HARI PUISI INDONESIA

Maman S Mahayana

Dengan merujuk pada spirit persatuan Indonesia yang dicetuskan 28 Oktober 1928 dan dengan kesadaran, bahwa puisi dapat memainkan peranan penting guna membangun karakter bangsa, maka lebih dari 40 penyair dari seluruh Indonesia, tahun 2012, berkumpul di Pekanbaru untuk menetapkan Hari Puisi Indonesia. Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, mendeklarasikan tanggal 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia. Penetapan 26 Juli tidak lain sebagai bentuk penghormatan kepada penyair fenomenal, Chairil Anwar yang lahir pada tanggal itu. Maka, pada setiap tanggal 26 Juli, kita, bangsa Indonesia merayakan Hari Puisi Indonesia sebagai ekspresi menghormati puisi sebagai produk kebudayaan dan merayakan spirit Sumpah Pemuda guna melanggengkan persatuan Indonesia.

Pemilihan tanggal kelahiran Chairil Anwar (26 Juli) dan bukan tarikh kematiannya (28 April) bukan tanpa alasan. Peringatan hari tertentu yang merujuk pada ketokohan seseorang, seperti (maulud—milad) Nabi Muhammad SAW, (natal) Isa Almasih atau peringatan penjadian kota, organisasi, institusi, dan seterusnya, rujukannya tidak lain pada tarikh kelahiran. Tujuannya tidak lain, untuk menegakkan kembali spirit atau khitah kelahiran. Jadi, dengan peringatan hari kelahiran, efek psikologis, historis, dan sosiologis, bahkan juga filosofis, mengalami semacam kelahiran kembali (reborn), rekreasi, revitalisasi, bahkan juga pemaknaan kembali yang sesuai dengan tuntutan zaman. Itulah tujuan memperingati hari kelahiran. Ia menolak tumpas, musnah, dan lenyap. Peringatan hari kelahiran adalah perayaan pada makna hidup dan kehidupan. Ia menjadi harga hidup untuk mengisi kehidupan dan menyumbang penghidupan bagi manusia dan kemanusiaan, bagi makhluk hidup di jagat raya!

Lalu, bagaimana dengan peringatan hari kematian? Dalam banyak tradisi masyarakat di dunia, peringatan hari kematian adalah perayaan untuk mengenang (peristiwa masa lalu). Sejarah menjadi alat lanjaran, bahwa dahulu kala, pernah terjadi sebuah peristiwa duka, lara, atau bahkan tragis. Ada nilai negatif pada peristiwa masa lalu yang mungkin ditetapkan sebagai catatan hitam atau duka pada sebuah kematian. Bukankah di dunia ini, hampir tidak ada umat manusia yang menempatkan kematian sebagai kegembiraan. Jadi, jika ada pihak-pihak yang merayakan hari kematian, ia pada hakikatnya membongkar kubur masa lalu untuk memperkuat imunitas duka lara dan kesedihan. Mungkinkah peringatan hari kematian jadi pemantik hidup dan kehidupan, jika yang dilakukan menggali kuburan baru untuk siapa pun yang merayakan kematian?

Mengapa Hari Puisi Indonesia dan bukan Hari Puisi Nasional Indonesia? Di sinilah pentingnya kita memahami kembali secara lengkap butir ketiga teks Sumpah Pemuda: “Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Artinya, fungsi bahasa Indonesia pertama-tama dan terutama adalah bahasa persatuan. Ia bertugas merekatkan keterpecahan, ketercerai-beraian, keanekaragaman, dan keberbagaian etnisitas dan kesukubangsaan penduduk Nusantara.

Kata /Indonesia/ secara kultural, sosiologis, bahkan ideologis, di satu pihak diposisikan sebagai panji atau rumah besar yang memayungi segenap etnisitas dan kesukubangsaan, dan di pihak yang lain, menempatkan bahasa, budaya, adat-istiadat, agama dan sistem kepercayaan, dan seterusnya yang melingkari dan melekat pada segenap tubuh etnisitas berada dalam dinamika yang sejajar dan horizontal dengan tanggung jawab dan kepentingan yang sama. Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia berarti bertekad mendukung dan memajukannya. Oleh karena itu, bahasa Indonesia laksana jembatan antar-etnik yang segala materialnya bersumber dari bahasa etnik dan bahasa asing. Dengan begitu, pluralitas dan heterogenitas etnik berada dalam posisi yang saling melengkapi dan komplementer dalam payung besar bahasa Indonesia.

Jika di sana ada kata nasional, maka hubungan bahasa Indonesia dengan bahasa etnik bersifat hegemonik, politis, dan tidak kultural. Pada gilirannya, ada dikotomi nasional—daerah. Kekayaan etnisitas yang melengkapi keindonesiaan, lesap dalam jargon nasionalisme. Bukankah yang dimaksud Indonesia itu bersumber dari Aceh, Bali, Batak, Bugis, Jawa, Melayu, Minang, Sunda, dan etnik-etnik lain yang mendiami wilayah Nusantara?

Atas nama Hari Puisi Indonesia, bangsa ini tetap memelihara dan menghargai puisi etnik yang justru secara langsung menginspirasi para penyair Indonesia sendiri. Di pihak yang lain, penamaan Hari Puisi Nasional Indonesia bukan hanya menafikan keberadaan puisi etnik yang hidup, tumbuh, dan berkembang dalam jiwa masyarakat etnik Nusantara, tetapi juga sekaligus, meniadakan keberadaannya. Itulah dasar penamaan Hari Puisi Indonesia, ruh, semangat, dan filosofisnya bersumber dari fakta sosiologis, kultural, dan historis yang mengacu pada butir ketiga Sumpah Pemuda.

Atas dasar pemikiran itu, penetapan Hari Puisi Indonesia, 26 Juli, memancarkan spirit persatuan Indonesia sebagai harga hidup. Puisi Indonesia bertugas mengisi kehidupan dan menyumbang penghidupan bagi manusia Indonesia dan bagi pemajuan kebudayaan Indonesia!

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *