Dari Proses Kreatif Menuju Media

Nana Sastrawan

Menulis cerpen yang ringkas, padat dan lugas tidak mudah diterapkan oleh pengarang. Ya, seperti yang diketahui umum bahwa cerita pendek atau cerpen biasanya terbentur dengan keterbatasan jumlah kata dan halaman, khususnya pada media massa atau media daring (dalam jaringan). Sering kita mendengar suara-suara yang berkeluh kesah dan berkilah bahwa keterbatasan itu menghambat kreativitas; membatasai ruang eksplorasi untuk menguak banyak hal. Tetapi, bagaimanapun, tentulah kita mesti menjawab sinyalemen itu: benarkah pembatasan itu menghambat ruang kreativitas; membatasi ruang eksplorasi? Jangan-jangan keluh-kesah itu hanyalah kamuflase dari ketidakmampuan mereka mengembangkan kreativitas atau kegagalan menemukan cara penyiasatannya.

Perlu diketahui menulis cerpen bukan sekadar berkisah. Kesadaran pengarang akan tehnik penyampaian kisah pun diuji, misalnya penggunaan alur, pemunculan konflik dan mengakhiri cerita dapat dikemas dengan lentur. Bagaimanapun juga, cerpen (sastra) bukanlah sastra popular yang sekali baca, lenyaplah sentuh kritik kita pada karya itu. Cerpen dapat memperlihatkan kecerdasan penulisnya. Ada siasat yang diciptakan dan coba diterapkan penulis, dan itu tentu saja lahir lantaran penulis itu tidak kehilangan kreativtas. Dari sudut cerpen itu sendiri, kita berjumpa dengan semacam karakteristik khas. Lalu, apakah cerpen-cerpen berjudul ‘Burung Gagak dan Isyarat dari Sepotong Surat’ dari buku kumpulan cerpen yang dikurasi oleh Abah Yoyok, dari portal www.mbludus.com yang dimuat antara tahun 2019-2020 ini memiliki karakteristik khas.

Tentu saja, setiap penulis memiliki proses kreatifnya sendiri ketika menulis sebuah naskah. Bisa saja, dimulai dengan munculnya ide. Dengan kata lain, ada semacam pusat tema dalam pikirannya yang mendasari lahirnya sebuah karya atau naskah. Kemudian, tema itu diurai menjadi bahan-bahan untuk menulis, bisa menjadi puisi, cerpen, novel, naskah drama atau skenario film. Ada pula penulis yang terdorong menulis karena melihat keadaan sekitar, peristiwa-peristiwa yang berseliweran melintas di hadapannya. Bisa juga penulis menulis dari gejolak batinnya. Kegelisahan-kegelisahan yang berkecamuk dalam hati mereka, berupa; kerinduan, patah hati, cinta atau kegagalan-kegagalan.

Semua lahir, tentu tidak dengan tiba-tiba. Semua itu dituliskan dalam proses yang panjang, sebab sejatinya karya yang terlahir dari proses yang panjang akan hidup dalam lingkaran pembaca-pembacanya.

kumcer mbludus

Saya ambil contoh sebuah tulisan berbentuk cerita pendek yang ditulis ketika saya berada dalam titik kegelisahan batin yang tak menentu saat menyelesaikan tugas akhir kuliah. Simaklah tulisannya :

“Menulis itu mudah daripada membaca.”

Kalimat itu masih saja terngiang di telingaku, ucapan dari dosen pembimbing setelah membanting beberapa lembar tulisan tugas akhirku ke atas meja dan pergi meninggalkanku yang terdiam, kesal. Bagaimana tidak? seenaknya saja ia mengatakan itu, tidakkah ia merasakan betapa sulitnya aku menyusun kata demi kata dari buku-buku teori yang tebalnya seperti bantal atau tidakkah merasakan betapa sulitnya aku mengumpulkan data hasil analisisku? Sialan.

Kini aku melangkah menyusuri gang sempit menuju kamar kos yang sudah beberapa tahun aku tempati di kota ini. Beberapa menit kemudian aku sudah berhadapan dengan komputer dan buku-buku. Apa selanjutnya? Aku hanya duduk termangu, memerhatikan layar komputer dengan microsoft word yang masih kosong seperti pikiranku. Entahlah apa yang harus kulakukan? Tiba-tiba saja aku menjadi seseorang yang bodoh.

Kureguk kopi hitam, kemudian kunyalakan rokok. Mataku memandang seisi kamar, berantakan seperti dalam dadaku. Kegelisahan dari sebuah cita-cita yang sungguh menyebalkan jika harus melakukan pengorbanan, kenapa segala hal di dunia ini harus ada kesulitan? Kasur lipat dengan setumpuk pakaian kotor menambah dadaku semakin sesak, segera saja kualihkan pandangan ke dinding-dinding kamar. Sebuah gambar menjadi pusat perhatian, gambar yang sudah menempel di dinding itu semenjak aku mengontrak kamar ini. mungkin dulu penghuni kamar ini adalah seorang mahasiswa yang hidupnya dihabiskan untuk membaca buku. Einstein, itulah rupanya.

Kudekati, dan berdiri tepat di depannya. Wajah tua yang lucu (sebagian orang bilang gila), rambut putih, dengan lidah menjulur persis seperti orang kepedasan. Leluconku mulai tumbuh di kepala, daripada pusing memikirkan tugas akhir lebih baik aku bersolek, lebih tepatnya berakting. Rambut kubuat berantakan dan kulit wajahku segera kukerutkan kemudian lidah kujulurkan persis seperti Einstein, berulang kali aku melakukan dengan berlenggak-lenggok, lalu aku pun tertawa sendirian. Memang sudah gila.

Merasa cukup aku pun merebahkan tubuh di kasur lipat dengan mata yang terus memandang gambar itu.

Tiba-tiba…

“Orang tolol!” terdengar suara yang entah darimana datangnya. Aku mencari sumber suara, nihil.

“Mencari apa kamu. Tolol!” sekali lagi terdengar.

“Siapa kamu?” kuberanikan diri bertanya.

“Einstein.”

“Hah!” terperanjatlah aku mendengar nama itu, lalu kudekati gambar.

“Kau tidak pantas bergaya seperti aku.”

Ini benar-benar ajaib, gambar itu berbicara kepadaku. Aku hanya bengong menatapnya.

“Mengapa diam? Bukankah kau tengah berpikir menjadi aku?” tanyanya.

“Mu… mung.. mungkin. Sebenarnya aku tengah kesulitan untuk menulis,” jawabku berusaha menguasai diri.

“Kau tidak akan pernah bisa menulis apa-apa tanpa mengetahui untuk apa menulis.”

“Maksudmu?”

“Benar sekali kau memang orang tolol.”

“Jelaskan padaku!”

Berulang kali aku bertanya pada gambar itu, akan tetapi suaranya sudah tak muncul kembali. kudekati hingga wajahku menempel di wajahnya, akan tetapi ia masih saja bisu. Kurebahkan kembali badanku sementara pikiranku terus saja berpikir tentang kalimat terakhir darinya. Mengapa ia berkata seperti itu? Perlahan, kuingat kembali perjuanganku masuk ke universitas negeri di kota ini dan mengambil jurusan filsafat. Tentunya bukan hanya sekadar main-main belaka, aku ingin menjadi seorang sarjana filsafat, memberikan pencerahan bagi setiap orang termasuk hidupku. Akankah aku gagal dari mendapatkan gelar itu hanya dengan sebuah tugas akhir, bukankah itu berarti aku hanya seorang pecundang. Lalu apa gunanya pengorbanan selama ini?

Aku terperanjat, mungkin ini yang dimaksud Einstein tadi bahwa segala sesuatu yang kita lakukan harus memiliki dasar dan tujuan, begitu pun dengan menulis. Seseorang harus memiliki cara pandang dalam menulis, untuk apa dan untuk siapa? Bukan hanya sebuah tugas akhir. Para penyair, penulis dan sastrawan, profesor mempunyai alasan untuk menulis sehingga ia tak pernah membuang waktunya untuk urusan yang tidak jelas. Itulah sebuah kunci dalam melakukan sesuatu, niat. Sebuah kata yang sungguh lebih nyata dari goresan pena.

Orang tolol. Memang pantas aku menyandang itu jika hanya memikirkan kekesalan dan dendam dari sebuah kritikan dosen pembimbingku tanpa melakukan sesuatu. Tanpa pikir panjang aku pun beranjak menuju komputer lalu menulis.

kumcer mbludus

Pada tulisan cerita pendek di atas dapat kita temukan sebuah proses kreatif kapan dan pada situasi apa si penulis menjadikan pikirannya, kegelisahannya menjelma tulisan yang dapat dibaca, dan ditemukan pesan-pesan tersiratnya. Tentu saja, seorang penulis mesti melatih kepekaan rasa agar dalam penyampaian sesuatu dalam bentuk tulisan dapat menjadi pikiran atau kegelisahan umum yang memang dirasakan oleh hampir kebanyakan orang.

Tidak hanya itu, untuk melatih tehnis dalam kepenulisan, seorang penulis sudah menjadi keharusan membaca buku-buku, memperhatikan tulisan-tulisan dari pengarang lainnya dalam mengemas ide, pikiran, peristiwa dan lainnya pada naskah. Apalagi, jika penulis itu ingin menuliskan ‘cerpen’ suatu karya sastra yang memiliki ruang terbatas pada tulisannya tetapi mempunyai keutuhan dan fokus.

Cerpen-cerpen dalam buku ini, memiliki potensi untuk menjadi cerpen-cerpen yang baik, syarat makna dan memiliki karakteristik khas. Akan tetapi, perlu kiranya seorang penulis mulai menyimpan banyak pembendaharaan kata dalam kepalanya, menyimpan tema dan mengamati peristiwa sekitar agar cerita yang dihadirkan semakin dinamis dan beragam. Hampir tampak pada cerpen-cerpen di buku ini tidak ingin atau tidak bisa mengeksplorasi, mengelaborasi dan mengeksekusi peristiwa penting dari keseluruhan cerpen untuk menghasilkan suatu akhir cerita yang klimak. Sebegitu mudah cerita-ceritanya berakhir dan tidak menimbulkan kesan yang mendalam.

Seperti yang telah disebutkan bahwa keterbatasan pada cerpen bukanlah suatu hambatan untuk penulis mempersingkat cerita sehingga berakhir prematur. Cerpen dapat berakhir dengan mengejutkan atau melalui metafora, merupakan siasat ampuh untuk memperkuat daya gelitik. Aturan main pada cerpen yang diterapkan justru melahirkan imaji dan kreativitas lain. Meskipun demikian, untuk suatu apresiasi, cerpen-cerpen dalam buku ini layak untuk diapresiasikan dan dijadikan bahan perenungan untuk kita semua, bahwa cerpen yang berkualitas bukan sekadar tema yang sedang mencuat, atau sedang menjadi buah bibir. Tetapi, bagaimana kita mengolahnya menjadi cerita yang dapat hidup pada pikiran dan meninggalkan kesan yang dalam.

Untuk itu, penting kiranya setiap tulisan dibaca berulang-ulang pada proses kreatifnya sebelum dikirimkan ke media. Selamat Berkaya.

Pimpinan Redaksi mbludus.com

Nana Sastrawan

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *