Warisan Aki

Mansur Hidayat

Sekawanan burung emprit beranjak dari dahan kelapa, tempat mereka berlindung dari raungan lonceng kaleng yang bergelantung rapi diatas padi ranum. Jarak antar kaleng sekira satu hingga satu setengah meter. Persis protokol Physical Distancing: Ada namun tak berarti banyak bagi mahluk-mahluk nakal itu. Mereka terlampau gigih dan militan untuk tak kembali mematuki padi yang mulai menguning.

Pak tani hampir saja terlelap dimanja desahan angin sawah. Selepas shalat dzuhur di gubuk itu ia melawan perihnya lambung dengan menyantap pandan wangi hasil panen musim lalu. Bukan beras raskin yang kehadiranya diharap-harap middle class bermental miskin. Pak tani mendapat suntikan tenaga baru untuk melanjutkan operasinya meneror para emprit. “Syah! syah! syah!” bentaknya tetap parau.

Seharian penuh pak tani menunggui sawah garapanya. Kini ia beranjak dari gubuk sawah menuju gubuknya yang lain di perkampungan. Ia titipkan harapannya kepada “bebegig” (orang-orangan sawah). Gerombolan emprit seperti telah paham siapa sosok ditengah sawah itu. Ia tampak gagah namun mengonggok belaka. Ini saat yang tepat sekaligus krusial. Waktu mereka tak banyak. Tembolok mereka harus terisi penuh sebelum tersesat berjamaah dilumat hari yang beranjak pekat.

Sesungguhnya saat itu langit belumlah siap disinggahi senja. Suara Mang Tardi pun baru saja beranjak dari toa mesjid Al-Qomar, masjid kampung ini. Mestinya waktu ashar belum terlalu jauh meninggalkan bumi Sumedang bagian selatan. Oia, Nak. Kakekmu yang menamai masjid itu. “Biar terang seperti rembulan di tengah gelap malam” katanya suatu ketika sambil menyesap keretek kesukanya. Terdengar klise dan tak puitis sama sekali. Tapi begitulah, nak. Kata-kata orang tua kita dulu sederhana, namun sarat makna.

Mang Tardi adalah marbot mesjid Al Qomar. Ia anak sulung Mang Tarsan, tetangga samping rumah kami. Nyaris setengah usia Republik ini merdeka kami sudah berjiran. Rasanya sudah seperti keluarga. Sehari-hari Mang Tarsan mengasong Tahu Sumedang dari bus ke bus. Seringnya AKDP. Tapi kadang-kadang nekat naik bus AKAP. Biasanya kalau sedang sepi pembeli.

Mang Tarsan dan Mang Tardi anak sulungnya itu menekuni profesi masing-masing sejak aku masih SD. Kini aku sudah merantau jauh dan kau sendiri hampir masuk SD. Mungkin saja mereka telah “berkarir” lebih lama dari itu. Ingatanku tak mampu menerawang lebih jauh lagi. Aku hanya penasaran: Mengapa mereka begitu setia menekuni pekerjaan yang jelas-jelas tak membuat sejahtera, apalagi kaya raya!

Aku yang mereka anggap telah “berhasil” di kota selalu merasa ada yang kurang. Rasanya masih banyak sekali hal yang belum kucapai. Bahkan aku merasa usiaku takan cukup untuk menggapai semua impian. Padahal aku sudah mengurangi waktu tidur. Mereka yang jumud atau aku yang terlampau ambisius? Entahlah. Sampai kini aku masih berusaha menemukan jawabanya.

Nak, lebaran kali ini kita tak mudik. Juga tak piknik kemanapun. Pak Bupati Sumedang melalui akun IG-nya sudah mewanti-wanti: “Semua kendaraan yang masuk perbatasan akan dihentikan petugas. Pilihanya hanya dua: 1. Dikarantina di gedung olah raga selama dua minggu atau 2. Diisolasi di asrama haji”. Pun begitu protokol kesehatan di kampung ibumu, Bandung. Diluar semua kendala itu, uangku memang sedang tak banyak. Perusahaan tempatku bekerja sedang lesu. Ratusan karyawannya terpaksa dirumahkan. Sudah lebih dari 4 Bulan mereka tak bekerja. Bersyukurnya aku tak termasuk.

Jahat sekali ya, aku. Bersyukur justru karena orang lain tersisih dan susah. Tapi begitulah hidup, nak. Terkadang keberhasilan kita adalah kegagalan bagi orang lain. Dan, kebahagian kita adalah penderitaan bagi sebagian yang lain. Semoga aku tak seperti adagium konyol: susah melihat orang lain senang, senang melihat orang lain susah.

Aku tahu, ada banyak teori yang mengajarkan kita untuk sama-sama menang. Akupun tak nyaman dengan kondisi demikian. Sungguh aku percaya, bahwa hidup yang indah sejatinya tak sekedar bicara menang-kalah. Tapi nyatanya tak semua situasi bisa disiasati seperti itu, nak.

Semua karena Korona. Mahluk kecil tak kasat mata itu melumpuhkan seluruh sendi kehidupan umat manusia, seantero dunia.

Kupikir kita hanya akan musnah oleh peristiwa-peristiwa besar dan tampak seram. Seumur hidupku, yang kutahu amat menakutkan hanya tsunami, gunung meletus, longsor, gempa bumi, kebakaran dan, godaan setan. Korona bahkan membunuh dalam keramaian. Tanpa tanda, tanpa aba-aba. Jadi berhati-hatilah pada apa yang kau anggap sepele.

Seperti seseorang yang ada dalam foto ini. Ya, penghuni makam yang kita sowani tahun lalu.

Setunai shalat ashar yang ditandai adzan Mang Tardi kala itu, aku mengajakmu berjalan-jalan ke pematang sawah. Menunjukanmu bagaimana kawanan emprit bersuka ria mematuki padi pak tani, mengagumi senja yang prematur seperti kelahiranmu, lalu sampailah kita di sini. Sebuah pemakaman diatas gundukan tanah tinggi. Persis sebuah pulau yang dikelilingi lautan padi menguning.

Aku menyebutnya Aki. Sejak kecil hingga dewasa aku memilih tidur sekamar denganya. Kau tahu kenapa? Ya, betul. Rumah orang tuaku memang kecil dan aku tak punya kamar. Tapi bukan itu sebab utamanya. Mari letakan kepalamu diatas bantal dengan nyaman dahulu. Ini akan sangat panjang dan menguras perasaan. Terutama rinduku kepada Aki.

Aki adalah mantan prajurit PETA (Pembela Tanah Air) junior. Saat kesatuan militer darurat buatan Jepang itu berdiri usia Aki baru menginjak belasan. Ia yang sudah mulai bekerja untuk sebuah toko milik orang Tionghoa di pusat kota memilih “resign” lalu bergabung dengan PETA. Setelah Indonesia merdeka ia dialihstatuskan menjadi anggota TKR seiring pembubaran PETA.

Jabatan terakhir “karir” kemiliteran Aki adalah Prajurit Hansip Desa, hingga akhir hayatnya.

Mm….. kamu kecewa, ya? Mungkin kamu pikir aku akan menceritakan tokoh-tokoh yang gagah nan heroik. Maaf ya, nak. Tapi kuharap kau mau percaya padaku. Seperti yang telah kuceritakan tadi. Bahwa kekuatan bukan hanya milik mereka yang tampak besar, gagah atau seram. Memang, tidak ada yang menyilaukan dari pencapaian hidup Aki. Justru sebab itulah aku ingin menceritakan ini kepadamu, nak.

Jika kau ketikan kata “pahlawan” pada sebuah laman pencarian di internet, Ada puluhan foto manusia berpakaian gagah layaknya ksatria. Pria maupun wanita.  Di setiap foto tertulis nama mereka. Tentu diikuti kisah-kisah heroik tentang keberhasiln dan pencapaian mereka. Itu baik belaka.

Leluhur

Makam Aki (lahir 1930 – Wafat 2018

Tapi Aki hanya prajurit biasa berpangkat rendahan. Benda sejarah kebanggaan satu-satunya hanyalah Piagam Penghargaan dari Kementrian Pertahanan atas jasa-jasanya sebagai rakyat sipil yang “total” mengabdi kepada Negara. Dari prajurit PETA-TKR hingga hansip Desa setelah tak lagi menjadi serdadu sukarela. Konon, atas piagam itu Aki berhak untuk sedikit tunjangan setiap bulan. Tapi Aki tidak pernah menerimanya, sampai kini. Entah lenyap di tangan siapa. Aku sempat ingin mengurusnya saat sudah mulai besar dan paham duduk perkaranya. Tapi Aki menahan. “Biarlah”, katanya.

Aki punya ribuan cerita yang hampir setiap malam ia dongengkan kepadaku. Seperti yang kini kulakukan padamu jika ku sempat pulang sebelum kau tidur. Aki juga sering mengajaku berjalan-jalan. Mencari belut dan tutut (keong sawah) Dan, yang paling sering adalah mengajaku mandi di sungai Cipeles setiap subuh tatkala musim kemarau datang.

Kami bangun ketika adzan subuh Mang Tardi baru saja dimulai. Kami bergegas mengambil alat mandi lalu berpawai menyusuri jalanan kampung dan pematang sawah menuju sungai Cipeles. Sepanjang perjalanan Aki bernyanyi-nyanyi kecil ala tentara. Riang sekali. Kadang lagu-lagu kebangsaan kita, tak jarang pula lagu-lagu berbahasa Jepang. Aku tak yakin ia paham artinya. Tapi ia tampak “hepi” saja mendendangkanya.

Tepat di belakangya, aku terus mengikuti langkahnya yang pendek namun cepat. Sambil memanggut-manggut, Aku mengiringi nyanyi-nyanyi kecilnya dengan tepukan telapak tangan di kedua paha. Persis iring-iringan marching band siswa STM dalam sebuah peringatan HUT RI tingkat kecamatan.

Ada satu hal “ganjil” yang ingin ku ceritakan kepadamu tentang Aki disamping kejenakaanya sebagai orang tua. Entah saat pulang mandi dari sungai atau sekedar melintas, setiap dia berpapasan dengan orang lain aku melihat orang-orang menyapanya penuh hangat. Tak jarang pula mereka mencium tangan Aki. Padahal mereka bukan bagian dari keluarga kita.

Mereka seperti bertemu seorang tokoh bangsa tingkat kampung tapi tak segan untuk menyapa. Persis Bung Karno yang begitu egaliter hingga membiarkan sebagian hadirin yang berkerumun berusaha memegang dadanya sebagai tanda bangga mereka. Masih terbayang raut wajah mereka tatkala menyapa Aki. Dari sorot mata orang-orang itu, tampak sekali bagi mereka Aki adalah sosok yang menyenangkan. Kedatanganya seperti selalu menawarkan keceriaan, kejenakaan. Dan, kesederhanaan sikap.

Sesekali ada orang “Cina” mengunjungi rumah Aki sambil membawa buah tangan. Kadang agak tua, kadang anak-anak muda.

Kalau kuperhatikan dari pembicaraan mereka sepintas, tampaknya orang-orang lanjut usia itu adalah anak-anak yang dulu Aki asuh. “Bapak mah hebat. Usia segini masih sehat ajah. Kita yang jauh masih muda udah repot diatur anak. Ini gaboleh-itu gaboleh. Tiap bulan kudu kontrol wae ka rumah sakit” Ujar seorang wanita cukup tua dengan logat Tionghoa-Sunda yang khas. Mereka datang bersama anak-anaknya. Kadang aku heran, apa pasal mereka bisa merasa punya ikatan seerat itu dengan Aki. Padahal ia hanya “mantan” pembantu mereka yang telah lama berhenti bekerja.

Di sela-sela menjadi Hansip Kelurahan, di usianya yang sudah terlampau senja (70 tahun lebih), Aki masih menyibukan diri dengan menjadi pengayuh becak di pasar. Masa itu ia bahkan telah mempunyai cicit.

Sesekali Aki juga mengajakku pergi ke kebun yang cukup luas. Konon kebun itu milik keluarga Tionghoa yang sering berkunjung ke rumah kami itu. Tanah itu mereka pinjamkan kepada Aki tanpa syarat, apalagi biaya sewa. Sesekali Aki mengajaku mengunjungi toko mereka sambil membawa berbagai macam hasil kebun itu dengan becak kesayanganya. Kadang kacang tanah, pisang, singkong, ubi atau jagung. Indah dan sederhana sekali cara orang-orang berbeda latar belakang Etnis, Status Sosial bahkan Agama itu saling mengikat persaudaraan. Bahkan hingga usia mereka sama-sama senja.

Orang-orang Tionghoa itu, apalagi Aki, apa paham teori-teori mutakhir pertoleransian atau melek literasi, misalnya? Rasanya tak mungkin. Aki hanya sekolah hingga kelas 2 Sekolah Rakyat (SR). Membaca saja ia terbata-bata. Tapi mereka terlihat begitu mahir melakukanya itu semua. Ah, mungkin ada benarnya, bahwa pada fitrahnya selain sifat rakus kita juga punya sifat welas asih. Sampai kini aku masih belajar apa gerangan yang membuat kita bisa terdominasi oleh salah satunya.

   Menginjak usia 80 tahun Aki berhenti mengayuh becak. Lututnya sudah tak lagi sanggup menjejak pedal. Sama sekali bukan tersebab sakit. Aku bahkan belum pernah menyaksikanya berobat ke puskesmas sekalipun. Sepanjang aku menemani sisa hidupnya, sakit parah yang ia derita hanya meriang dan sakit gigi. Tak lebih dari itu. Karir membecaknya murni diberhentikan oleh waktu. Memang sudah saatnya ia pensiun, untuk kedua kalinya setelah pensiun menjadi tentara sukarela.

Akan tetapi, Aki tak punya mental pengeluh dan menyerah, apalagi berpangku tangan. Di usianya yang sudah tak lagi terbilang senja ditambah posturnya yang mungil (mungkin 150 cm pun tak sampai) tak membuatnya menyusahkan anak-cucunya. Ia masih ingin terus mencari nafkah untuk Enin, istri tercintanya, nenek kami. Ia berganti profesi dari pengayuh becak menjadi pemulung, menyusuri jalanan kampung. Ya, Mbah buyutmu seorang pemulung tingkat kampung, nak.

Sejak ia memutuskan untuk memulung, aku sudah tak lagi bisa menemaninya karena sudah merantau. Kecuali saat pulang liburan, sesekali aku menemaninya memulung. Dan, aku semakin heran ketika sepanjang perjalanan memulung ada saja orang yang menawari rongsokan. Gelas plastik minuman yang sudah bersih, kardus bekas dari tukang bangunan di proyek sekolah, perabotan dapur yang rusak dan lain-lain. Konon mereka sudah menyiapkan itu karena tau Aki sering lewat mencari rongsokan. Bahkan sepertinya mereka sengaja menunggu.

Suatu hari saat aku mudik, aku sudah dianggap sukses oleh orang-orang kampung karena pulang dengan membawa mobil baru. Aku memang sudah janji padanya, ingin mengajaknya jalan-jalan jika suatu saat kesampaian memiliki kendaraan meski dengan modal program kredit karyawan . Tapi ia selalu menolak. Sibuk memulung alasanya. Padahal aku juga ingin bercerita banyak kepada Aki. Tentang kehidupan baruku di kota, pekerjaan dan, tentu saja kamu yang semakin lucu.

Demi ingin membuatnya senang, aku menawarinya bantuan dengan memikul rongsokan yang telah ia kumpulkan di rumah ke pengepul. Ia menolak. Ia tahu aku takan kuat, tapi kali ini aku yang memaksa. Kami berjalan sekitar satu kilo, dengan susah payah dan beberapa kali aku meminta istirahat. Aku memikul sambil menahan haru di pundak. Mengapa beban seberat ini masih saja harus ia pikul? Dari berat rongsokan kurang lebih 40 kg itu Aki mendapat bayaran sekitar 200 ribu. Itu hasilnya memulung selama satu minggu lebih. Dan, kau tahu, ia masih memberiku upah panggul!

Nak, selama bertahun-tahun aku tinggal denganya hingga dewasa, Aki tak pernah memberiku nasihat. Sama sekali tak pernah. Hampir semua obrolanku denganya hanyalah dongeng, cerita dan canda-tawa saja. Tapi perilaku yang ia tunjukan kepadaku melebihi jutaan kata-kata dan nasihat. Ia begitu mandiri dan (meminjam istilah orang Jawa) “Narimo ing pangdum”. Sikapnya sederhana. Ia respek pada orang lain, bahkan kepada yang jauh lebih muda.

Darinya aku belajar: bahwa kemandirian, kesederhanaan sikap, rasa hormat dan cinta pada sesamalah yang dapat menentramkan hidup kita. Itulah warisan terbaik Aki untuku. Semoga aku juga bisa mewariskanya kepadamu.

 

Mansur Hidayat. Lahir dan menghabisakan masa kecil di Indramayu. Membesar dan dewasa di Sumedang. Hobi mendengar musik dan membaca status “FB” atau “WA” orang lain. Kadang-kadang membaca dan menulis. Waktu masih sekolah suka main ke perpustakaan Pemda untuk meminjam buku dan sayang untuk mengembalikan. Sejak remaja terobsesi punya pacar seperti Mikha Tambayong atau Chelsea Olivia. Tapi lebih sering ditolak gadis impian daripada diterima. Saat ini tinggal di Bogor dan bekerja di Astra Group. Bisa disapa di  akun media sosial https://www.facebook.com/acuy21. Tidak punya Twitter apalagi Instagram. Motto: “Sesibuk apapun, sempatkan diri untuk rebahan”

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *