“Bibir mencibir, lidah tak bertulang, menjilat ludah sendiri, menarik ingus di hidung!!”
…..belasan kata-kata bernada ejekan seperti itu melintas-lintas di benakku beberapa hari belakangan ini, saat melamun atau pun saat tidur. Seperti poster-poster bergambar bibir lebar lidah menjulur, bibir kotak, bibir segitiga yang diacung-acungkan oleh para pengunjuk rasa, seperti penggalan seruan-hujatan teriakan serak para orator di tengah massa.
Apa aku sedang mimpi? Aku coba telusuri… mungkin secara tak sadar telah menyerap dan mengolahnya dari surat-kabar, majalah, radio, layar televisi? Juga, boleh jadi, secara langsung dari majikanku? Memang aku sering diajak ngobrol segala macam hal, ketika masak, bersihkan perabotan, menyiram kebun, mencuci mobil, dan lain-lain. Majikanku manusia bekerja, memang.
O ya, perkenalkan namaku Yayah. Tetangga-tetangga di kampung, sejak kecil, memanggilku begitu. Padahal nama asliku Cahaya. Kata Bapak, itu Kakekku yang memberi nama, biar keluarga bisa terus berkilau semangatnya, katanya.
Tapi panggilanku Yayah. Tak apa. Aku tak menyesal. Meski, awalnya, membuatku gerah, merasa disepelekan, mentang-mentang aku hanya pembantu rumah tangga, PRT.
Cahaya, ya jelas Kakek punya niat dan keinginan yang mulia ketika memberi nama. Jadi…ah, tak mengapalah… Yang penting aku dilahirkan oleh pasangan petani di desa kecil, di sana, wilayah pinggir Sibolangit, kota kecil pertengahan antara Medan dan Danau Toba. Dulu ada pertemuan besar pramuka di sana, ramai sekali, sayang bangunan-bangunan bekasnya tak dirawat.
Jangan salahkan nasib. Itu betul. Sebab, sebagai PRT di rumah majikanku sekarang ini, enak, asyik punya. Aku boleh bertukar kabar dengan orangtuaku di kampung, sanak keluarga, bahkan sahabat pena. Sungguh, semua fasilitas yang digunakan oleh majikan : komputer, internet, tentu juga telpon, HP, fax. Aku tak pernah menuntut, justru majikanku yang terus menerus menyatakan bahkan melatih agar aku mampu menggunakan alat-alat itu. Dia dengan telaten mengajari, juga memberi kesempatan untuk kursus. Jangan pula heran aku diberi hak cuti haid, hak cuti tahunan, bonus gaji ke 13. Itulah majikanku, yang perempuan maupun yang lelaki.
“Aktualisasi diri dimiliki setiap manusia,” kata majikanku kepada temannya, saat aku suguhkan teh dan penganan kecil di tengah percakapan mereka, suatu sore, di teras rumah.
“Benar..,”tanggap temannya itu, ”Karena itu setiap manusia harus diberi peluang, dan harus pula diajak, dibangunkan agar memanfaatkan semaksimal mungkin semangat dan tenaga yang ada dalam diri,” fasih betul omongan yang keluar dari bibirnya. Sepasang matanya bundar, serasi dengan wajahnya yang mengenakan jilbab.
”Membangkitkan ghirrah adalah peran kita sebagai motivator,” sambut majikan perempuanku.
”Aku mendengar suara, jerit makhluk yang terluka. Ada orang memanah rembulan, ada anak burung, terjatuh dari sarangnya. Orang-orang harus dibangunkan. Kesaksian harus diberikan. Agar kehidupan bisa terjaga..”
”Yes. Kamu hafal puisi Rendra itu…” gembira majikanku sampai bertepuk tangan.
Aku kagum pada mereka. Semangat. Peduli. Tanpa basa-basi.
Kadang jadi tak enak hati setiap kali majikanku mengajak duduk bersama-sama satu meja makan. Tak enak rasanya, tak bisa makan secara bebas.. Tapi, jangan pakai alasan tak layak atau tak pantas. Wah, majikanku pasti menegur. Dia pernah bilang: Siapa bilang kau tak layak, siapa bilang kau tak pantas. Ukuran kepantasan dan kelayakan itu kita, manusia, yang bikin, makanya bisa berubah di setiap tempat dan di setiap saat.
Mau contoh? Ketika bersama-sama warga se-RW tamasya ke gunung, pastilah saat acara makan semuanya harus kebagian, dan ketika mengunyah makanan duduk di mana tempat. Ada yang duduk di atas tikar, di kertas karton, di rumput. Aku yang PRT dan majikanku yang tokoh masyarakat sama-sama duduk di atas batu. Malahan batu yang kududuki lebih tinggi dibanding batu majikanku. Hanya soal makan sama-sama, kan tak perlu heboh. Masih banyak masalah di masyarakat kita yang penting untuk diutamakan dan diupayakan penyelesaiannya.
“Gitu aja kok repot..,” kalimat yang pernah kudengar di radio dan televisi, dari wajah dan bibir yang… itu ada benarnya.
Memang sesekali mencuat pikiranku kepingin dipanggil nama lengkapku Cahaya.. atau Cahya,.. tapi… sudahlah, karena kebiasaan orang sulit mengubahnya. Proses transformasi dari tradisional menjadi modern memang evolutif, Kecuali ada revolusi… ups, kalimat ini aku dapat darimana? Lihat di cermin ada bibirku yang tersenyum.
Kata dan kalimat yang menurutku bagus-bagus begitu saja melintas-lintas di benakku, dan mondar-mandir kapan saja, semaunya. Aku sering menyampaikan hal itu kepada teman-teman sesama PRT. Itu pun, mereka… ah, masih untung mau mendengarkan, biasanya mereka hanya bengong mendengar celotehku, ada juga yang tak mau menggubris langsung melenggang pergi begitu bibirku bergerak. Aku jadi seperti mahluk aneh. Kenapa?
“Kamu harus berjuang untuk memajukan pikiran-pikiranmu. Belajar terus.. Kendala bisa dirubah jadi tantangan dan peluang oleh orang kreatif,” majikan perempuanku selalu memompa semangat. Untuk urusan seperti itu dia memang handal.
Kalau malam hari, rumah sepi, tak ada anak-anak…, o ya majikanku pasangan suami-istri yang belum punya keturunan, mungkin karena dua-duanya sibuk sekali. Tampaknya seperti tak sempat bermesra-mesraan, macam cerita di televisi. Eh, aku kok jadi sok tahu. Jika majikan perempuanku belum pulang, aku hanya berdua dengan majikan lelaki, malam hari, nonton televisi di karpet tengah rumah. Aku santai saja.
“Tulung pijatkan pundakku, pegal-pegal rasanya.” Atau, ”Kamu kayaknya pucat, sini aku pijetin kepalamu…” Itu cuma kalimat yang ada di cerita sinetron atau film. Bibir majikan lelaki tak bakalan mengeluarkan omongan seperti itu. Siapa pun memang tak percaya, termasuk teman-teman sesama PRT perempuan di sekitar rumah jika sedang nggosipin majikan masing-masing.
“Ssst… Bapak pernah niup kupingku, nepok pantatku, lho hi hi hii..”
“Bibir bosku seksi. Kumis sama bulu dadanya lebat banget. Aku suka merinding sendiri… terus mimpi deh..”
“Aku pernah diajak adiknya Ibu nonton film… gituan… ih… serem…”
Bicara gosip seperti itu aku menolak ikut, pamali. Salah-salah bisa bibir sendiri yang dower. Mereka dusta atau tidak, mana aku tahu? Yang jelas, mereka juga tak suka saat aku bicara soal hak perempuan. Padahal mereka kan kaumku, perempuan. Makanya aku acapkali lebih memilih baca buku bahasa Inggris. Siapkan teh manis, penganan kecil, buku Living English Structure dan kamusnya, lantas cari tempat yang enak untuk duduk. Di sofa, di karpet atau sambil tiduran di kamar tidur.
Aku sudah setahun lebih kursus. Sebenarnya lumayan bisa, cuma keberanianku bicara mesti ditambah. Majikan perempuan tahu itu. Makanya beberapa kali aku diajak ikut ke rapat, diskusi, seminar… dan setiap kali ada orang asing aku disuruh ngobrol walah, bibirku sampai gemetaran, tapi aku nekad saja, biar pun sesudah itu aku terbirit-birit ke toilet.
“Harus berani, coba terus, try… be practice! come on!”dorong majikanku.
Suatu kali aku sibuk dengan diriku sendiri. Tepatnya klimpungan. Penyebabnya, ada dua undangan datang. Ya, undangan. Bukan atas nama majikanku. Bukan. Undangan atas namaku sendiri. Bukan surat dari kampung atau dari kerabat jauh. Yang satu undangan seminar dari lembaga manajemen, entah darimana mereka tahu namaku, yang satu lagi undangan untuk membentuk yayasan. Mana yang kupilih untuk kuhadiri karena keduanya sama hari, tanggal, dan jamnya? Tak bisa minta saran ke majikan, karena keduanya sedang di luar kota.
Akhirnya aku memilih menghadiri seminar. Di situ aku jadi peserta yang kayaknya paling tak pantas duduk di antara peserta lain, yang tampak begitu cantik, pandai, dandanannya ada yang seperti artis di tivi. Lipstik di bibir mereka warnanya ada pink, ada merah, ada coklat… aku rasanya salah tempat. Tapi bagaimana lagi? Aku atur napas…. kurr semangat.
Ketika dibuka acara tanya-jawab aku memberanikan diri mengajukan pertanyaan serta tanggapan… Dan, astaga yang kukemukakan malah jadi perbincangan hangat.
Sungguh, topik seminar “Manajemen Rekruitmen Karyawan Perusahaan Multi Nasional” jadi berubah arah. Lebih menyoroti peran dan kepercayaan pimpinan dalam mendelegasikan wewenang kepada bawahannya maupun tentang meningkatkan kesejahteraan karyawan yang justru jadi langkah jitu meningkatkan citra perusahaan. Aku bahkan diwawancarai oleh wartawan radio dan televisi di situ, yaa di tempat seminar itu.
Saat dikerubuti wartawan dan kamera itu, waaduh, bibir-bibir mereka ada yang mencibir, ada yang monyong, yang hitam kena polusi rokok, ada yang main sikut, ada yang sodorkan tape-recorder nyaris mengenai bibirku, ada wah, wah… aku nyaris tak bisa bernapas di tengah kerumunan. Dan masya Allah lagi, itu ada majikan perempuanku di antara para peserta. Aku baru tahu dia hadir juga di seminar ini. Padahal tadi pagi lewat SMS aku disuruhnya datang sendiri. Apakah dia sengaja?
Eh, dia mengacungkan jempol ke arahku. Matanya berbinar, bibirnya tersenyum seperti busur. Aku terharu, sungguh. Air mataku mengalir di pipi. Aku dekati dia. Ya, di tengah orang banyak, dia, majikanku, memelukku…. erat-erat.
Tangerang Selatan,
14 Januari 2005
Uki Bayu Sedjati, seorang yang menyukai seni, sastra dan teater.