Pelayaran Melelahkan

Entah pada ruas jalan mana kita akan kembali bersanding, cahaya…
Perahu yang kita tumpangi sudah mulai lapuk
Pelayaran ini mulai dirasa pengap
Tubuhku hampir tumbang diintai gelombang dan angin pasang
Lelah lautan mengantar lautan ini

Seandainya embun yang sempat menetes di jantungku tak berbekas
Mungkin pelayaran ini kucukupkan saja
Ingin ku tanyakan pada mentari pagi
Seluas lautan mana embun yang menetes di relung hati
Hingga pancaran sinarnya tak mampu keringkan kesejukan

Lantas, apa yang bisa ku perbuat
Sulit ku hilangkan, sakit pula ku biarkan
Aku takut jika tubuh ini tenggelam
Hilang bersama angin

Cahaya, dengarkan desah yang retak dari bibirku
Aku butuh cahayamu untuk menutupi rindu dekapan waktu

Sampang, 2024.

Kaisar Bulan Temaram

Sekolom bunga siuman dari pingsan kabut semalam
Namun hanya sejenak memar cahaya kembali gemang
Menyelundup di ketiak gugus batu-batu yang menteloskop

Kendati diguyun mulut gendah menggerincing
Di remah kalbu, mengubur miliaran rasa
Yang pecah di riam kalbu

Oh bulan yang klise, adakah yang bermakna malam ini
Bilamana hanya keropos angin dingin
Yang hakiki menyempuh rasa diri.

Sampang, 2024.

Luka Itu

Aku tak sanggup mengepal
Pasir yang berserakan
Di hening angin nafsumu
Sepanjang waktu, sehablur rindu
Mata ini tak sanggup memandang mu
Aku tahu kau adalah cucu gelombang yang sering bergoyang
Bermain Hompimpa dengan arus ombak
Di sela-sela laut berdusta
Tapi kau tak peduli pada karang
Yang mengganjal hati hidup ini

Bangkalan, 2014.

Di Laut Teduh, Ada Rindu

Seperti bayanganmu di antara jejak ombak
Setelah hujan mengalir dan berdzikir
Di antara angin yang sedang mencipta puisi tempo hari
Dengan lagu simponi, mininabobokkan hati sepi

Tak harus ku bongkar
Selain rindu yang lanskap dalam tubuh
Sebab, rona wajahmu selayak matahari
Beranak teduh

Lalu, sebulir air mata menetes dari desing silam
Sekedar merobek jiwa yang hablur di surga
Dan aku rindu kota-kota kecil di wajahmu
Serupa mawar mekar di setiap dahaga
Jantung dan detak waktu

Bangkalan, 2024.

Iyong nama pena dari S. Nurullah, santri Annuqayah, anggota komunitas Persi

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *