
Lora Muhson
Irfan Kurniawan
Nada bicaranya tinggi. Siapa pun yang mendengar akan berasumsi ia tengah berdebat atau sedang marah-marah. Meskipun tengah bermusyawarah atau ngobrol biasa. Laki-laki berkulit sawo terlewat matang itu bernama Muhson. Santri asal Bangkalan. Tak banyak yang tahu ia anak seorang Kiayi di Madura dan dipanggil Lora.
Beberapa teman mengatakan pada saya, gaya bicaranya yang demikian karena kekhelafan seorang Lora. Ya, saya banyak mendengar cerita tentang kelakuan Lora yang ganjil. Tak biasa. Bahkan aneh. Misalnya, tentang seorang Lora yang mengisi tangki bensin mobil dengan air kencing. Ajaibnya, mesin mobil itu bisa menyala. Pernah pula saya mendengar, seorang Lora asal Sumenep, kabupaten paling ujung pulau Madura, ketika berusia enam tahun mengendarai sepeda motor ke Surabaya hanya untuk membeli kepeng, semacam keripik singkong. Dan masih banyak lagi cerita-cerita tentang kelakuan Lora macam itu. Perlahan saya pun mengamini bahwa kekhelafan lora Muhson, salah satunya terletak ketika bicara yang selalu bernada tinggi. Selain itu, ketika bicara matanya selalu melotot. Termasuk ketika bicara dengan ustdaz dan kiayi.
Pertama mengenalnya, saya kira Muhson akan sulit untuk diajak bersahabat. Ternyata, salah. Justru ia menyenangkan. Bahkan, ia tidak pernah marah. Teman-teman Averose, angkatan kedua puluh delapan, di Pesantren Al-Amien Prenduan ini sering menjadikan gaya bicara Lora Muhson sebagai ledekan dan lelucon. Bahkan sering digunakan untuk menakut-nakuti santri-santri, adik kelas ketika kami menjabat organisasi.
“Awas dimakan mu’allim Muhson kalau kamu melanggar aturan”, ucap Ajiz Heriyanto mengingatkan para santri agar tidak melanggar peraturan.
“Makan Son! Makan!” Seloroh Waris ketika mendapati Muhson tengah bicara dengan santri.
Keyakinan saya bahwa gaya bicara Muhson adalah kekhelafan seorang Lora, sering terbukti. Di antaranya ketika kami baru menjabat sebagai pengurus organisasi. Dalam rapat kerja (raker), Muhson sering protes tentang waktu kegiatan dalam perencanaan keorganisasian.
“Jangan tanggal segitu, di tanggal segitu, pak Kiayi akan pergi ke Surabaya. Di hari Ahad saja. Hari Jumat itu, pondok ini akan kedatangan menteri.” Tegas Muhson Selaku Sekretaris umum pada kami sebagai pengurus inti.
Gaffar sebagai Ketua Umum sering geleng-geleng kepala. Termasuk Taufik, Ketua Bidang Organisasi dan Tata Warkat. Ali, Ketua Bidang Peralatan dan Perlengkapan. Ahmadi, Ketua Bidang Manajemen Strategis. Dan saya, Ketua Bidang Personalia dan Kehumasan. Tak ketinggalan Hermanto sebagai Bendahara Umum. Nama terakhir inilah yang sering menjadi lawan debat Muhson. Belakangan, apa yang dikatakan Muhson ketika rapat kerja benar terjadi.
Mulai muncul desas-desus bahwa ia punya ilmu ladunni. Ilmu yang langsung Allah berikan kepada hamba-Nya yang terpilih.
“Ladunni pala gundulmu!” Ucap Muhson ketika saya mencari tahu “amalan” apa yang ia tirakatkan. Sialnya, ternyata omongan Lora Muhson kepada saya terbukti. Dua minggu kemudian, saya benar-benar digundul, karena ketahuan merokok ketika ikut Alfan dan Waris, Bagian Lingkungan Hidup mengurus mesin air yang rusak di Pekamban, sebuah sungai yang memiliki mata air dan dijadikan sumber air untuk kamar mandi para santri. Beruntungnya, kejadian itu tidak membuat jabatan saya dicopot.
Berkali-kali saya dan teman-teman minta diajari bagaimana mendapat ilmu ladunni. Sayangnya, nihil. “Ladunni apa sih? Disemprot Pak Kiayi, baru tahu rasa, kamu!” ucapnya.
[iklan]
Lagi-lagi, itu terbukti. Beberapa hari kemudian, pengurus inti dipanggil Kiayi. Kami benar-benar dimarahi karena speaker masjid rusak. Sebenarnya, itu tanggung jawab Bagian Peribadatan. Tapi Pak Kiayi melihat bagian apa pun adalah tanggung jawab kami sebagai pengurus inti. Walhasil, kami pun mendapat “semprotan” pak Kiayi. Tapi, bagaimanapun marahnya kiayi selalu berisi nasihat dan ilmu. Bagaimana berorganisasi, bagaimana kepemimpinan, dan hal-hal lain terkait manajemen menjadi santapan kami sore itu di rumah pak Kiayi. Sejak saat itu, kami tidak mau mendesak Muhson untuk bicara dan menjelaskan apa pun.
Meski begitu, ada satu hal yang Muhson takuti, dan tidak pernah ia lakukan selama menjabat sebagai pengurus organisasi. Yaitu pergi berkoordinasi ke pengurus organisasi di pesantren putri. Padahal ia Sekretaris Umum. Setiap ada hal yang berkaitan dengan pengurus organisasi di pesantren putri, Muhson selalu meminta Hermanto si Bendahara Umum yang pergi. Ia akan menunggu laporan saja. Tentu saja Hermanto menerimanya dengan senang hati. Bahkan, hampir setiap hari ia bolak-balik ke pesantren putri. Ditambah, ia memang ingin mendekati santri putri seangkatan kami yang terkenal kecantikan dan keayuannya.
“Kalau tidak dapat semua, minimal salah satunya bisa saya dapatkan,” ujar Hermanto penuh percaya diri pada saya ketika menanyakan untuk apa menggunakan jas dan minyak wangi ketika hendak pergi ke pondok putri.
Muhson seperti takut jika berhubungan dengan perempuan. Pernah saya melihatnya pucat dan berkeringat ketika pengurus organisasi pondok putri datang ke pondok putra. Muhson tak bisa mengelak. Tujuan mereka memang ingin menemui Sekretaris Umum untuk membicarakan kegiatan sastra tingkat nasional. Saya yang menemaninya sungguh bingung dibuatnya. Muhson terus menundukkan kepala. Bahkan ia tak bicara sedikit pun. Pertemuan itu berlalu.
“Urusan sastra, biar kamu aja bagiannya,” ucapnya.
“Son, kamu kenapa sih? Kayaknya anti banget dengan perempuan? Mereka itu buat mata kita seger, loh?”
“Seger? Iya kalau saling mengerti. Kalau enggak, sakit hati dan puyeng, baru tau rasa kamu.”
“Kamu takut perempuan, ya Son?”
“Mereka makmum saya.”
Saya hanya geleng-geleng kepala. Belum mengerti maksud pembicaraannya.
***
Enam tahun setelah lulus. Tangan dan kaki saya berdarah. Beberapa jemari bahkan keseleo, setelah melampiaskan sakit hati ke lemari dan tembok di kamar. Perempuan yang saya cintai selingkuh.
Dua tahun setelahnya, saya dan Kia, perempuan yang begitu mengerti keadaan saya, resmi sebagai suami istri.
Di acara reuni angkatan, sepuluh tahun setelah lulus, teman-teman melihat Muhson datang ditemani Iqoh, Choy, Yasmin, dan Laila. Mereka adalah santri putri yang menjadi incaran teman-teman seangkatan karena kecantikan mereka yang tak biasa. Tak sedikit yang berusaha mendekati mereka ketika nyantren dulu. Termasuk Hermanto.
Mulut teman-teman menganga. Semua melotot. Diam. Bahkan jantung saya hampir copot. Ketika Muhson mengatakan mereka berempat adalah istri-istrinya.
Depok, 2019
Irfan Kurniawan. Lulusan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekarang bertempat tinggal di Jl. Mukhtar Gang Masjid Ar-Rahmah RT 01/08. No. 19 Sawangan Baru, Depok. Jawa Barat. Bukunya: Berjumpa Abu Lahab Di Malam Seribu Bulan (2015).
Ia bisa ditemui pada: kurniawan-m-irfan.blogspot.com