Oleh Siti Nurgian Utina

Gelanggang olahraga tampak lengang, tidak ramai seperti akhir pekan. Senin pagi memanglah waktu yang sibuk untuk orang-orang kantoran dan juga pelajar, mungkin itu menjadi jawaban olahraga adalah pilihan untuk merehatkan diri setelah dibabat habis-habisan dalam lima hari kerja. Dengan tuntutan hidup seperti itu, Senin pagi tampak sunyi untuk sekadar meregangkan otot. Syukurlah aku tidak ambil pusing, kesunyian merajalela sudah biasa aku kunyah pahit-pahit. Bagi beberapa orang melihatku mungkin sebagai pemuda kurang kerjaan di Senin hari yang sibuk, malah membuka aktivitas lari keliling lapangan olahraga. Sesungguhnya lagi-lagi aku tidak peduli orang-orang melempar cemoohan.

Aku mahasiswa semester akhir di bangku jurusan teknik, sebagai laki-laki yang sangat mencintai dunia teknik dan olahraga, mestinya aku dilimpahi ladang pujian sebagai laki-laki maskulin. Dengan tinggi badan ideal dan kulit putih yang aku punya, pasti perempuan mana yang tidak tertarik atensinya padaku. Sayang sekali, perempuan-perempuan itu justru mencibirku dengan kalimat tajam hanya karena porsi badan yang tidak buruk rupa ini, bertemu dengan pita suaraku yang dinilai tidak jantan sebagai lelaki pada umumnya.

Entah standar maskulinitas di Indonesia yang memang harus sempurna luar dalam, aku tidak paham cara orang-orang melihat aku.

“Rio, please be gentle dikit lah. Tampilanmu udah ganteng banget loh kayak duta-duta nasional, pintar juga loh kamu, masa suaramu cempreng kayak cewek gitu.” Aku ingat persis pernah ada dosen yang menghujatku seperti itu, teganya dikeluarkan dari calon nominasi duta kampus hanya karena suaraku tidak lolos standar “suara cowok” yang sesungguhnya.

Begitulah yang terjadi, sudah lewat dan tertinggal di belakang, Aku sudah telanjur biasa dan berdamai dengan tajamnya perkataan orang. Tidak ada lagi pesta anak kuliah dan pernak-pernik status mahasiswa aktif. Katakanlah aku gila karena berhasil menyulap kekurangan menjadi rezeki, orang-orang yang memandang rendah mungkin akan lebih terbahak-bahak lagi melihat kondisiku sekarang, pita suara feminin ini dianugerahi Tuhan agar syukurku makin deras mengalir, bukan merasa insecure dan mendekam dalam rumah.

Jika saja group band Hindia membuatkan lagu Rumah ke Rumah menjadi karya, maka aku menyebutkan rutinitasku menjadi pesta ke pesta sebagai karya juga. Suara nyaring melengking yang dianugerahi padaku memang tidak sepatutnya dikeluarkan dari tenggorakan lelaki, tetapi dengan tampang yang maksimal ini sangat bisa aku gunakan untuk dijadikan sebagai daya jual. Aku gemar menyanyi ala musisi kondangan. Berdandan sedikit seperti perempuan tidak begitu menjadi masalah bagiku, toh ini juga menghasilkan uang untuk memperkokoh finansialku yang tak seberapa, tentu saja sangat membantu.

Tidak ada yang kenal aku menjadi Satrio pada pagi hari dan menjelma Saviya di malam hari, tidak dimungkiri ketika bergaya menjadi mode perempuan, ternyata parasku naik dua kali lipat dari pada penampilanku di Kampus.

Kembali dari gelanggang olahraga tadi, aku langsung pulang ke indekos tanpa mampir sana-sini apalagi ke kampus.

“Pagi Saviya, mau kue?”

“Satrio, Bang. Ini masih pagi, belum malam, Saviya mode tidur,” jawabku menerangkan. Tidak acuh dengan tawaran kue, aku memilih mengklarifikasi pembagian panggilan nama itu. Aku tidak suka ada yang memanggil nama malamku ketika belum memasuki waktunya. Persis yang dilakukan Bang Tedy, tetangga kamar indekosku.

“Ada job ntar malam?”

“Ada bang, mau ikut? Lumayan makan malam gratis.”

“Jangan kau pake baju warna norak kayak kemarin, malu aku jalan denganmu.”

Aku melengos, kemudian tertawa. Bang Tedy sesungguhnya membenci kostum yang kupakai, mirip waria warna-warni katanya. Aku memang ada jam khusus berubah penampilan, tetapi perkara gender aku murni seratus persen masih laki-laki normal yang gemar olahraga.

“Aku perlu ganti wig warna apa ya, Bang?

“Gausah merah, norak. Kayak banci tau gak.” Aku langsung membalas perkataan itu dengan mata tajam.

“Banci berduit gini, aku masih suka cewek, enak aja!”

Bang Tedy satu-satunya kawan yang selalu membantuku di saat susah dan susah sekali. Cuman dia yang tahu rutinitas malamku menjadi Saviya. Masukan, saran dan kritik, sudah aku kunyah lahap sebagai menu wejangan darinya. Biasanya kami belanja di pasar malam untuk membeli pakaian bekas. Sesekali kuajak ketika lagi kerja menjadi musisi kondangan.

Malam nanti ada undangan nikahan dari kampung sebelah, aku tidak tahu siapa yang menikah, tugasku hanyalah menunaikan undangan, bernyanyi, dan menghibur. Aku berencana mengajak Bang Tedy, lumayan buat perut aman.

Teman-teman kampusku tidak ada yang tahu beginilah aku dibalik diam yang bergeming. Mereka hanya menghujat tanpa peduli apa reaksiku. Moga-moga saja diriku yang lain, Saviya tidak akan berjumpa dengan mereka. Lelaki yang setiap paginya rutin olahraga, malamnya bernyanyi manja sebagai musisi kondangan.

***

Eyeshadow warna orange tidak terlalu mentereng di kelopak mataku, dan memadukannya dengan warna glitter biar area mataku sedikit menyala. Kosmetik yang kubeli hasil mencari review make up dari kanal Tiktok memang menjadi penyelamat anak muda. Cermin besar yang ada di depan berdiri gagah menatapku, aku menantang balik menatap, dan tersenyum.

Sudah puas sekali hasil riasan hari ini, kostum yang kupakai tidak berwarna norak seperti yang disebut Bang Tedy. Aku memilih wig berwarna dark brown sebagai pelengkap, dan juga untuk menunjang penampilan prima Saviya hari ini, aku menyumpal buah dadaku dengan breastpad agar terlihat persis payudara idaman perempuan.

“Perfect!

Puas memuji diri sendiri, aku keluar dari kamar indekos. Memanggil Bang Tedy untuk bergegas keluar juga, sudah pukul Sembilan malam. Kami harus berangkat.

Aku sama sekali tidak tahu informasi apapun dengan pesta resepsi nikahan kali ini, tamu yang diundang ternyata tidak terlalu banyak seperti pesta-pesta pernikahan yang kerap kuhadiri.

“Mbak Saviya, silakan.” Seorang pemuda dating menyambutku dengan genit, memberi arahan di mana tempatku akan bernyanyi.

Sama sekali aku tidak melihat mempelai pengantin, ternyata aku dan Bang Tedy benar-benar sudah terlambat, bahkan pengantinnya sudah ganti baju untuk kostum kedua menandakan ini sudah larut.

Aku mulai menyanyi, lagu pertama selesai.

Lagu kedua selesai. Pengantin tak kunjung keluar.

Berganti lagu ketiga, orang-orang semakin semangat. Aneh, kedua mempelai belum keluar.

Ketika bersiap pindah ke lagu yang keempat, aku mendapat kode arahan dari pihak acara bahwa pengantin akan berjalan menuju pelaminan. Aku harus bersiap.

Betapa celakanya aku ketika melihat siapa pengantin yang berjalan menuju pelaminan tepat di seberang aku berdiri, berdiri dengan perawakan Saviya, sosok Saviya yang tidak dikenal teman-teman kuliahku tiba saja dipertemukan dengan waktu yang celaka.

“Sialan.” Aku panik dan melirik Bang Tedy, pengantin wanita itu adalah teman kuliahku! Teman perempuan yang senang mencibirku dengan angkuh.

Aku bisa melihat jelas dari raut wajahnya yang sudah full riasan itu terpahat muka kaget setengah mati menatap ke arahku, sialan, pasti dia langsung mengenaliku sebagai Satrio.

Berusaha setenang mungkin aku menetralkan dan berpura-pura, tetapi pengantin wanita alias temanku itu tidak berhenti memasang muka kaget, pelan-pelan aku membalas tatapannya. Ada yang aneh, itu bukan tatapan mengintimidasi, lebih dominan ekspresi takut. Harusnya aku yang memasang raut muka seperti itu, kenapa dia seperti kaget, takut, persis kepergok sesuatu. Padahal di sini akulah yang celaka dipergok.

Aku melupakan sesuatu, tidak memandang penuh dengan penampilan dari atas sampai bawah ke arah pengantin itu, dia celaka! Dialah yang celaka, bukan Saviya, bukan Satrio. Alasan yang logis kenapa proses ganti baju pengantin membutuhkan waktu yang lama adalah karena mengurus si pengantin wanita yang ternyata sudah hamil besar.

Mempelai wanita alias temanku yang dulunya senang menghujatku di kampus, ternyata menyimpan rahasia yang sebenarnya lebih condong disebut aib. Manusia memang makhluk yang bercucuran dosa, saling menghakimi depan Tuhan, padahal kita cuman memilih varian dosa masing-masing.

Siti Nurgian Utina lahir dan besar di Gorontalo, 2002. Sehari-hari menjalani rutinitas sebagai mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia. Kerap membagikan konten menulis di laman Instagram.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *