Nabi Ibrahim di kenal juga sebagai bapaknya para nabi yang lahir di Babilonia. Pada waktu itu penduduk Babilonia dikenal sebagai penyembah berhala. Adapun ayah Ibrahim yang bernama Azar adalah pembuat patung atau berhala yang sangat terkenal dan juga penyembah berhala yang sangat fanatik.

Sejak kecil, Ibrahim membantu ayahnya untuk menjajakan patung-patung keluar masuk kampung. Akan tetapi karunia Allah yang berupa kecerdasan dan matahati yang jernih dan tajam, Ibrahim kecil menyadari bahwa menyembah patung adalah perbuatan yang salah. Hati kecilnya merasa bahwa Tuhan yang sebenarnya bukanlah patung-patung yang jual keliling kampung itu. Setiap hari ia menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya memahat batu-batu yang tak berbentuk menjadi patung yang bentuknya tergantung pada kemauan ayahnya. Selain itu ada juga orang-orang yang membuat patung sendiri. Dan patung itu kemudian disembah sebagai Tuhan. Sehingga dengan demikian penduduk Babilonia punya banyak Tuhan. Aneh dan tak masuk di akal, pikir Ibrahim kecil.

Menghadapi keadaan yang aneh itu, di mana orang-orang menyembah patung yang dianggap sebagai Tuhan, muncul gagasan dalam hati Ibrahim kecil. Ia ingin mengingatkan orang-orang dewasa dengan caranya sendiri. Bahwa patung-patung yang mereka sembah adalah hanya batu yang tak bisa berbuat apa-apa. Maka itu ia menjajakan patung-patung buatan ayahnya dengan gaya bercanda atau guyonan.

“Patung-patung… Patung bodoh. Ayo siapa mau beli patung tak berguna ini…” Demikian katanya. Tentu saja orang-orang kampung yang mendengarnya marah dan tersinggung karena Tuhan mereka dibilang bodoh tak ada gunanya. Namun begitu mereka tak menghukum atau mengambil tindakan apa-apa, karena Ibrahim dianggap masih kecil dan bergurau. Gurauan seorang calon nabi tentu saja berbeda dengan gurauan orang biasa. Tapi orang-orang dewasa itu tak ada yang menyadarinya.

Demikianlah, seiring jalannya waktu, kecerdasan Ibrahim kecil semakin bertambah, kepekaannya tehadap alam sekitarnya semakin tinggi. Bening hatinya semakin terpesona dan merenung setiap kali menikmati pemandangan alam di hadapannya. Pohon-pohon dan sawah ladang yang hijau menyegarkan, gunung biru yang tinggi menjulang, sungai yang berliku-liku dan bening airnya dan berbagai macam binatang yang bentuknya berbeda-beda. Semuanitu di amat-amatinya dengan cermat, sehingga timbul pertanyaan dalam hatinya. “Siapakah yang telah menciptakan itu semua? Sungguh mempesona, indah dan menyenangkan dipandang mata.”

Di pagi hari, matahari bersinar cerah di langit biru membentang. Cahayanya terasa hangat di badan. Dan di langit biru yang terbentang luas itu, gumpalan-gmpalan awan putih berserakan. Bentuknya indah dan menyenangkan, menggumpal seperti kapas. Ada yang mirip binatang, mirip ombak bergulung-gulung, dan benda-benda lain nampak indah dan menawan. Ibrahim kecil begitu terpesona. Lagi-lagi hati kecilnya bertanya-tanya. “Siapakah yang telah menciptakan ini semua?”

Ketika sore hari tiba, matahari tergelincir di ufuk barat. Langit di sekitarnya nampak kemerah-merahan. Pelan-pelan matahari pun merendah dan tenggelam di balik awan. Semakin rendah, semakin bulat dan besar. Merah menyala warnanya. “Siapakah yang telah menciptakan keindahan ini?” Lagi-lagi Ibrahim kecil bertanya dalam hatinya.

Menjelang malam tiba, langit mulai gelap. Bulan muncul di langit malam, perlahan-lahan. Warnanya putih dan lama-kelamaan menjadi kekuning-kuningan bagai warna emas.  Sinarnya lembut, berbeda dengan sinar matahari yang hangat di pagi hari dan berubah menjadi kuat menyengat di siang hari.

Di langit malam yang gelap itu, disekitar bulan bundar kekuning-kuningan muncullah bintang-bintang yang kemudian bertaburan memenuhi langit malam. Dari bumi yang jauh bintang gemintang itu tampak berkerlap-kerlip bagaikan lampu-lampu kecil yang indah, bagaikan kunang-kunang menerangi persawahan. “Ah, betapa indahnya pemandangan alam. Siapakah yang telah menciptakan ini semua?” Ibrahim kecil terus bertanya-tanya dalam hatinya.

Ketika Ibrahim semakin besar, Allah menanamkan keyakinan dalam hati sanubarinya. Bahwa alam semesta dan seisinya itu adalah ciptaan Allah. Dan Allah itu adalah Tuhan yang sesungguhnya, bukan seperti tuhan-tuhannya penduduk Babilonia. Allah adalah Tuhan yang harus disembah. Semua yang ada di langit dan bumi adalah ciptaannya, adalah miliknya.

Ibrahim bersyukur karena ia tidak mengikuti kebodohonan penduduk Babilonia yang menyembah patung sebagai tuhannya. Karena itulah Ibrahim selalu berdoa setiap waktu. “Ya Allah, tunjukilah jalan kepadaku. Jika Engkau tak memberi petunjuk kepadaku, tentu aku akan menjadi orang yang sesat. Dan aku tak ingin menjadi orang yang sesat.”

Singkat cerita, Ibrahim sudah dewasa dan telah menjadi nabi. Setiap hari beliau sibuk beribadah mendekatkan diri kepada Allah. Dengan begitu, petunjuk dan perintah Allah datang kepadanya. Tugas Nabi Ibrahim yang paling utama adalah menyadarkan kaumnya agar tidak lagi menyembah berhala atau patung-patung. Penduduk Babilonia harus diberitahu bahwa Tuhan yang boleh disembah hanya Allah. Tentu saja pekerjaan ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Kaum Nabi Ibrahim sudah puluhan tahun menyembah berhala. Bahkan sudah ratusan tahun mereka menyembah berhala. Mereka tak pernah menyadari kebodohannya.

Sebelum Nabi Ibrahim menyadarkan masyarakat umum, terlebih dahulu beliau berusaha untuk mengingatkan agar tidak lagi menyembah berhala, tetapi menyembah Tuhan Sang Maha Pencipta. Hingga pada suatu ketika nabi Ibrahim mengajak Ayahnya untuk berdiskusi.

“Ayahku yang baik, mengapa Ayah menyembah patung-patung yang Ayah buat sendiri? Bukankah patung itu tak bisa mendengar tak bisa melihat. Tak bisa melakukan apa-apa? Bodoh dan tak layak untuk disembah sebagai Tuhan.”

Mendengar kata-kata anaknya itu tentu saja Azar, Ayah Nabi Ibrahim, marah sekali. Maka katanya: “Hai Ibrahim, berani betul engkau bicara seperti itu. Engkau sudah menghina tuhan-tuhan kami!”

“Ayahku yang baik,” sahut Nabi Ibrahim dengan sabar, tagas dan sopan, “pemujaan Ayam dan kaum Babilonia terhadap patung-patung itu sesungguhnya salah. Setan telah menuntun Ayah dan membuat aAyah merasa benar dengan apa yang telah Ayah lakukan. Demikian pula halnya yang telah diperbuat oleh kaum Babilonia itu.”

Tentu saja marahnya Azar, Ayah Nabi Ibrahim itu semakin menjadi-jadi. Ia tak habis pikir mengapa anaknya yang yang dibesarkan di tengah keluarga pembuat patung bisa punya pemikiran seperti itu.

Lalu berkata lagi Nabi Ibrahim, ”Kalau Ayah mengikuti bisikan setan, berarti Ayah telah menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Allah. Saya takut jika Ayah diazab Allah…”

“Cukup! Hentikan bicaramu, Ibrahim,” potong Azar sang Ayah, “Sekarang tinggalkan aku,” teriaknya dengan kemarahan yang meluap-luap.

Nabi Ibrahim meninggalkan Ayahnya dengan hati sedih. Beliau memikirkan kehidupan Ayahnya di akhirat kelak. Hukuman dan siksa yang berat telah menunggu orang-orang sesat dan durhaka kepada Allah.

Sesaat setelah meninggalkan Ayahnya, Nabi Ibrahim berdoa memohon ampunan untuk orang tuanya.”Ya Allah, ampunilah Ayahku karena ia termasuk golongan orang-orang yang sesat.”

Sementara itu, Azar sama sekali tak memperdulikan usaha anaknya yang suci dan mulia itu. Ia bahkan semakin ingkar. Sembari menyumpahi dan mengutuk anaknya, Azar semakin rajin mengunjungi patung-patung berhalanya. Dan konyolnya, ia juga memperingatkan kepada penduduk Babilonia yang lain agar berhati-hati dengan dakwah anaknya, Ibrahim.

Ketika ayahnya menolak mentah-mentah dakwahnya, Nabi Ibrahim tak putus asa. Meskipun hatinya bersedih beliau masih berharap kalau masyarakat Babilonia mau mendengar dakwahnya. Beliau tak ingin menyaksikan kalau kaumnya mendapatkan azab Allah seperti kaum-kaum yang terdahulu yang telah melakukan perbuatan musrik dan sirik. Oleh karena itu dengan cara yang sopan dan kasih sayang, beliau mengingatkan kaumnya.

“Wahai kaumku, apa sesungguhnya yang kalian sembah itu?” tanya Nabi Ibrahim.

“Kami menyembah tuhan-tuhan kami, patung-patung ini,” jawab mereka.

“Apakah patung-patung itu bisa mendengar pembicaraan kalian?”

“Ti… tidak,” jawab sebagian orang.

“Apakah patung-patung itu bisa melihat kalian?” tanya Nabi Ibrahim lagi.

“Ti… tidak juga,” jawab yang lain.

Setelah terjadi tanya jawab singkat itu, orang-orang itu saling bisik berbisik satu sama lain. Salah seorang dari mereka yang tak lain adalah seorang tokoh masyarakat kemudian berkata dengan lantang. “Ketahuilah olehmu wahai Ibrahim. Apa yang kami lakukan sekarang  ini adalah sekedar mengikuti dan melestarikan  yang telah dijalankan oleh nenek moyang kami. Karena itu janganlah engkau mengganggu ibadah kami. Ibadah warisan dari leluhur kami.”

Nabi Ibrahim tersenyum, dengan segala kelembutan hatinya ia lalu berkata: “Wahai kaumku, sesungguhnya kalian telah mengikuti tradisi yang salah. Menyembah patung adalah perbuatan musyrik. Walaupun itu merupakan warisan dari para leluhur, akan tetapi perbuatan itu termasuk perbuatan sesat. Karena itu harus ditinggalkan. Hanya Allah yang layak untuk disembah.”

Mendengar penjelasan Nabi Ibrahim orang-orang itu jadi tersinggung dan marah karena Nabi Ibrahim dianggap telah menghina tuhan mereka.  Ibrahim, anak pembuat patung yang terkenal telah berani melecehkan tradisi nenek moyang mereka. “Hei, Ibrahim. Engkau ini anak kemarin sore  jangan sok tau! Berani benar engkau menghina tradisi yang sudah berabad-abad hidup di masyarakat Babilonia. Gila kamu.”

Nabi Ibrahim kemudian menjelaskan bahwa dirinya adalah utusan Allah yang ditugaskan untuk menyadarkan penduduk Babilonia dari ajaran sesat menyembah patung atau berhala. Akan tetapi begitulah adanya apabila hati manusia sudah tertutup. Kaum Babilonia tetap berbuat ingkar dan tetap menyembah berhala. Mereka menganggap Nabi Ibrahim orang aneh, orang gila yang tak bisa dipercaya. Setiap kali Nabi Ibrahim berdakwah, mereka cepat-cepat menyingkir. Akan tetapi Nabi Ibrahim tak pernah berputus asa dalam menghadapi kaumnya yang tak mau memperhatikan dakwahnya itu. Beliau khawatir kalau-kalau kaumnya akan dimurkai Allah dan mendapatkan azab yang pedih baik di dunia maupun di akhirat nanti. Siang malam nabi Ibrahim mencari solusi bagaimana caranya bisa menyadarkan kaumnya agar tidak lagi menyembah berhala.

Maka segera tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Hari Raya orang-orang Babilonia tiba.  Mereka biasa merayakannya dengan membuat pesta besar-besaran. Mereka memasak makanan yang enak-enak, dan kemudian dipersembahkan pada tuhan-tuhan mereka, patung-patung berhala. Setelah itu mereka tamasya ke luar kota bersamaa teman atau keluarga.  Kota pun menjadi sepi, hampir semua orang pergi tamasya ke luar kota.

Ketika hampir semua penduduk negeri pergi ke luar kota, Nabi Ibrahim tinggal sendirian di rumah. “Inilah saat yang tepat. Aku harus segera bertindak,” kata Nabi Ibrahim dalam hati. Maka berangkatlah Nabi Ibrahim, berjalan kaki menuju tempat ibadah kaum Babilonia dengan membawa sebuah kampak yang besar. Sesampainya di tempat ibadah yang penuh dengan patung berhala yang masing-masing  sudah diberi sesaji berupa makanan yang enak-enak dan lezat. Semua sesaji itu masih utuh tak tersentuh.

Nabi Ibrahim segera mendekati patung-patung itu dan mengayunkan kampaknya. “Brak…brak… gubrak… gedebug… brug… gedubrak… brak… brakkk!!”

Dalam sekejap mata, patung-patung berhala itu hancur lebur berantakan. Oleh Nabi Ibrahim sengaja ditinggalkan patung yang paling besar. Di leher patung tersebut kemudian Nabi Ibrahim menggantungkan kapaknya. Setelah itu beliau meninggalkan tempat ibadah yang sudah hancur lebur berantakan tersebut. Selanjutnya beliau menunggu reaksi kaum Babilonia yang sebentar lagi kembali dari pesta hari raya mereka.

(Bersambung ke bagian 2: https://mbludus.com/kisah-nabi-ibrahim-bagian-2/

19 Ramadhan 1442 H

Diceritakan kembali oleh: Abah Yoyok

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *