Judul Buku : Permainan Metafora dalam Karya Sastra
Penulis : Akhmad Idris
Penerbit : LovRinz
Cetakan : I, Juni 2022
Tebal : x + 68 halaman
ISBN : 978-623-446-341-5
Dalam jenis karya sastra kita mengenal istilah novel, cerpen dan puisi. Sebagaimana kita ketahui, KBBI memaknai novel sebagai karangan panjang sebuah prosa yang mengandung rangkaian cerita seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Sementara cerpen menurut The Liang dan A. Widyamartaya cerpen adalah cerita khayal berbentuk prosa yang pendek, biasanya di bawah 10.000 kata, bertujuan menghasilkan kesan kuat dan mengandung unsur-unsur drama.
Sedangkan jenis karya sastra yang berposisi di tengah-tengah antara novel dan cerpen dikenal dengan novela. Dengan ini, arti novela secara terminologi berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kisah prosa rekaan yang lebih panjang dan lebih kompleks daripada cerita pendek, tetapi tidak sepanjang novel, jangkauannya biasanya terbatas pada satu peristiwa, satu keadaan, dan satu titik tikaian.
Sementara puisi, beda lagi. Ia lebih singkat dan lebih pendek daripada cerpen. Namun, bahasa yang terbentuk dipilih dengan tertata secara cermat, terikat oleh irama, bunyi dan makna khusus, serta penyusunan larik atau baitnya apik dan tajam. Kesan singkat pada sebuah puisi inilah yang membuat pencipta puisi dituntut lebih cermat dan kreatif dalam menata diksi. Lalu, pemilihan diksi secara ketat dan bahasa singkat inilah yang membuat puisi menjadi teka-teki, misterius dan menyimpan enigma.
Dalam buku terbaru karya Akhmad Idris yang berjudul Permainan Metafora dalam Karya Sastra ini menyingkap cara jitu dalam memaknai kesamaran puisi itu. Tersebutlah Michael Riffaterre, seorang kritikus sastra asal Prancis, dalam bukunya Semiotic of Poetry, mengungkap cara memaknai enigma puisi terlebih dulu dengan cara membacanya, lalu menemukan tanda-tanda yang dirasa samar, kemudian menemukan sebab-sebab kesamaran tersebut, baru setelah itu maknanya dengan mudah akan diketahui (hlm. 12).
Penulis juga menyodorkan contoh puisi yang bisa dibedah kesamaran diksinya. Seperti puisi yang bertajuk Akankah Kita karya Hidar Amaruddin. Hal tersebut bisa ditilik dari kutipan berikut:
Ketika di dekatmu
Aku tak akan mengusap wajah, berapa pun aku lelah
Mengamati tak ada lagi rintik yang jatuh
Dari kelopak matamu (Hidar Amaruddin, Ada yang Lebih Sepi, 47)
Kesamaran makna dalam puisi ini terletak pada kata ‘rintik’. Umumnya, rintik itu jatuh dari langit, namun Hidar justru menyebut rintik jatuh dari kelopak mata. Berarti yang dimaksud Hidar dalam kata rintik bukanlah percikan air yang jatuh dari langit, namun kristal air yang keluar dari mata alias air mata. Hidar mengganti air mata dengan kata rintik, sebab keduanya sama-sama berupa percikan air.
Di lembar lain, penulis mencontohkan puisi karya Hidar yang berjudul Di Kepala Kami. Pada puisi tersebut, Hidar menulis ‘kami hanyalah seonggok daging bertubuh tanpa hati.’ Penggalan puisi ini merupakan ironi yang ingin mengatakan bahwa sekuat apa pun manusia, jika ia tidak memakai hatinya, maka ia sejatinya adalah manusia yang mati (hlm. 14).
Oleh sebab itu, kurang lengkap jika kita menjatuhkan diri dalam berkarya sastra, sementara masih belum membaca, mempelajari serta memahami isi yang terkandung pada buku ini.***
Segera pesan bukunya melalui nomor 089685875606 (Akhmad Idris).
*) Fathorrozi, lahir di Jember, 23 Maret 1987. Tinggal di YPI Qarnul Islam, Ledokombo. Menulis apa saja, termasuk cerpen, puisi, opini, resensi, kisah humor, novel, biografi tokoh, khutbah, dll. Beberapa tulisannya tersebar di media online, seperti harakatuna, iqra, lpmaarifnujateng, duniasantri, ngewiyak, yoursay, mjscolombo, cerano, suarakrajan, pcnusumenep, nurulqarnain, dst. Juga di media cetak, seperti Solopos, Radar Jember, Majalah Sabili, Majalah Fathonah, Buletin Al-Amiri Pos, dsb.