Aku dan Tuhanku, Saat Itu

Tuhan,
Aku dan beberapa puisiku tenggelam,
Kisaran tengah malam, saat keheningan menyetubuhi kehilangan.
Beberapa waktu setelahnya, berakhir dipeluk subuh yang kelu.
Tandas, semua rebah sejak dalam pikir.

Tuhan,

Aku dan beberapa ingatanku terseok-terseok, kegetiran.
Upaya melenyapkan segala deru pada hari-hari ganjil,
pekan-pekan kepayahan,
bulan-bulan kerontang, tahun-tahun malang,
sebagai akibat kemarau berkejaran dalam benak yang silap, terkesiap.

Dini hari, 2024

Aku dan Tuhanku, Kemarin

Tuhan,

Aku dan embunMu nampak tergesa-gesa pagi itu, untuk menjemput segala
rindu dalam perdu.
Rumpunnya menyombong tinggi, menyesakkan segala sudut.
Sejenak, tak kujumpai celahnya, terlalu semak dalam belukar.

Tuhan,

Aku dan siangMu saling menatap meratap.
Melamunkan malam dalam bayangan, keheningan.
Sejenak, berkelakar penuh akar, terkapar.

Tuhan,

Aku dan mentariMu bercengkerama menyoal senja itu,
senja yang keemasan penuh kecemasan.
Aku yang terlalu kikir dalam pikir, mewujud fakir.
Sejenak, aku menanggalkan segala pikir, membuatku nampak sejenak kafir.

Senja kala, 2024

Aku dan Tuhanku, Suatu Hari

Tuhan,

Apakah aku nampak rapi, hari ini?
Kusisir rambut dengan jemari,
kupoles wajah berapi-api.

Tuhan,

Apakah aku nampak suci, hari ini?
Kubasuh ujung dahi hingga telapak kaki,
kurapal doa bertubi-tubi.

Tuhan,

Apakah aku nampak jati diri, hari ini?

Suatu hari.
Apakah hari ini?
Suatu hari.
Apakah bisa hari ini? Suatu hari.
Hari ini?
Hari ini.

Malam buta, 2024

Nurul Hikmah, seorang guru Bahasa di sekolah Olahraga Pembangunan Jaya Raya di Tangerang Selatan. Sejak kuliah ia mulai aktif di komunitas sasrta. Satu di antaranya komunitas Dapoer Sastra Tjisaoek. Ia pernah main teater dan membaca puisi.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *