Cara ungkap bahasa di dalam berpuisi kadang kala mempunyai caranya sendiri, demikian menurut satu diantara penikmat Puisi yang sedang atau telah menikmati puisi, kata demi kata, dan bait demi bait. Puisi dipandang sebagai entitas mandiri terlepas dari penyair, dan termasuk dari sejarahnya: kapan, dan bagaimana puisi dilahirkan, serta kenapa puisi tersebut lahir dari seorang penyair tertentu, bukan dari penyair yang lain. Sehingga puisi dipandang sebagai mahluk yang bisa berbicara tentang dirinya sendiri. Meski kadang untuk bisa mengerti apa maunya puisi, si penikmat masih memerlukan tambahan kesabaran dan kejelian, serasa seperti memahami ucapan, dan atau bahasa tubuh anak kecil yang belum genap berusia satu tahun.

Seorang pengasuh anak kecil, memang sebaiknya membuka diri untuk menambah pengetahuan tentang sifat, sikap, tindakan, dan karakter si kecil, agar tidak gagal mengerti, dan segera bisa membedakan suara tangisan yang bertanda antara: gembira, lapar, kekenyangan, haus, ngantuk atau pun sedang pipis, dan popoknya basah membuatnya tidak nyaman.

Demikian juga, analog dengan hal tersebut, seorang penikmat puisi pun sering kali kudu bersedia membuka seluruh peralatan ilmu pengetahuan tentang puisi, baik menyangkut ilmu utama maupun ilmu pendukung. Ilmu utama terkait puisi misalnya ilmu yang meliputi: estetika, ekspresi aksara, intertekstual, semiotika, mimesis, sintaksis, hermeneutika, pragmatika, logika bahasa, atau dari sisi cita rasa nusantara. Sedangkan ilmu pendukung tergantung dari sistematika dan substansi isi dari puisi, dari sisi mana, puisi bisa dinikmati. Ilmu pendukung ini bisa terkait dengan banyak ragam ilmu, misalnya ilmu tentang: Matematika, Ilmu pengatahuan alam, Teknologi, Sosial, Agama, Politik, Humaniora, Hukum, Tata Negara, Manajemen, Organisasi, Keuangan, Administrasi, Ekonomi, Bisnis, Budaya, Industri, Keamanan, dan Pertahanan. Tentu masih banyak lagi ilmu pendukung yang perlu diketahui meski hanya sekelumit saja, khususnya untuk memahami isi puisi dengan substansi yang relatif komplek.

Semua ilmu di atas akan bermanfaat sebagai alat bantu untuk memahami apa dan bagaimana maunya puisi. Bisa jadi karena masing masing penikmat puisi mempunyai kebebasan dalam pemanfaatan ilmu ilmu di atas, baik ilmu utama, atau ilmu pendukung dalam giat penikmatan puisi, maka akan sulit untuk membandingkan hasil kenikmatan antara satu penikmat dengan penikmat yang lain, walaupun mereka menikmati Puisi yang sama. Satu diantara Puisi yang bisa dinikmati, contohnya puisi penyair Fajrul Alam yang telah tayang di Jurnal Online mbludus.com di laman https://mbludus.com/puisi-puisi-fajrul-alam/. Adapun puisinya berjudul /KACA MATA TEMAN/, seperti di bawah ini.

KACA MATA TEMAN
1.
Sering kali, aku terpelanting di lubang-lubang kecil
Kadang masih terjerembap pula di lubang besar
Tak jarang juga, terperosok ke curamnya jurang
Terpeleset cadasnya bebatuan
 
2.
Terbentur-bentur runcingnya keinginan
Terseok-seok oleh lika-liku kenangan
Teramat teledor dalam memijak
Terlalu lengah dalam melangkah
 
3.
Sesekali atau berkali-kali
Ada benarnya meminjam kaca mata teman
yang bening, kinclong, dan jeli
untuk mengurutkan sederet kecerobohan.

Purwokerto, Januari 2023

Menurut keterangan di laman mbludus.com, bahwa Fajrul Alam, lahir di Kebumen. Saat ini tahun 2023 masih kuliah di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri. Puisi guritan Penyair Fajrul Alam yang berjudul /KACA MATA TEMAN/ di atas terdiri dari tiga bait.Penulis sebagai penikmat puisi sengaja memberikan nomor urut pada masing masing baitnya. Hal ini semata untuk memudahkan pemberian tanda urutan bait, dari yang pertama, kedua, sampai terakhir, yakni yang ke tiga.

Judul puisi /KACA MATA TEMAN/ bisa diasosiasikan oleh pembaca sebagai Kaca Mata milik Teman. Bisa juga merupakan jawaban dari pertanyaan:

“Ini Kaca mata milik Siapa?”

Dijawab:” Kaca mata teman”.

Kata milik sepertinya sengaja dihilangkan oleh Penyair agar menghasilkan efek baca singkat, padat, dan tanpa mengubah makna, baik makna logika bahasa teksnya, maupun mungkin adanya simbol atau perlambang dari ungkapan kata tersebut. Diksi /KACA MATA/ bisa dimaknai kaca mata secara umum, yaitu peralatan sebagai alat bantu mata untuk melihat agar obyek yang dilihat menjadi tampak lebih besar, lebih fokus, atau pun hanya untuk memperindah penampilan seseorang.

Ada juga kaca mata yang mempunyai fungsi khusus, misalnya kaca mata Las sebagai alat bantu keamanan dan keselamatan pada saat seorang teknisi Las melakukan giat pengelasan.

Ada lagi Kaca mata anti ultra violet untuk melindungi mata dari bahaya sinar matahari langsung.

Di sisi lain, diksi /KACA MACA TEMAN/ bisa juga sebagai simbol atau lambang yang bermakna semacam sudut pandang, alias pendapat dari orang lain, yakni temannya sendiri.

Penikmat puisi memang sebaiknya terbuka untuk menerima pikiran sendiri sebagai sahabat dalam berdebat dengan diri sendiri, atau pikiran orang lain selama giat menikmati pikiran pikiran penyair yang tertuang di dalam bait bait puisi. Penerimaan ini, satu diantaranya dalam hal memprediksi berbagai makna yang tersirat, yang tersurat, atau pun diksi yang sulit diendus sama sekali dari mulai makna asli, simbolisasi perlambangan, kode, logika, atau pun rasa bahasa.

Memang kadang menikmati puisi perlu berpikir sungsang, misalnya langsung dari judul menuju ke bait terakhir, kemudian naik lagi memindai ke bait bait sebelumnya, sambil berhati hati menikmati syahwat ketergesahan agar segera memahami isi substansi dari puisi. Hal ini semacam mengikuti penikmatan pikir dan rasa secara intertekstual [1], tetapi hanya sebatas pada teks teks yang ada di dalam puisi itu sendiri. Hal ini dilakukan untuk menghindari jebakan jebakan pikir yang kadang kala berujung pada peristiwa terpelantingnya pikiran sendiri. Khusus untuk puisi besutan Penyair Fajrul Alam di atas, berbagai macam pikiran dan perasaan ini, diprediksi akan bisa dipikir sekali gus dirasakan ketika pembaca puisi sudah sampai pada bait ke 3, seperti di bawah ini.

/3.
Sesekali atau berkali-kali
Ada benarnya meminjam kaca mata teman
yang bening, kinclong, dan jeli
untuk mengurutkan sederet kecerobohan./

Di bait ke 3, baris ke satu dan ke dua bisa diketahui bahwa ada diksi
/Sesekali atau berkali-kali, Ada benarnya meminjam kaca mata teman/.

Dari baris ini timbul pertanyaan:
“Kacamata yang bagaimana ?”

Kemudian jawabanya ada di baris ke tiga :
yang bening, kinclong, dan jeli”.

Lalu ada tanya lagi :
“Untuk apa meminjam kacamata?”

Segera dijawab di bait ke empat, yaitu:
untuk mengurutkan sederet kecerobohan”.

Dari sekian pertanyaan yang timbul setelah membaca sajak di bait 3, sepertinya ada yang bisa segera mendapatkan jawaban di masing masing baris. Tetapi ada juga pertanyaan penting, justru jawabannya tidak secara langsung tersedia di bait 3, tetapi masih perlu meninjau kembali ke bait bait sebelumnya. Siapa tahu di sana ada tanda tanda yang bisa dimanfaatkan untuk menjawab pertanyaan penting tersebut. Dikatakan penting karena terkait dengan subyek atau pelaku lirik di bait 3.

Adapun pertanyaannya adalah:

  1. “Kaca mata teman seperti apakah yang bisa mengurutkan sederet kecerobohan?”
  2. “Siapakah subyek yang meminjam kaca mata teman ?”
  3. “Kecerobohan seperti apa yang sudah dilakukan oleh si pelaku lirik, sehingga perlu diurutkan ?”

Agar bisa menjawab pertanyaan 1, 2, dan 3 di atas, sudah sewajarnya , seorang penikmat puisi, perlu kembali menengok dari awal, sejak di judul puisi, yaitu /KACA MATA TEMAN/. Untuk mendapatkan pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan diksi /KACA MATA TEMAN/ ini, sepertinya perlu melakukan penelusuran teks puisi di masing masing bait dari awal, semisal di bait 1 di bawah ini.

/1.
Sering kali, aku terpelanting di lubang-lubang kecil
Kadang masih terjerembap pula di lubang besar
Tak jarang juga, terperosok ke curamnya jurang
Terpeleset cadasnya bebatuan/

Baris pertama, ke dua, ke tiga, dan ke empat di bait 1, terkesan sebagai pernyataan dalam bentuk kalimat berita. Seolah masing masing baris berposisi saling lepas, dan tidak saling mempengaruhi. Artinya jika masing masing ditulis terpisah kemudian ditaruh di tempat lain, hampir bisa dipastikan bahwa semua baris bisa berdiri sendiri, dan akan menjadi kalimat mandiri. Sehingga bagi sebagian pembaca akan sedikit mengalami kesulitan untuk melakukan penerapan teorema silogisme Aristototeles yang berupa deduksi maupun induksi [2] pada pernyataan di bait 1. Namun demikian, karena sudah menjadi barisan di dalam satu bait, maka baris baris tersebut berpotensi mempunyai efek saling mempengaruhi diantara satu sama yang lain, meskipun tanpa diikuti diksi argumentasi, atau pun kalimat penyambung yang menjadi penyimpul dari kalimat di masing masing baris. Efeknya cenderung masih bersembunyi di pikiran dan perasaan pembaca puisi.

Sementara itu dari sisi logika bahasa, baris pertama, dan ke dua bisa menimbulkan tanya:

“Lubang sekecil apakah yang bisa menyebabkan tokoh aku lirik /terpelanting/?”

Sebab pengertian umum dari diksi terpelanting menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah jatuh terpental jauh. Sehingga diksi /terpelanting di lubang-lubang kecil/ bisa mengandung makna bahwa tokoh aku lirik terpelantingnya di lubang lubang kecil. Ternyata dari baris pertama, ke dua, ke tiga, dan ke empat, di bait satu semuanya mempunyai semangat yang mirip yakni terjadi beberapa peristiwa naas dan tidak menyenangkan bagi tokoh aku lirik, mulai dari /terpelanting/, /terjerembab/, /terperosok/, sampai /terpeleset/. Semua tercium aroma yang sama, yaitu adanya badan terjatuh, lokasinya saja yang berbeda beda. Penyebab peristiwanya, mengapa hal itu bisa terjadi, belum dapat diendus di bait pertama. Justru dari sini, timbul berbagai tanya, misalnya:

Apakah /lubang lubang kecil/ bisa menjadi penyebab terpelantingnya tokoh aku lirik?

Apakah /lubang besar/ bisa menjadi penyebab terjerembapnya si aku lirik?

Apakah /curamnya jurang/ menjadi penyebab terperosoknya tokoh aku lirik?

Apakah /cadasnya bebatuan/ bisa menjadi penyebab terpelesetnya si aku lirik?

Dan mengapa peristiwa itu bisa terjadi ?

Apalagi ada diksi yang saling menguatkan, yaitu: /Sering kali, /Kadang/, dan  /Tak jarang/.

Diksi /Sering kali/, /Kadang/, /Tak jarang/ memberi isyarat bahwa peristiwanya telah berulang kali, misalnya tokoh aku lirik /terpelanting di lubang-lubang kecil/. Dari sini kemudian timbul tanya:

“Terpelanting oleh suatu sebab tertentu, kemudian terpental jatuh tepat di lubang lubang kecil, ataukah justru masuk ke lubang lubang kecil lebih duhulu lalu jatuh terpelanting?”

Atau mungkin gerakan masuknya ke /lubang lubang kecil/ terlalu cepat sehingga tidak bisa mengendalikan keseimbangan diri, dan akhirnya jatuh terpental alias terpelanting di /lubang lubang kecil/ itu juga. Semua masih serba teka teki penuh tanya. Selanjutnya petanyaan yang hampir sama juga bisa disodorkan untuk menjawab rahasia makna puisi di bait 1, sesuai dengan ungkapan Pertanyaan adalah Jawaban [3].

Diksi /lubang lubang kecil/, /lubang besar/, /curamnya jurang/, dan /cadasnya bebatuan/, semuanya bisa menjadi informasi adanya dugaan penyebab terjadinya peristiwa pada tokoh si aku lirik dalam berbagai jenis posisi jatuhnya badan, atau masing masing keadaan itu hanya sebagai tempat jatuhnya tokoh aku lirik, sedangkan awal peristiwanya di tempat lain dengan sebab yang masih perlu diungkapkan.

Atau semua diksi itu berpotensi menjadi semacam perlambang saja, bukan makna yang sebenarnya.

Kira kira perlambangan apa yang bisa disematkan pada diksi /lubang lubang kecil/, /lubang besar/, /curamnya jurang/, dan /cadasnya bebatuan/ ?

Penikmatan puisi melalui penafsiran perlambangan atau simbol kadang memang diperlukan.

Simbol pada umumnya memang merupakan perlambangan realitas kehidupan di dunia nyata, bukan berdasarkan khayalan ataupun mimpi seseorang [4] dan [5]. Oleh karena itu diksi /lubang lubang kecil/, /lubang besar/, /curamnya jurang/, dan /cadasnya bebatuan/ serta /kaca mata/, di puisi di atas,

jangan jangan bisa ditafsirkan sebagai perlambang atau simbol atas peristiwa yang terjadi.

Sepertinya penyair berusaha bersembunyi di balik simbol simbol tersebut.

Dugaan ini semakin kuat manakala penikmat puisi memasuki sajak di bait 2, di bawah ini.

/2.
Terbentur-bentur runcingnya keinginan
Terseok-seok oleh lika-liku kenangan
Teramat teledor dalam memijak
Terlalu lengah dalam melangkah/

Diksi /Terbentur-bentur runcingnya keinginan/ sepertinya mengandung makna pelesetan, sebab kata terbentur biasanya terjadi karena adanya tumbukan antara sesama benda tidak runcing, misalnya bola telah ditendang kemudian terbentur tiang gawang. Sedangkan jika bertumbukan dengan benda runcing, biasanya menggunakan diksi tertusuk. Namun demikian jika diksi /keinginan/ diseumpamakan sebuah batang panjang yang sangat besar, karena begitu besarnya keinginan, bisa jadi keruncingan ujungnya pun akan tampak tumpul, sehingga metafora /Terbentur bentur/ bisa digunakan. Makna pelesetan ini berpotensi merupakan bagian dari kesalahan logika bahasa yang memang disengaja oleh Sang Penyair, agar diperoleh efek makna lebih maksimal dari pada menggunakan diksi Tertusuk tusuk. Hal ini memang sejalan dengan maksud dari pilihan logika bahasa yang salah atau kesalahan sintaksis dalam berpuisi, satu diantaranya yaitu bertujuan untuk mendapatkan efek estetika pada permainan bunyi, rima, dan irama, ataupun karena diksi konvensional dipandang tidak mewakili substansi isi puisi[6].

Bait ke 2, terkesan memperkuat rasa atas peristiwa yang terjadi di bait 1, yaitu bahwa tokoh aku lirik mengalami peristiwa /terpelanting/, /terjerembab/, dan /terperosok/, mulai di /lubang lubang kecil/, /lubang besar/, /curamnya jurang/, sampai /cadasnya bebatuan/. Peristiwa naas ini masih berlanjut seperti di bait 2, yaitu /Terbentur bentur/, dan /Terseok-seok/. Semua peristiwa naas tersebut seolah menemukan jawaban kenapa bisa terjadi, yakni karena: /Teramat teledor dalam memijak/ dan /Terlalu lengah dalam melangkah/. Kedua alasan itu sama sama menggunakan diksi yang mempunyai kemiripan arti, yaitu Teramat dan terlalu, teledor dan lengah, memijak dan melangkah. Kemiripan arti yang berulang ini akan menimbulkan efek menegaskan terhadap diksi sebelumnya, dan hal ini menjadi ciri khas dari gaya bahasa penegasan [7]. Kecenderungan gaya bahasa penegasan ini, disampaikan oleh Penyair sejak dari bait 1, bait 2, sampai di bait 3.  Di bait 1 menggunakan pengulangan diksi yang hampir mirip artinya yaitu: /terpelanting/, /terjerembab/, /terperosok/, dan /terpeleset/, di bait 2 memilih diksi /Terbentur bentur/, dan /Terseok-seok/, sedangkan di bait 3 menayangkan diksi /Sesekali atau berkali-kali/.

Pemilihan diksi berefek penegasan yang berulang tersebut, bisa menjadi pemantik bagi penikmat puisi untuk mendalami lebih lanjut: kira kira adakah kata kunci yang bisa digunakan untuk membuka gembok teka teki perlambangan yang ada di Puisi?

Pikiran menggelitik akhirnya tertuju pada kata /lubang lubang kecil/, /lubang besar/ di bait 1, dan kata /yang bening/, /kinclong/, /dan jeli/ di bait 3. Diksi lubang lubang kecil/, dan /lubang besar/ bisa jadi merupakan simbol dari sembilan lubang yang ada di tubuh manusia yaitu: masing masing dua lubang di mata, telinga, dan hidung, serta masing masing satu lubang di mulut, kemaluan, dan dubur.

Nasihat orang tua bahwa siapa saja yang mampu mengendalikan sembilan lubang itu, sama seperti mengendalikan hawa nafsu. Siapa saja yang teledor atau pun ceroboh dalam pengendalian kinerja dari sembilan lubang itu, teledor dan ceroboh juga dalam pengendalian hawa nafsu.

Untuk mengatasi ini semua, sepertinya tokoh aku lirik perlu meminjam kaca mata teman.

Yang lebih bening, kinclong, dan jeli, agar bisa mengurutkan berbagai macam kecerobohan yang telah dilakukan oleh tokoh aku lirik. Boleh jadi diksi /bening, kinclong, dan jeli/ merupakan ungkapan simbolisasi dari cara pandang seorang teman yang tidak lain adalah teman dekat atau pun teman akrab yang lain.

Dari uraian giat penikmatan puisi di atas, tentu sebagai penikmat puisi, dapat gambaran bahwa ternyata masih banyak peluang yang bisa diintepretasikan sebagai makna, logika, maupun citarasa yang terkandung pada hampir setiap puisi, termasuk puisi guritan Penyair Fajrul Alam yang berjudul “KACA MATA TEMAN”. Satu diantaranya melalui usaha menjawab berbagai macam pertanyaan yang telah disampaikan. Silakan mencoba, bagi yang berkenan…

Selamat berpuisi, dan teruslah berpuisi!

REFERENSI: 

  1. Angela Klaudia Danu, Petrus Sii, Priska Filomena Iku, Claudia Oktafiani Samador, 2022, Hubungan Intertekstualpuisi “Munir Menenggak Racun” Karya Yoseph Yapi Taum Dan Puisi “Sajak Untuk Sebuah Nama (Cak Munir)” Karya Pramasta Said, KPM: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, P-ISSN: 1411-1659; E-ISSN: 2502-9576, Volume 14, No 2, Juli 2022 (178-189 DOI: https://doi.org/10.36928/jpkm.v14i2.1268
  2. —, Aristoteles, Pendiri Filsafat Ilmu, Maret 31, 2023, https://prenadamedia.com/aristoteles-pendiri-filsafat-ilmu/
  3. ALLAN PEASE, Question Are the Answer (edisi terjemahan : Pertanyaan Merupakan Jawaban), 2002, Network Tweenty One Indonesia
  4. Eko Punto Hendro, 2020, Simbol: Arti, Fungsi, dan Implikasi Metodologisnya, Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi, Vol. 3 No. 2 : Juni 2020
  5. Supriyadi, 2013, Ungkapan-Ungkapan Metaforis Dalam Puisi-Puisikarya Agus R. Sardjono, LITERA, Volume 12, Nomor 2, Oktober 2013
  6. Dra Henilia, M.Hum, 2021, Penyimpangan Bahasa Dalam Sebuah Puisi, Juripol, Volume 4 Nomor 2 September 2021, Jurnal Insitusi Politeknik Ganesha Medan
  7. Anugrah Dwi, 2023, Jenis-Jenis Majas dan Contohnya Secara Lengkap, September 12, 2023, in Opini, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, UMSU, https://fkip.umsu.ac.id/2023/09/12/jenis-jenis-majas-dan-contohnya-secara-lengkap/

Penulis: Kek Atek

Penikmat puisi, tinggal di Rumpin, Kab. Bogor, Jawa Barat, Indonesia

Pegiat Komunitas Dapoer Sastra Tjisaoek

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *