Berlari Pulang
Silvia Risma Elpariani
“Masuk kau!” ujarnya sambil menyeretku ke dalam gudang. “Tidur kau di sini sampai pagi besok!” teriaknya dengan wajah memerah seperti api menyala. Seketika hidungku mengenali bau busuk dalam ruangan itu persis bau bangkai tikus mati. Napasku tiba-tiba menjadi sesak mencium aroma apak dari lemari kayu yang sudah lapuk. Aku sungguh tidak bisa bernapas di ruangan lembab penuh debu itu. Aku menutup hidung, lalu bernapas dengan mulut.
Torro mengunciku dari luar. “Bangsat!” gerutuku dalam hati. Lagi-lagi, aku harus tidur tersiksa di ruangan tanpa ventilasi. Seketika itu, aku teringat wajah ibuku dengan senyum teduhnya, juga kenangan manisku bermain bersama ayah. Air mataku keluar sejadi-jadinya mengingat mereka yang sudah tiada. Tidak ada lagi tempat untuk pulang. “Aku ingin pulang!” ucapku lirih. Bahkan berlari sejauh apapun aku sanggup, asal ada tempat untuk pulang.
Dua tahun lalu, aku tinggal di panti asuhan. Saat itu, ia datang untuk mengadopsi seorang anak. Di antara semua anak panti, aku yang dipilih olehnya. Aku meloncat kegirangan di hadapan teman-temanku. “Horeeee! Aku punya orang tua!” teriakku dengan wajah sumringah. Bila kuingat hari itu, aku akan mengutuk tingkahku yang konyol dan bodoh. Aku tidak pernah mengira telah memasuki kandang singa.
***
Mendadak aku terbangun karena sesuatu menghujam wajahku.
“Cepat bangun!” ujarnya sambil menyiramku dengan air.
“Aku sakit, Bang,” tiba-tiba suaraku jadi sengau.
“Ah! Jangan banyak alasan. Cepat kerja!” matanya melotot seakan ingin meloncat keluar. “Bawa uang yang banyak atau kau mau tidur di sini lagi malam ini!”
Dengan terpaksa aku bangun dan memulai aktivitas di kawasan stasiun. Sepanjang hari aku bekerja keras mengamen, tanpa menyadari senja di ujung langit. “Hahhh … hari yang sangat melelahkan,” desahku. Aku kemudian duduk sejenak di kursi tunggu sembari meletakkan ukulele tua yang selalu setia menemaniku. Kusentuh dahi dan leher. Aku bisa merasakan panasku sudah turun. Mataku beralih memandang uang dalam kaleng susu bekas berukuran sedang. Aku tertegun. “Tidak akan kubiarkan lagi ia menjadikanku sapi perah,” tekadku bulat. Kulirik tas selempang yang kubawa, “Tidak. Jangan di sini!”. Aku memasukkan beberapa lembar uang ke dalam ukulele. “Tempat yang paling aman,” pikirku.
Hampir dua minggu aku memeras keringat agar tabunganku cukup untuk membeli tiket kereta. Aku akan pergi ke Yogyakarta. Aku tahu ibuku mempunyai sanak keluarga di sana. Sewaktu kecil, aku pernah menemuinya. Namun, semenjak orang tuaku memutuskan untuk merantau ke kota ini, kami tidak pernah bertemu lagi. Serasa kami tinggal di planet yang berbeda.
Kuhitung jumlah tabungan yang selama ini kusimpan diam-diam. “Hampir cukup,” ujarku sambil tersenyum riang. Bisa kuperkirakan hari itu menjadi hari terakhirku berada di kandang singa, bila uang yang aku dapatkan cukup banyak. Betul saja! Setelah mengamen sampai larut malam, harapanku untuk bisa kabur darinya sebentar lagi akan terwujud.
Aku menyusuri gang menuju markasnya dengan perasaan penuh bahagia. “Besok aku akan membeli tiket dan berangkat ke Yogya,” rencanaku dengan semangat membara sekaligus mendebarkan. Setiba di markas, ia menungguku dengan wajah geram.
“Sini ukulelemu!” ia merebut ukulele dari tanganku.
“Jangan, Bang!” jawabku cemas.
“Bajingan kau!” teriaknya sambil meludahi wajahku. “Tahan dia!” perintahnya pada Dodit. Ia lalu memukul perutku berkali-kali.
Aku mengerang kesakitan. “Ampun, Bang! Ampun!” pintaku dengan memelas.
Ia tetap menghajarku tanpa ampun hingga aku tergeletak tak berdaya layaknya anak kucing yang sedang terluka. Ia menarik tanganku, lalu menyeretku ke gudang.
“Jahanam kau, Dodit!” ujarku selagi merintih kesakitan memegang perut. Aku tidak pernah berpikir, anak emas tuanku itu akan mengadukanku. Ia pasti memperhatikan gerak-gerikku di stasiun.
***
“Kerja kau hari ini!” suruhnya seraya membanting ukulele ke tubuhku. “Jangan kau berniat kabur lagi bila tidak ingin mati!” ancamnya. “Tidak ada makanan untukmu hari ini! Cepat kerja!” ujarnya sambil menendangku.
Aku sungguh kehabisan tenaga mengamen sepanjang hari dengan perut kosong tanpa terisi apapun. Dengan kondisi tubuh yang masih terasa remuk, tidak banyak uang yang bisa kudapatkan. “Aku tidak berani menggunakan uang ini,” pikirku. Bahkan hanya untuk membeli sebungkus roti. Dengan berat hati, aku mengais sisa makanan di tempat sampah. Tanpa sengaja, tatapanku mengarah pada sebuah plastik hitam yang sedikit terbuka. Aku melihat ke sekeliling, kepalaku menoleh ke kanan-kiri. Dengan menghembuskan napas berat, aku meraih bungkusan itu dan membawanya pergi berlari.
Setelah berlari cukup jauh, aku terduduk dengan napas terengah-engah. Tanganku memegang erat tas selempang biru tua, berisi plastik hitam yang kumasukkan saat berlari tadi. Setelah keadaan tenang, kubuka tas lusuh yang berwarna pudar itu. Dengan tangan gemetar, aku membuka perlahan plastik hitam itu. Seketika mataku terbelalak melihat banyaknya jumlah uang yang baru saja kutemukan. Di dalamnya terdapat secarik kertas berisi tulisan yang tidak kumengerti. “10 sandi morse.”
“Siapa pemilik uang ini? Lalu, kenapa uang ini dibuang?” pikiranku berkecamuk memikirkan kejadian yang baru saja kualami. “Apa yang harus kulakukan dengan uang ini? Apa aku boleh menggunakannya untuk membeli tiket kereta?” pikirku. “Ah, aku sangat lapar!” gerutuku lagi. Akhirnya aku memutuskan pergi ke warung makan dan membeli sebungkus nasi, juga teh hangat.
Keesokan harinya, aku mulai mengamen di stasiun. Aku bernyanyi diiringi dengan ukulele. Jemariku tampak lincah memetik senar-senar hingga lagu yang kumainkan terasa hidup. Orang-orang sangat menikmati lagu yang kubawakan. Setelah mendapat imbalan, aku melanjutkan ke sudut yang lain. Ketika berjalan melewati tempat sampah, tempat kutemukan uang kemarin. Aku mendengar dua orang lelaki sedang berdebat.
“Kau yakin? Orang itu menaruh sepuluh sandi morse di sini?”
“Ya, aku yakin!”
“Bagaimana kalau Ketua menemukannya lebih dulu?”
“Sampai sejauh ini, Ketua juga belum menemukannya,” ucap lelaki yang bersetelan serba hitam.
“Kita harus segara menemukannya lebih dulu dari Ketua ataupun polisi!” desak lelaki yang badannya agak kekar itu. “Cepat cari atau Ketua akan mematahkan leher kita!”
Lantas, aku seakan menyadari apa yang sedang mereka cari. Aku menatap ketakutan kedua orang itu dan segera berlari. Melihat tingkahku, dua orang tadi tampak curiga. Mereka mengejarku. Aku berlari secepat mungkin, tanpa melihat siapa pun di depanku.
Tiba-tiba, kau menarik tanganku untuk masuk ke dalam gang kecil. Aku berteriak histeris, “Bukan aku! Bukan aku!”
“Tenanglah, tenanglah!” ujarmu. “Jangan takut!”
“Anda siapa?”
“Yang pasti aku bukan orang jahat seperti mereka. Aku akan menolongmu. Ayo, ikut Paman! Kita bicara di tempat lain,” ajakmu.
***
Mataku berbinar melihat sup hangat yang ada di meja.
“Makanlah!” sambil kau menyodorkan mangkuk itu ke arahku.
Aku langsung memakan sup itu dengan lahap.
“Nama saya Adam,” kau menunjukkan tanda pengenalmu sebagai detektif.
“Pa … paman detektif?”
Kau tersenyum. “Siapa namamu?”
“Aku Andi”
“Orang tuamu di mana?”
Aku menggelengkan kepala dengan wajah tertunduk sedih.
“Lalu saat ini, kamu tinggal di mana?”
“Di tempat Bang Torro,”
“Torro? Oh, si preman brengsek itu!” ucapmu dengan ketus. “Baiklah, sekarang Paman tahu apa yang terjadi padamu. Sekarang, keadaanmu tidak aman!”
“Bagaimana bisa?”
“Paman bekerja sebagai detektif untuk kasus narkoba. Kami sudah cukup lama menyelidiki kasus ini. Baru saja mereka melakukan transaksi jual-beli dengan harga yang sangat mahal. Tapi, salah satu barang buktinya hilang.”
“Ap … apa barang buktinya?”
“Uang,” kau menatapku tajam. “Paman tahu, sore kemarin, kamu menemukan uang di stasiun,”
“Iya ….” ucapku pelan. “Tapi hari ini, aku tidak membawanya,” jawabku sambil menggenggam erat tas yang kubawa.
“Kamu tahukan uang itu bukan milikmu?”
Aku hanya diam. Kau lalu memegang tanganku.
“Paman akan menolongmu supaya bebas dari Torro,” ujarmu mencoba meyakinkanku.
Aku terdiam sejenak, kemudian berkata, “Aku ingin pergi ke Yogya menemui saudara ibuku, tapi aku tidak tahu alamatnya,”
“Baiklah, Paman akan menemanimu ke sana dan membantumu mencarinya.”
Aku seketika menangis haru karena keinginanku untuk pergi darinya sudah ada di pelupuk mata. “Ini,” kataku sambil menyerahkan plastik hitam itu.
***
Pagi ini langit begitu cerah, matahari bersinar terang. Aktivitas di kawasan stasiun mulai ramai oleh para penumpang yang akan hilir-mudik ke tempat tujuan masing-masing. Aku dan kau memasuki kereta, lalu duduk berdampingan.
“Tenanglah! Semuanya akan baik-baik saja,” katamu sambil menepuk pundakku.
“Tapi ….”
“Sudah, tidak apa-apa. Ia tidak akan menemukanmu,” ujarmu lagi.
Terdengar pemberitahuan keberangkatan kereta. Tak lama setelah itu, aku merasa kereta mulai bergerak. Tiba-tiba ia muncul dan menggedor kaca jendela, “Keluar kau!” teriaknya. Tapi terlambat, kereta sudah mempercepat lajunya. “Berhenti! Berhenti!” teriaknya lagi. Dari jendela kereta, kuperhatikan ia mengamuk seperti singa gila.
Silvia Risma Elpariani, mahasiswa ULM Banjarmasin, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Menyukai 3 hal, yaitu: olahraga, makanan, dan tidur.