Puisi-puisi karya Beni Satria. Seperti mengajak kita untuk senantiasa napak tilas pada hari-hari yang sudah terlewati, menelusuri setiap serat urat bumi, merekam jejak dan mengabadikan peristiwa dengan kata-kata. Sebagaimana mendaki gunung yang mengandung banyak filosofi hidup: tentang tujuan hidup yang direncanakan dengan matang, tentang seberapa kuat ikatan persahabatan, perjuangan menaklukan ego, fananya waktu, memaknai seberapa kecilnya kita dengan semesta dan memahami arti sejati dari pulang. Pulang yang menjadikan kita menyadari tentang apa, siapa pun kita nanti, keluarga adalah tempat kita kembali. Segala perasaan itu Beni Satria coba tuangkan dalam karya-karya puisinya yang meminta kita untuk merenungkannya bersama. (Redaksi)
Puisi-Puisi Beni Satria
Ekologi
Malam menggantungkan sunyi pada ujung sabit bulan yang cahayanya tak penuh tetapi ampuh untuk membunuh riuh. Sepertinya sisi manusiawi ini mencoba mengartikan titik triangulasi diri atau memang simbol itu ada hasil dari aklimitasi renungan kepada sunyi. Yang pasti aku telah berdiri pada ujung batu yang tidak ada satu pun lebih tinggi dari kepalaku untuk mengagumimu. Bulan butuh meminjam cahaya untuk menciptakan sebuah malam sedangkan diri ini tak perlu meminjam malam untuk melakukan pejaman entah dalam sebentuk episode mimpi atau renungan yang menciptakan impian, yang pasti aku terasa malu ketika kesombonganku menginjak untuk mencapai tinggi
Tangerang Selatan, 2018
Antara senja dan aku
:Rei
Duduklah sejenak di sampingku sayang. Geser kembali bangku itu yang telah kau halu arah menghadap jendela
Hanya untuk menikmati senja, entah apa yang terjadi pada cahaya sebelum memasuki ruang matamu hingga kau larut dalam pencampuran warna itu, jingga, merah, biru, hijau, dan orange.
Aku tak perduli, yang kutahu zat dopamine telah membuat perasaan ini menjadi putih agar kau dapat melihat aku,
Aku di sini, geser kembali bangku itu sayang.
Bicaralah
Buatlah sedimikian adanya sebagai pelengkap meja di mana kita bisa dapat berbicara tentang duniamu yang tak kumengerti sedikit pun bersama corak pikirmu
Tetapi aku ingin menjadi mengerti, dengan menjadi pendengarmu yang baik
Geser kembali bangku itu sayang
Tataplah mata ini
Lihatlah,
sebagian rindu, sebagian resah, sebagian kagum, sebagian sayang yang membingkai
Karena sebagian lagi yang membuat utuh ada bersamamu
Kau tetap tak menggeser bangku itu
Engkau tetap menatap langit senja dari jendela yang kubuat untukmu
: keindahan itu hanya hanya sesaat karena bayang masa lalumu ada di sana itu alasanmu menatap senja
Bayanganku berlalu meninggalkanmu menjadi masa lalu
Aku menatapmu dari luar jendela
Akhirnya kau menatapku berjalan menjauh darimu menuju senja
Itu yang kuinginkan sejak lama
Kau melihatku walau aku menjadi masa lalu
Antara senja dan aku
Tangerang selatan 2018
[iklan]
Kitab delapan penjuru mata angin bagian satu
Anaphalis bersembunyi di balik batang-batang daunnya yang memanjang kearah rembulan sambil mengintip tentang kesendiriannya untuk malam diantara lipatan jelaga rasi-rasi bintang, gaun beludrunya itu terlihat elok setelah meminjam pecahan teja yang ternyata pada purnama hari kesepuluh yang terang itu hasil meminjam dari matahari— bulan meminjam matahari untuk terang.
Ternyata surya dan kencana pun pembuat lembahan untuk tanaman abadi itu diantara ilalang dan bunga-bunga cantigi yang merah ranum.
Edelweiss aku kenal pahat-pahatan namamu dari lidah para pendaki yang dimabuk mimpi seperti halnya aku yang mengemas impian dalam ransel bersama matras, nesting, kompas bidik arah, karvak pelipat jarak, kusadari saat ini ternyata aku mempunyai alat untuk menuju ke arah yang bernama impian untuk kurangkum bersama peta di dalam tenda usang yang terkikis waktu.. Ah api unggun pun melumat ranting menjadi bara sekarang aku tahu alasan menyemat hati untuk mencintaimu wahai alam yang melahirkan segelumit kode-kode etik pecinta alam.
Tangerang selatan 2018