O, SUTARDJI, AMUK, KAPAK, SENDIRI
Tatan Daniel
“Tinggal aku sendiri,” ucap Sutardji Calzoum Bachri tatkala berbincang dengan Fakhrunnas MA Jabbar, pada sebuah sore, akhir Februari di TIM. Makna ‘sendiri” itu, Sutardji merasa setahu dia tak ada lagi seniman atau sastrawan seangkatan atau di bawahnya yang ‘mangkal’ di TIM seperti waktu-waktu dulu. Apalagi semenjak proyek revitalisasi TIM dimulai sejak beberapa bulan lalu.
Tiga hari ini beliau berada di kota Binjai, tak jauh dari Medan. Diundang dengan penghargaan dan rasa hormat yang tinggi oleh para sahabat sastra Kosambi, Komunitas Sastra Masyarakat Binjai. Merayakan hajatan mengenang penyair Damiri Mahmud yang anumerta beberapa bulan lalu.
Kosambi, yang didirikan oleh Tengku Suhaimi, bersama Suyadi San, Syarifuddin Lubis, dan kawan-kawan, adalah salah satu himpunan yang paling aktif menggerakkan berbagai aktivitas sastra di kota rambutan ini. Diskusi, even pembacaan puisi, dan penerbitan buku sudah berulang kali mereka selenggarakan. Dan terakhir, kemarin, diskusi sekaligus peluncuran buku “Mahligai Penyair Titipayung”, yang memuat seratusan puisi, diantaranya karya Soetardji Calzoum Bachri yang sudah berpuluh tahun lalu mengenal baik Damiri Mahmud sebagai penyair Melayu yang kedudukannya setara dengan penyair nasional lainnya.
Benar, hanya seorang Sutardji, yang berumah di Bekasi, yang masih bersetia setiap hari datang ke TIM, meski suasananya sudah seperti dibombardir oleh gerombolan ISIS. Rontok, berantakan, dan mencekam.
Setiap senja datang, usai bersunyi di sebuah sudut ruang yang sejuk di PDS HB Jassin, ia pun menegakkan ritual salat maghrib dan Isya di masjid darurat Amir Hamzah, di bawah tanah kawasan TIM. Berzikir dan berdoa berlama-lama.
Memandanginya duduk terbungkuk atau bersujud atau tiduran di hamparan karpet hijau masjid, saya selalu digeremus rasa haru yang hangat. Seorang tua, penyair dakhsyat yang dikenal dan disegani oleh sastrawan se-Asia Tenggara itu, tampak rapuh, tapi sekaligus tegar, kukuh hati, bernyali bagai harimau Sumatera, meski uzur.
Benar ujarannya, bahwa kini tinggal ia sendiri yang masih setia memberi ruh bagi sebuah kawasan yang dulu gemuruh riuh dengan percakapan, seruan, dan ekspresi seni mahakarya para seniman, termasuk Tardji dengan ‘performance’ pembacaan puisinya yang fenomenal dan amat mempesona.
Usai berzikir, ia pun tertatih keluar dari masjid, bagai keluar dari gua Hira setelah bertirakat, dan terbungkuk dengan buntalan tersangkut di tulang bahu, mengendap-endap menerobos gelap di lorong TIM menuju jalan Cikini Raya, pulang ke rumahnya yang jauh, kadangkala dengan angkot, kadangkala dengan taksi, tak jarang pula dengan menumpang ojek.
Setiap kali melihat pemandangan itu dari Posko #saveTIM, yang tak jauh dari sisi mulut gua masjid Amir Hamzah itu, hati saya selalu tergetar. Mata saya berlinang. Entah mengapa. Yang saya rasakan adalah gelisah yang amat sangat, yang berkaitan dengan sejarah, nasib, keadaban yang tergerus, penghormatan yang nihil pada seorang penyair tua, dan TIM yang luluh-lantak dan roboh marwahnya.
Ketika bangunan-bangunan bersejarah TIM secara bertahap dirubuhkan terkait pelaksanaan Proyek Revitalisasi TIM, penyair “O, Amuk, kapak” itu tampak gusar dan sedih. Begitu kesan yang ditulis penyair Fahrunnas MA Jabbar, dalam sebuah catatannya, ketika bersua dengan Tardji sepekan yang lalu.
”Aku bukannya tak setuju dengan revitalisasi TIM ini. Tapi mengingat adanya badan usaha yang membangun dan mengelola TIM ini ke depan, kita patut curiga. Kalau pun nanti semua bangunan TIM sudah baru, tapi pasti tak semua fasilitas bisa dinikmati semua seniman. Pasti akan sangat berbeda dibanding suasana TIM di masa lalu. Mana mau badan usaha itu menyumbang cuma-cuma. Perusahaan itu pasti mengejar untung, setidak-tidaknya mengembalikan modal dulu. Bisa dibayangkan nanti seberapalah yang bisa dinikmati seniman, ” ujar penyair Tardji yang pernah mendapatkan penghargaan sastra prestisius dari Raja Muangthai itu.
Kemarin, seharian saya bersama beliau. Menyaksikannya menyampaikan pesan dan amanah, menyanyi, tertawa tergelak, dan membaca puisi dengan gaya khasnya, disela jeritan harmonika yang ditiupnya bagai pemusik blues Melayu yang berimprovisasi menyiasati hidup dan sejarah.
Pagi ini saya terduduk, sendiri, di sebuah lepau, di kota Binjai. Bang Tardji sudah menuju Kuala Namu subuh tadi. Terngiang lengkingan harmonika dan suaranya yang bergetar, seperti menggigil ketika membaca puisi, dan khusuk wajahnya ketika menyeruput sup ikan gabus di sebuah rumah makan Jawa tadi malam, bersama sahabat aktivis sastra, Suyadi San.
Dari speaker di lepau sederhana ini, lagu-lagu Koes Plus menguar. Membuat ingatan saya berpendaran dengan kelebat kenangan, dari ikhwal hari ini, kemarin, dan masa lalu yang sudah amat jauh, ketika semasih belia dan sibuk membaca dan menafsirkan sajak-sajak yang termaktub dalam buku “O”, “Amuk”, dan “Kapak” seraya membayangkan suara dan raut rupa Sutardji Calzoum Bachri yang ‘beringas’ di depan mimbar, dengan botol bir, busa di janggut dan misainya, dan ratusan penyaksinya yang tercengang-cengang..
Binjai-Jkt/15-3-2020
(sumber tulisan dan foto dari akun FB Tatan Daniel. red/17/3/21)