung pertautan cinta kemudian disyahkan, berapa lama kebenaran cinta itu bertahan? Aku katakan, tak lama. Persilangan pun mulai mengintai di balik tirai kebersamaan. Kebohongan, ingin dihargai, ingin didengar, ingin dimengerti hingga ingin menguasai mulai jadi debu di pusat pernafasan kebersamaan yang berpayung cinta. Kata itukah yang kau butuhkan?”

Luar biasa. Kesan kaget pun tidak. Menatapku pun tidak, hanya bibirnya Nampak sekilas senyum.

“Jika kamu senang denganku, ingin hidup bersamaku, setidaknya ngajak jadian, apa yang akan kamu katakan kepadaku? Ngajak berantem seperti yang kamu ucapkan tadi? Paradigma dan logika terbalik yang ingin kau lakukan? Apa bedanya?”

“Dengan berantem akan melahirkan cinta yang sebenarnya cinta, itu yang kamu maksud. Garis simpulnya adalah, cinta diucapkan awal berujung pada pertikaian, dengan pembalikan logika – lantas dengan serta merta tak akan terjadi petaka? Hal ini aku anggap hanya permainan kata saja. Bahasa bagiku hanya semacam simbol ungkap yang terikat oleh kebenaran konsensif. Bedakan dengan ungkap non rasa atau perasaan. Alam fisik misalnya. Batu, besi, udara, langit, matahari, bulan, air, dan seterusnya. Realitas kebenaran itu tak memiliki nilai paradoksal kecuali kebenaran ide.”

“Pengkhianatan kebenaran ide sama sekali tidak bermuara pada logika dan simbol bahasa itu sendiri  namun lebih ditentukan oleh sikap, sifat dan perilaku pengguna bahasa itu sendiri. Aku sangat meyakini itu.”

Ia sejenak menarik ransel di sampingnya. Dikeluarkan sweeter warna merah kemudian disodorkan ke arahku.

“Pakailah. Udara mulai dingin,” perintahnya sambil merapihkan baju hangat yang dikenakannya.

“Jika menyimpulkan segala sesuatu tidak selayaknya membandingkan nilai kemudian digeneralisir, apalagi masuk ke ranah filsafat eksentrik. Kau pernah bilang, kebenaran bukan bersifat spasia fisik, tingkatan-tingkatan kebenaran berlanjut dan melingkar. Aku masih bisa menerima bila cinta memang tak perlu diucap, namun setiap manusia membutuhkan semacam kebanggaan ungkapan, macam tersanjung. Kata cinta itu sendiri adalah sebuah keagungan dalam jiwa perempuan, meski perempuan itu sangat tahu, bahwa ungkapan itu hanya gombal, namun perempuan menyukainya.”

Jika kemudian aku diam, bukan berarti sudah kehabisan kata untuk mempertajam perbincangan. Aku hanya tertarik ungkapannya ‘cinta tak perlu diucapkan’. Persis, matahari tenggelam di balik bukit, aku berdiri di sampingnya. Aku papah dia berdiri kemudian aku peluk dan bibir kami beradu.

***

Tangerang, 27 Oktober 2011

Erry Amanda, lahir di dusun kecil, Lembah Bukit Utara, Mentora, Rengel, Tuban 10 Nopember 1942. Menulis sejak decade 60-an.  Sempat jadi kuli tinta dan redaktur di beberapa media Ibu Kota. Nyaris tak perduli untuk mendokumentasikan semua tulisan dalam bentuk apapun. Kini tinggal di Kompleks Perumahan Karyawan RS Harapan Kita, Karawaci-Tangerang. Kegiatan terakhir, mengasuh Mjelis Ta’lim Manaarul Ulum atau RIC (Revivalist Islamic Community) dan ISSC (Islamic Science & Spiritual Community).

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *