
Seorang perempuan, menggigil dalam tenda di tengah pegunungan, seorang diri. Perbekalannya habis malam ini, dan dia tersesat. Selama seminggu dia berusaha pulang, tapi dia hanya berputar-putar tanpa benar-benar menjauh dari titik semula dia berniat pergi.
Hujan kemarin membasahi kayu bakarnya, karena itu dia tidak bisa menyalakan api unggun untuk hari ini. Dalam ketakutan, kelaparan, dan keputusasaan. Dia berdoa, “Ya Allah, aku akan menghubungi orangtuaku lagi bila Engkau memberiku jalan keluar dari masalah ini.”
Bunyi pelan kayu patah di depan tenda mengagetkan Rani, saat dia mencari sumber suara, ia dapati di luar ada kobaran cahaya. Dia keluar, berharap dia tidak berhalusinasi dan bisa mendapatkan kehangatan dari api yang melahap kayu sampai bergemeretak. Rani buka resleting tenda, dia betul-betul melihat api unggun menyala dengan sendirinya. Tidak hanya itu, ada ikan mujair ditancapkan tanah dan terjilat api dalam keadaan sudah matang. Juga ada tiga ubi jalar sudah terpanggang bersama arang yang membara.
Perempuan itu coba melihat kanan-kiri, mencari orang yang sudah membantunya. Tapi dia hanya menemukan daun-daun kering dan pohon-pohon liar. Tidak ada manusia. Tanpa pikir panjang Rani memakan semuanya. Kecuali satu ubi, lambungnya sudah merasa cukup terisi meski tidak kenyang.
Seorang lelaki berpakaian koko putih, rambutnya sepanjang leher. Datang ke arah Rani. Matanya agak sipit, hidungnya mancung dan runcing, kulitnya secerah rembulan yang putih kekuningan. Dia menepuk pundak perempuan itu dari belakang, dan bilang, “Boleh kumakan itu?” tanyanya. Rani rasakan dari jaketnya yang tebal bila orang ini memiliki tangan sangat dingin dan itu membuatnya kaget.
Saat Rani dapati orang yang mengajaknya bicara berwajah tampan, dia tidak jadi takut. Di pikirannya, hantu di gunung pasti berburuk muka semua. Rani memberikan ubi itu, meski dalam pertimbangannya, ubi itu akan dia pakai untuk sarapan besok. “Siapa namamu, apa kamu tersesat juga?”
Lelaki itu menahan tawa, dan terdengar seperti orang pilek mengeluarkan ingus. “Aku harap aku tersesat juga, tapi sayangnya, aku tinggal di dekat sini.”
“Benarkah?” Rani senang mendengar ini. Keputusasaannya sirna. “Boleh aku membeli makanan dari tempatmu? Perbekalanku habis.”
“Boleh. Aku akan membawakannya besok. Asal kamu tidak meninggalkan solat, dan berdoalah kepada orangtuamu.”
Rani agak heran dengan syaratnya, dia sendiri sudah meninggalkan ibadah itu sejak bisa hidup mandiri. Paksaan dan hukuman sewaktu bersama orangtua saat disuruh solat agak berkelebat di pikirannya, trauma itu masih membekas di jiwanya.
Lelaki itu menunjuk burung celepuk, sejenis burung hantu, “Lihat? Di daerah ini sudah cukup jarang ada celepuk.”
Rani melihatnya, burung itu makin indah karena punya kelainan genetik, dia albino. Sayapnya putih dan matanya merah menyala terkena pantulan purnama. Saat Rani mengembalikan pandangan ke lelaki itu, dia sudah hilang. Dua burung hantu pun pergi, terbang ke arah bintang-bintang.
Keesokan harinya, lelaki itu tidak kunjung datang sampai sore tiba. Rani mulai berpikir lelaki itu bohong, tapi kemudian dia ingat, dia harus solat. Maka dia salat magirb, dan diwaktu isya dia juga salat. Tapi makanan tidak langsung datang seperti kemarin. Kemudian terlintas di pikiran Rani, apa yang orangtuanya makan hari ini, dan dia baru mendoakan orangtuanya, semoga mereka baik-baik saja, katanya dalam hati.
Dia masuki tenda dengan perut kosong, dan setelah mendengar bunyi celepuk bernyanyi, dia menduga makhluk misterius berwujud lelaki itu kembali dan membawakan makanan yang banyak. Tapi hari ini dia hanya membawa dua helai roti tawar. “Ini,” kata lelaki itu.
“Kenapa hanya ini?” protes Rani.
“Karena kamu hanya solat dua kali hari ini.”
Saat Rani menerimanya, lelaki itu bertanya, “Benar kamu akan berhubungan dengan orangtuamu lagi?”
“Iya,” Rani mengiyakan.
Setelah jawaban itu keluar, Rani tiba-tiba sudah ada di jalan raya. Perlengkapan berkemahnya sudah ada di ransel besarnya, dia rogoh saku. Untunglah ponsel entah kenapa bisa aktif padahal awalnya sudah tidak bisa dipakai, dia memesan kendaraan daring dan pulang ke apartemennya.
Di perjalanan pulang dia hendak menelepon ibunya maupun ayahnya berkali-kali, tapi tidak terjawab. Dia sedih karena hal itu karena biasanya orangtuanyalah yang mencoba menghubunginya terus menerus, dan memutuskan besok untuk pulang ke kampung halaman, dan saat sudah berada di sana. Rani memutuskan membeli bunga, menginstal aplikasi Al-Quran dan membacakan surat Yasin di atas kuburan kedua orangtuanya dengan tangis lancar dan bacaan yang terpotong dan tersedu-sedu.
Jombang, 20 November 2022
17:03
Arham Wiratama. Lahir di Jombang, 1 Agustus 1997. Berkat bipolarnya dia menghasilkan dua buku puisi tunggal berjudul Deru Desir Semilir (Intelegensia Media, 2016) dan Segara Duka (J-Maestro, 2018). Belajar biola di Spirit of Musik Jombang.