“sampai usia tak mampu lagi menggali kuburnya sendiri”:
Cinta dalam Puisi-puisi Salimi Ahmad
Dr. Irsyad Ridho
Adakah cinta asmara di dalam perkawinan?
Puisi-puisi dalam kumpulan ini membuat saya merenungi persoalan itu. Sejak zaman Siti Nurbaya, cerita roman sudah telanjur membentuk penghayatan modern kita tentang cinta asmara. Di sana cinta asmara tercipta sebagai bagian dari kehidupan remaja di masa sekolah sebagai perlawanan terhadap sistem perjodohan yang diatur oleh orang tua berdasarkan nilai-nilai tradisi atau adat. Perjodohan mulai dirasakan oleh generasi muda sebagai paksaan dan karenanya harus dilawan dengan alasan kultural lain. Mereka menemukan alasannya melalui cinta asmara, sebuah perasaan yang lahir dari kedekatan dua sejoli yang menghayati dirinya masing-masing sebagai individu yang bebas. Diriku bukan milik siapa-siapa lagi, tapi milikku sendiri. Akulah sang Pribadi.
Dalam situasi seperti itu, cinta asmara kemudian menemukan penataannya dalam struktur cerita roman sebagai momen kebahagiaan sekaligus penderitaan sepasang kekasih yang berjuang menghadapi halangan dari masyarakat kolot yang tidak mengerti apa artinya menjadi pribadi. Karena itu, tidak heran jika para pengarang novel awal Indonesia itu cenderung menghubungkan cinta asmara sebagai bagian dari pertumbuhan pribadi. Mereka menciptakan tokoh sejoli yang mengalami pertumbuhan karakter melalui suka-duka dalam cinta asmara.
Apakah penghayatan seperti itu masih berlangsung sampai saat ini? Saya kira cukup dengan menonton film Ada Apa dengan Cinta?, Dear Nathan, atau Dilan 1990, kita masih bisa menyaksikan jejak-jejak pergulatan pertumbuhan pribadi di dalam cinta asmara itu. Kaitan yang erat antara cinta asmara dan penghayatan akan kemerdekaan pribadi itu memang sudah menjadi fenomena kehidupan modern sejak kemunculan awalnya. Seorang sejarawan Inggris, Lawrence Stone, mengabadikan kaitan tersebut dengan istilahnya yang terkenal, yaitu “affective individualism”, dalam studinya tentang perubahan kehidupan keluarga, seksualitas, dan perkawinan pada abad ke-16 sampai ke-19 di Inggris.[1] Saya kira, sampai saat ini kaitan itu terus berlangsung.
Jika memang demikian kondisinya, terlepas dari apakah sepasang kekasih itu pada akhirnya akan berhasil menikah atau tidak, happy ending atau sebaliknya, cinta asmara di antara mereka tetap hidup selamanya pada momen yang sangat singkat saja, yaitu pada masa remaja pranikah. Dalam cerita roman yang sad ending, keterpisahan dua sejoli berada di akhir cerita. Sebaliknya, momen perkawinan adalah akhir cerita yang diinginkan dalam cerita roman yang happy ending. Secara simbolik, tidakkah keterpisahan maupun perkawinan sejoli itu sama-sama merupakan momen kematian cinta asmara itu sendiri? Dengan akhir semacam itu, bukankah cinta asmara tidak punya alasan keberadaannya lagi sebab halangan sudah tidak ada dan pertumbuhan pribadi berhenti di akhir cerita?
Pada titik persoalan itulah saya mencoba memahami puisi-puisi dalam kumpulan ini. Saya akan mulai dengan puisi yang berjudul “Daun Kuning di Antara yang Hijau”. Ini merupakan puisi persembahan bagi 32 tahun perkawinan penyair dan istrinya. Puisi ini dengan sangat terang bicara tentang proses pertumbuhan pribadi melalui metafora pohon yang “Ia tumbuh tinggi dan menjulang”. Dan, proses pertumbuhan itu disadari sebagai pergantian antara jatuh seperti daun yang menguning dan bangkit seperti daun yang menghijau. Kesadaran mengenai pertumbuhan pribadi sebagai proses jatuh dan bangkit yang terus-menerus itu dibayangkan dalam puisi ini sebagai keindahan dan kenyamanan cinta: “setiap detik adalah napas puisi dalam khasanah cinta yang melindungi”. Saya kira, puisi ini dengan gamblang mengambil sikap optimis bahwa cinta asmara memang tetap bisa hidup di dalam perkawinan sejauh ia adalah cinta yang memberikan perlindungan bagi pertumbuhan pribadi.
Halangan atas pertumbuhan pribadi itulah yang menjadi biang dari pupusnya cinta asmara. Dalam masa remaja, cinta asmara hadir memberikan kesempatan bagi sejoli untuk membayangkan dirinya sebagai pribadi yang merdeka dan kemudian menapaki perjalanan pertumbuhannya dalam bayangan itu, betapa pun tidak pasti. Jika si sejoli pada akhirnya menikah, tetapi pernikahan disikapi sebagai akhir dari perjalanan itu, maka cinta asmara akan lenyap dengan sendirinya.
Dalam proses pupus itu, kalau pun rasa asmara itu masih ada, bentuknya hanyalah sebagai nostalgia. Puisi “Di Teras Rumah” mencoba merekam pengalaman ini dengan getir.
Tinggal kita berdua, meracik masa remaja yang lampau sudah
Dengan rambut yang memutih, mata yang sering basah berkaca-kaca,
Mengenangkan saat awal indah dulu
Ketika kita baru membangun rumah tangga,
Berdua, berdua saja di kursi yang biasa kita duduki itu, di teras rumah.
Namun, nostalgia cinta bukanlah sumber kreativitas Salimi Ahmad, sang penyair kumpulan puisi ini. Bahkan, dalam puisi di atas nostalgia disikapi secara getir sebagai kenangan yang hanya muncul untuk menghibur diri dari rasa kehilangan sebab anak-anak sudah pergi menjalani hidup mereka sendiri-sendiri, bukan sebagai kenangan yang diidealkan. Bagi Salimi Ahmad, tampaknya tidak ada tempat bagi nostalgia asmara dalam puisi-puisinya. Sebab, perjalanan dalam perkawinan telah menumbuhkan cinta asmara itu sendiri dalam bentuknya yang lain, yang tidak lagi remaja. Sejauh pembacaan saya, saya menemukan banyak sekali metafora yang tidak mengacu kepada masa lalu, tetapi justru terus-menerus ke masa depan, ke bayangan akan pertumbuhan diri pribadi yang tanpa henti. Saya bisa merasakannya melalui metafora cinta sebagai perjalanan panjang, proses belajar yang terus terbuka, pohon yang tumbuh, juga perbincangan yang terus-menerus. Sebagai seorang penyair yang terhitung sudah tidak muda lagi ini, mempertahankan sumber kreativitas pada bayangan mengenai masa depan adalah sesuatu yang sangat memberikan rasa bahagia bagi saya sebagai pembaca.
Bagaimana mungkin optimisme akan masa depan cinta seperti ini tetap bisa hidup? Saya kira, puisi “Burung dan Kedua Sayapnya” mencoba menjawabnya. Dalam puisi ini, perasaan cinta asmara tidak dihayati sebagai sebuah esensi instrinsik yang statis. Ide tentang cinta pada pandangan pertama dan kesejatian cinta yang ditawarkan oleh kebanyakan cerita roman sebagai cinta yang sempurna-abadi sejak awalnya, tidaklah menjadi arah dari pengertian cinta dalam puisi ini. Justru di sini cinta dihayati sebagai sesuatu yang ada di luar diri, bukan di dalam diri. Cinta diibaratkan sebagai tubuh burung dan diri sejoli adalah kedua sayap burung itu. Dengan metafora seperti ini, saya memahami cinta yang ditawarkannya adalah cinta yang relasional, yaitu perasaan kedekatan yang lahir dari hubungan intersubyektivitas dari sepasang kekasih. Masing-masing diri yang mencintai adalah diri yang bebas yang dengan kebebasan itu mereka memberi makna pada hubungan mereka, menegosiasi maknanya, juga memperbincangkan dan mempertukarkan maknanya terus-menerus.
Dalam relasi intersubyektivitas ini masing-masing sejoli tidak bisa lagi mengklaim kebenaran tentang “aku cinta padamu” sebab semuanya merupakan negosiasi tiada akhir. Kadang-kadang kebenaran klaim itu hanya terasa benar sejauh nostalgia membuat perjalanan panjang cinta itu terhenti sejenak hanya karena kelelahan. Tetapi, itu hanya momen sesaat. Sejoli harus bersiap kembali mengepakkan dirinya dalam perjalanan asmara dan pertumbuhan pribadi mereka. Bayangan atau imajinasi perjalanan tiada akhir ini tampaknya seperti sebuah paradoks di hadapan kefanaan hidup manusia, tetapi paradoks itulah yang memang direngkuh oleh baris terakhir puisi ini: “sampai usia tak mampu lagi menggali kuburnya sendiri”.
Konsep cinta asmara sebagai relasi intersubyektif itu membuat sejoli terhindar dari klaim kebenaran “aku cinta padamu” yang monopolistik. Cinta yang posesif, narsistik, dan pasif agresif adalah bentuk klaim monopolistik itu. Cinta semacam ini lahir dari hubungan sejoli yang tidak setara, yang satu menjadi obyek oleh yang lain. Sebaliknya, puisi-puisi dalam kumpulan ini banyak menggunakan ungkapan “melepas” “memberi” dan “menerima” untuk mengutarakan sikap lapang dada dalam proses pertukaran makna dalam perjalanan cinta itu. Kita bisa merasakan hal ini dalam puisi “Cara Mencintaimu”.
Membebaskanmu memilih jalan, begitulah caraku mencintaimu
Dengan demikian, akan kudengar banyak cerita darimu
Dan kukenali lagi beberapa di antaranya yang menyusahkan hatimu
Aku sendiri akan berlama duduk di sini, bukan menunggu
Untuk sesuatu yang tak kumengerti, melainkan mencapai
Pembicaraan diri, seberapa besar kupahami arti berbagi
Dan, sulit untuk tidak tersentuh pada baris-baris terakhir puisi ini: “Sebab cinta bukan gelisah kesunyian dan kegilaan bagi pertemuan//Ia sederhana saja./Melepas dan memberi tiada terkira-kira”.
Ini berbeda dengan ungkapan “bertukar tangkap dengan lepas” seperti yang ada dalam puisi Amir Hamzah. Dalam puisi Amir, misalnya “Padamu Jua”, cinta pada Tuhan selalu dibayang-bayangi oleh ketidak-setaraan hubungan di antara dua sejoli itu (khalik dan makhluk). Karena itu, puisi Amir cenderung memperlihatkan hubungan cinta yang problematis, jika tidak ingin disebut patologis, antara aku lirik dan Tuhannya. Sebab, dalam kasus Amir Hamzah, cinta asmara telanjur terkonstruksi dalam pengalaman kesepian, kesunyian, dan kehilangan akibat hancurnya kebudayaan Melayu oleh penindasan kolonialisme. Dengan jeli, hal ini pernah ditegaskan oleh Martin Suryajaya.[2]
Dalam konteks ini, saya melihat Salimi Ahmad berupaya untuk menjelajahi pengalaman cinta asmara yang lain, yaitu yang terkondisi dalam hubungan kesetaraan di antara sejoli. Tentu saja ini sangat tidak mudah. Kita bisa merasakannya dalam puisi “Aku dan Dunia”, misalnya, betapa cinta bisa memperdaya. Kadang-kadang, saya melihat juga ada semacam gaya idealisasi yang berlebihan yang membuat cinta jatuh kembali atau terkondisi dalam hubungan sejoli yang tidak setara. Misalnya, dalam ungkapan seperti “Jika aku mencintaimu, aku ingin abadi di kakimu saja” dalam puisi “Jika Aku Mencintaimu”.
Memang, penjelajahan ke dalam ruang pengalaman cinta asmara yang lain ini mengandung risiko sekaligus peluang estetis. Salah satu yang bisa saya lihat adalah kemungkinan eksplorasi gaya prosais yang lebih pas. Dalam kumpulan ini, Salimi Ahmad tampaknya masih bimbang untuk memasuki gaya ini dengan lebih suntuk. Beberapa puisi, seperti “Aku Tak Mau Bicara tentang Senja”, “Kelak 1”, dan “Kelak 2” memperlihatkan upaya ke arah itu. Saya sendiri merasa bahwa konsep cinta asmara dalam relasi intersubyektif yang menjadi tema penting dalam kumpulan puisi ini memerlukan gaya prosais yang baru. Saya akan sangat senang jika dalam proses kreatif selanjutnya, Salimi Ahmad menemukan jalan tembus ke arah itu.
Sebagai penutup ocehan ini, saya ingin menegaskan bahwa apa yang saya utarakan di atas tentu tidak dimaksudkan untuk merengkuh semua gejala tematik yang ada dalam kumpulan ini. Saya hanya mengatakan apa yang mampu saya tangkap. Ada banyak kemungkinan tematik serta gejala estetik lain yang luput dari pembacaan saya. Karena itu, saya serahkan pada para pembaca yang budiman untuk mengarungi proses pembacaan masing-masing. Jika ocehan saya ini pada akhirnya bisa memberikan sedikit kontribusi bagi perbincangan lebih lanjut atas puisi-puisi Salimi Ahmad, saya sudah cukup berbahagia. Setidaknya, dengan begitu, saya bisa sedikit membalas penghargaan dan kepercayaan yang telah diberikan olehnya pada saya untuk menulis pengantar singkat ini.
[1] Lawrence Stone, The Family, Sex, and Marriage in England 1500-1800 (New York: Harper & Row dan ACLS Humanities, 1977/2013).
[2] Martin Suryajaya, “Motif Kesunyian dalam Puisi Indonesia”, https://www.youtube.com/watch?v=l2pM4WHcUwM, 2 Mei 2020.
Beberapa komentar untuk buku Seribu Cinta Satu Tiada
Salimi bahagia berlayar di samudera cinta, aqal qalbu saling menyapa, percakapan sepenuh jiwa. Setiap larik puisinya seperti menghadirkan sikap untuk terus berbagi cinta, merenungkan kisah kehidupan, mencoba mewakili rasa-cipta pembaca. Dengan puisi-puisinya ia menunjukkan ihwal keluasan dan kedewasaan dapat menentukan raga bergerak cekatan, sebat, sehat. SemangArt!
Uki Bayu Sedjati, penulis
Kata orang, Cinta adalah Cerita Indah Namun Tiada Arti. Akan tetapi beda dengan cinta milik sang Penyair Salimi Ahmad. Rasa cinta justru bisa membuat hidup ini menjadi indah apapun ceritanya. Dan keindahan itu dapat saya rasakan Bahasa Rasa-nya yang tertata apik dalam bait-bait puisi yang terasa sejuk dan sehangat matahari pagi. Bahkan ketika kemudian saya tenggelam dalam Rasa Bahasanya, samar-samar saya temukan rahasia yang seringkali menggoda perasaan saya tentang apakah itu cinta. Ternyata, Ia sederhana saja. Yaitu: Melepas dan memberi tiada terkira-kira. Terima kasih, dan salam sehat selalu bersama cinta. Semoga barokah melimpah di setiap langkah.
Abah Yoyok, penikmat Puisi di Dapoer Sastra Tjisaoek
Menemukan cinta itu tidak mudah, apalagi menjalaninya. Saya menemukan seribu cinta dalam setiap larik puisi-puisi Salimi Ahmad, namun ada satu yang tiada. Dimanakah itu? Kiranya tanda tanya itu menjadi sebuah permenungan panjang bagi saya. Semakin menyelami puisi-puisinya, saya semakin hanyut kepada satu cinta yang tiada itu. Ya, puisi-puisi ini bagi saya sungguh sufistik. Puisi yang membawa kita pada satu cinta, yaitu Tuhan. Tidak mudah menciptakan puisi yang memiliki daya renung yang dalam seperti ini, Salimi Ahmad telah begitu sabar menjalani hidup sebagai penikmat kata-kata; bahkan rela dirinya pun jatuh pada dunia ketiadaan, yaitu penyair.
Nana Sastrawan, Penulis
Puisi adalah misteri. Itulah yang berpotensi bisa dirasakan oleh beberapa pembaca. Memang jika tanpa misteri, puisi seakan menjadi hanya sebagai rentetan kumpulan kata-kata yang tak pernah mengundang penasaran hasrat pembaca, dan puisi pun tidak akan pernah menjadi pintu gerbang penelusuran logika, rasa dan makna. Buku puisi ‘Seribu Cinta Satu Tiada’ guritan Salimi Ahmad ini justru penuh misteri meski disampaikan dalam cara ungkap yang kadang terang-terangan apa adanya, kadang jenaka, dan kadang tak terduga sama sekali. Kekuatan buku kumpulan puisi karya penyair Salimi Ahmad ini memang tepat berada pada misteri makna, rasa dan logika yang mampu mengaduk-aduk minat pembaca untuk terus menelusuri kata demi kata sampai tak tersisa.
Atik Bintoro, Penyair