Auschwitz

Di batas waktu
Kita melangkah ke masa dimana angin meniupkan daun-daun ke selatan
Membawa kisah-kisah pedih dari camp tentara

Di kota kecil itu
Krematorium dibangun
Tempat membakar mayat-mayat
Setelah dibunuh di kamar-kamar gas
Kereta tanpa jendela menjadi saksi
tentang Perjalanan yang dirahasiakan
Udara terasa di bawah nol derajat
Hingga waktu membeku
Berdiam dari rahasia-rahasia silam

Pohon-pohon tak bisa berkutik
Hanya bisa tumbuh
Menyaksikan anak-anak menjerit
Dicekik oleh gas-gas beracun
tak ada yang bisa menolong?
Mengapa rasa empati terhimpit oleh pelecut kebebasan?
Tak bisakah membuang sedikit kecemasan?
Sementara tangisan tak lagi terdengar
Di balik tembok-tembok
Yang menutup dan menghimpit hak
Lalu membuangnya ke sungai dan danau

Mukomuko, 2022

Mengurai Mimpi

Di kamp pengungsian anak-anak berlarian mengurai mimpi
Bermain boneka, mobil-mobilan dan membuat perahu dari origami
Senyum mereka adalah berkah
melampaui sedekah
ini adalah sekolah yang paling mahal
kursi-kursi terbuat dari kejujuran
perahu yang dibuat telah berlabuh
di lautan kasih sayang
mobil itu telah menghantarkan
ke kota kenangan

“do, re, mi, fa, so, la, si, do”
Seorang gadis Ethiopia bernyanyi
Sambutan tepuk tangan
Telah mendatangkan rasa riang
Mimpi mereka satu persatu telah kembali
Malam-malam mereka terasa lebih panjang

Mukomuko, 2022

Cerita Masa Kelam Rolf Josep

Ia duduk di sofa
Sambil membuka album
Kenangan pahit itu menariknya
Kembali berdiri di dalam gerbong kereta
Bersama 50 perempuan dan anak-anak
Mereka terus menangis
Lalu seorang remaja itu berkata:
“Anak-anak, kalian tidak tahu, jika tiba di Auschwitz,
kita akan langsung dimasukkan ke kamar gas”
Kamar dengan tembok
Dinding yang tebal
Tidak mampu berusaha menyembunyikan teriakan

Ia menutup album itu perlahan
Tak ingin Kepahitan, kecemasan itu terulang
Lalu ia meletakkan album itu di atas meja
Sambil melipat lupa

Mukomuko, 2022

Adakah Yang Lebih Besar Dari Namamu

Adakah  yang lebih besar dari namamu
Barangkali gunung-gunung
Ataukah kota di antara lampu-lampu
Yang menatap pagimu tanpa jenuh
Saat didatangi hujan sepekan
Seperti mata kekasih tak mampu terpejam

Adakah yang lebih indah dari raut wajahmu
Barangkali putri dari negeri singgalang
Atau wajah ibu saat memeluk anaknya
Seperti tangan kekasih, yang menggenggam kenangan
Jiwa terpaut, rindu tertumpahkan

segala dikara diraih mata
segala daya dan upaya hanya milik-Nya

Mukomuko, Mei 2022

Beti Novianti, lahir di Ipuh dan tinggal di Mukomuko provinsi Bengkulu. Lulusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis cerpen, puisi, dan cernak. Puisi-puisinya tersebar di berbagai media dan juga dalam antologi puisi bersama.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • ..menarik. Hadirkan keluasan wawasan penulis bukan hanya berputar sekitar aku. Menukil kisah sejarah tanpa menghakimi. Bahwa imaji memang tanpa bingkai, menerobos kata semesta justru karena berpusat dari nurani.