cerpen sastra

Hafiz Muthahari

Fara mungkin tidak akan menyadari kalau dunia bergerak semakin cepat. Aku mengatakan dunia bergerak semakin cepat bukan karena waktu yang menjadi sangat cepat, karena aku yakin waktu selalu konstan sampai lenyapnya konsep waktu itu sendiri, tetapi pergerakan kehidupan manusia, gaya hidup, dan ragam keyakinan manusia yang semakin rumit. Kalau aku mengatakan ini padanya, aku yakin ia akan berkata kepadaku, “Siapa peduli? Hidupmu sama saja.”

Pasti sama saja, aku masih tetap mencintai Fara.  Cinta adalah sesuatu yang kekal, dan merupakan konsep purba yang terjadi lebih awal dari penciptaan alam semesta. Sedangkan  Fara adalah entitas yang secara tiba-tiba menjadi matahari terakhir di dalam semestaku. Hei kawan, percayalah, tubuh kita ini semesta kecil dan termasuk mosaik dari semesta jagat raya ini.

[iklan]

Saat pertama kali mengenal Fara, aku mulai menulis surat yang ditujukan padanya. Waktu itu kutitipkan pada Risa, sahabatnya. Fara memegang suratku dan membacanya. Kemudian ia menoleh ke arahku, yang berada seratus meter di depannya. Aku tersenyum simpul. Ekspresinya berubah seolah tidak percaya. Waktu psikologis di dalam diriku melambat, dan gerakan Fara benar-benar melambat di mataku. Ia meremas suratku, membantingnya ke lantai, kemudian pergi dengan kesumat di wajahnya.

Saat itu dua entitas bertabrakan: jatuh cinta dan patah hati. Lambat laun aku mulai paham bertabrakannya dua entitas tersebut dipicu oleh kejadian mahadahsyat yang kunamai benci. Kebencian itu bukan berasal dari semestaku, tapi dari semesta Fara. Surat pertamaku hanya memuat satu kalimat:

Fara, aku Baim, lelaki yang mencintaimu.

Kemudian muncul surat-surat lainnya dengan semangat cinta yang menggelora. Pada saat itu pula aku selalu merasakan sakit hati yang begitu hebat. Lama kelamaan aku menjadi kebal. Aku pun menarik suatu kesimpulan bahwa suatu hari nanti pasti akan ada manusia yang dapat mengunjungi matahari, begitu juga denganku yang bisa menjadikan Fara, matahariku, menjadi bagian dari semestaku.

Surat cinta menjadi usang dan tidak menjadi tren lagi. Muncul tren surat menyurat baru akibat dari mewabahnya internet, tren tersebut adalah surat elektronik, surel, atau lebih dikenal dengan email. Aku mendapatkan alamat surel Fara dari teman-teman kelasnya, yang sering berkirim tugas kuliah melalui surel.

Tidak pernah ada jawaban. Akan tetapi, aku yakin kalau pesan-pesanku pasti dibaca olehnya, walau keyakinan terkuatku pesan-pesanku akan berakhir di tong sampah surel. Saat itu aku satu kampus dengannya, tapi beda jurusan. Intensitas kami bertemu memang lebih jarang dibandingkan SMA dulu.

Aku mengetahui semua jadwalnya di kampus. Maka, aku akan datang lebih dulu darinya dan berusaha mencuri pandang. Aku merasa semestaku menjadi siang, karena matahariku bersinar. Tanpanya, aku adalah malam yang berkepanjangan. Kalau ia melihatku, ia pasti akan berlari seperti melihat setan. Aku selalu mengakhirinya dengan senyum simpul.

Risa tiba-tiba ada di belakangku, “Masih nggak menyerah?”

“Tidak ada kiamat, karena alam semesta abadi.”

“Gaya lo, Baim. Kalau lo meyakini bigbang itu ada, mungkin di waktu yang lain semesta lo juga akan mengalami ledakan dahsyat, seperti bigbang, atau supernova. Who knows.” Risa pergi meninggalkanku.

Aku terkejut mendengar ucapan Risa barusan. Ia ada benarnya. Salah satu keyakinanku runtuh dan aku membenarkan ucapannya.

Di lain waktu, aku mendapati Risa seorang diri sedang asyik dengan laptopnya di taman kampus. Wajahnya tampak serius, sedangkan jemarinya lincah menari di atas tuts keyboard. Aku mendekatinya.

“Serius banget?” sapaku mengejutkannya. Ia mendelik.

“Biasa, tugas Bos Jon. Kalau nggak perfect, dia pasti mengancam sekelas dengan tugas berat.”

“Dosen aneh. Bukannya diringankan, malah ditambah lebih sulit.”

Risa menekan tuts CTRL+S. Ia menatapku tajam, “Kata Bos Jon gini, kalau ingin mengubah sistem tata surya, kita harus membebani diri kita dengan tugas-tugas yang berat. Lebih berat dari bumi. Lebih berat dari galaksi bimasakti, dan harus lebih berat dari kenyataan.”

Aku tertawa.

“Kayaknya Bos Jon cocok sama lo, Baim. Tergila-gila dengan alam semesta berikut dengan aktivitas dan sejarahnya deh.”

Aku menggeleng. Kukatakan padanya, tidak. Karena alam semesta di dunia ini kuyakini terkoneksi erat dengan diriku, dan matahariku, Fara. Risa malah menertawaiku.

Pandangannya kembali terfokus di layar laptopnya dan membuka ikon surel.

“Ini email Fara. Dia lupa logout.” Risa hendak mengeluarkan akun surel Fara, tapi aku buru-buru menahannya. “Apaan sih! Ini kan privasi orang, Baim.”

“Bukan itu maksud gue, gue cuma mau lihat kotak masuk dia, apakah pesan-pesan gue ada di dalamnya?” Risa setuju. Kami berdua secara hati-hati mengeceknya. Ia menekan panah bawah, tapi tidak satupun kami temui pesan-pesan dariku.

Ia bertanya kapan terakhir kali aku mengirimkan pesan pada Fara. Aku menjawab, dengan konsisten,sejak aku mengetahui alamat surel Fara, setiap lima jam sekali aku mengirimkan surel padanya. Pesan-pesan singkat yang kukirimkan, tidak pernah kuketahui nasibnya di kotak masuk Fara. Telunjuk Risa mengarah ke tong sampah surel Fara. Dadaku berdegup kencang. Apakah ini rasanya bintang mati berdenyut dan hendak meledak?

Risa menggeleng, “Nggak ada juga, Baim.” Nada suaranya datar, tampak kekecewaan darinya. Begitu pula denganku.

Lalu Risa mengalihkan pandang ke spam. Ketika ia mengkliknya, di sana berjajar alamat surelku, dan tak sedikitpun pesan-pesanku yang masuk ke kotak spam ia sentuh. Ia benar-benar tidak peduli denganku.

Lambat laun, surel menjadi tidak populer. Surel hanya berfungsi untuk bisnis, atau perkuliahan saja. Dunia kembali bergerak, dan jaraknya tidak terlalu jauh. Muncullah instant messenger berbasis apliasi gawai. Aplikasi-aplikasi yang hasil menghapus jarak. Seolah jarak kutub utara dan kutub selatan hanya beberapa mili sekon perjalanan. Penemuan mutahir yang mengubah gaya hidup manusia.

Penemuan-penemuan tersebut berdampak pada banyak sektor, salah satunya adalah layanan pesan antar, dan tatap muka jarak jauh. Dulu, melalui surat, manusia harus menunggu balasan dalam hitungan waktu yang cukup lama, mingguan, bulanan, bahkan tahunan. Akan tetapi, kini, tak perlu bertemu secara langsung, melalui instant messeger, manusia satu dan manusia lain yang berada di tempat berbeda bisa saling bertatap muka.

Aku memiliki koneksi dengan Fara. Keinginanku mungkin sangat sederhana, yaitu bertatap muka walau hanya 3 detik dengan Fara. Tetapi Fara memblokir nomor ponselku. Kami benar-benar tidak bisa berkomunikasi. Saat itu aku kesulitan menemuinya. Sesekali kutunggu ia keluar rumah, dan berharap mampu melihatnya, karena semestaku terlalu lama malam, teralu gelap. Ia selalu keluar rumah dengan mobilnya. aku benar-benar tidak bisa melihatnya lagi.

Tidak lama setelah itu Fara menikah. Celakanya Risa mengabariku beberapa hari setelah acaranya berlangsung. Aku tidak sempat melihatnya lagi dan aku pun tidak bisa datang ke acara pernikahannya. Risa bilang aku akan mengacau di sana jika aku datang ke acara pernikahannya. Kegagalan terbesar di dalam hidupku adalah aku kesulitan meyakini kenyataan, dan semestaku goyah. Apakah ini tanda-tanda ledakan lain yang lebih dahsyat dari bigbang?

***

“Lo salah memahami apa itu matahari, Baim.” Kata Risa. Aku diam saja.

Risa mengajakku bertemu setelah aku mengatakan padanya  semestaku akan meledak. Kami berada di sebuah lapangan yang sangat sunyi. Lampu-lampu berkelip di kejauhan, sedangkan di sekitar kami hanya ada kegelapan. Kami merebahkan diri di atas tanah menatap langit malam yang bertabur bintang.

“Anggap aja Fara itu bintang yang lagi lo lihat saat ini. Kenyataannya jarak lo dan dia itu terlalu jauh, lo masih di bumi, Fara sudah meledak. Matahari itu bintang kan?”

Aku tidak menjawabnya.

“Di sana,” Risa menunjuk langit malam, “ada entitas yang terus menerus melayang spontan. Sekalipun lo dekat dengannya, ia nggak bisa dilihat. Seolah-olah ia sangat kecil. Kemudian entitas tersebut mengawali ketiadaan menjadi ada. Mereka merupakan materi dan antimateri.”

Aku terkejut dan bangkit. Kutatap Risa. “Kenapa lo tahu itu?”

“Karena Risa yang ada di sebelah lo ini berasal dari sebelah lubang hitam. Lubang hitam tercipta karena bintang kolaps, terjadilah peristiwa supernova. Lalu partikel-partikel di sebelahnya menjadi nyata. Energi negatif terserap oleh lubang hitam, sedangkan partikel lain membawa energi positif ke ruang angkasa.”

Aku tersenyum sambil meneteskan air mata, “Risa, sebenarnya lo siapa sih?”

“Aku bintang muda, yang bersinar lebih terang dari matahari sebelumnya. Aku sayang kamu, Baim.”

Aku langsung memeluk Risa dengan erat. Tak ingin kulepaskan Risa dan kutetapkan ia sebagai pusat semestaku. Matahari baru menghapus malam dan gelap berkepanjangan ini.

***

Pembaca yang budiman mungkin akan bertanya-tanya, mengapa aku begitu mencintai Fara dan mengapa Fara sangat membenciku. Jujur saja, aku tidak mengetahuinya juga. Hal tersebut adalah misteri alam semesta yang tak bisa dipecahkan. Walau miliaran teori tercipta untuk mengungkapkannya, tapi siapa yang mampu kembali ke masa lalu hanya untuk menemukanku di masa itu.

Bulakan, 30 Juni 2019

Hafiz Muthahari, seorang pembaca dan pedagang.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *