Puisi-puisi Husni Hamisi kaya dengan metafora yang dibangun dari berbagai pilihan kata (diksi). Bahkan dalam banyak puisinya, metafora demi metafora mengalir deras bagai banjir bandang. Namun, jika tidak hati-hati menggunakan strategi puitik dalam teknik penulisan puisi, maka luapan metafora yang berlebihan berpotensi mengurangi kejernihan puisi. Selain itu, sudah menjadi tugas sang penyair untuk menjinakkan kata-kata yang berkeliaran liar dalam belantara puisi-puisinya.

Wayan Jengki Sunarta – Penyair, menetap di Bali

Suatu kebetulankah jika puisi bertemu dengan penyairnya, atau penyair bertemu dengan puisinya? Ya, puisi adalah perkara penyair. Seberapa jauh dia mengenal bahasa, seberapa dalam dia mengamati lingkungan sosial, kebudayaan, politik, ekonomi, tekhnologi, agama dan lain-lain. Puisi tidak sekadar karya imajinasi. Puisi memiliki wilayah tersendiri dalam proses penciptaannya. Dia lahir dan berkembang lewat jalannya sendiri. Membawa nasibnya entah ke mana. Seperti puisi-puisi Husni Hamisi, lahir dengan sangat hati-hati; dalam setiap lariknya menunjukan sikap yang matang dalam memilih diksi. Mengisyaratkan kepekaan batinnya dalam menangkap peristiwa.

Di sisi lain, imajinasi liar Husni menjadi pintu masuk untuknya membolak-balikan realitas ke dunia fiksi puisi, begitu pun sebaliknya, ia sangat merdeka dengan gaya ucap dan bentuk estetik yang khas, tetapi menyimpan universalitas. Hal itulah yang menjadikan puisi-puisi Husni multitafsir; membacanya seolah memasuki lorong gelap dengan diri berkilau cahaya atau sebaliknya seperti memasuki jalan bercahaya dengan diri diliputi kegelapan. Ya, puisi dan penyair terkadang memang dipertemukan secara tiba-tiba.

Nana Sastrawan – Penulis

Api Kita dan Tuhan

Buku ini bisa didapatkan di tautan ini https://shopee.co.id/hyangpustaka

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *