
Oleh Azka Khairunnisa
Di zaman sekarang, saat ada banyaknya aplikasi yang dapat diakses banyak orang, seperti aplikasi kencan yang bisa bikin kita kenalan sama puluhan orang dalam sehari, konsep monogami sering banget dipertanyakan. Emangnya masih ada yang mau setia sama satu orang seumur hidup? Monogami, alias hubungan eksklusif dengan satu pasangan, dulu dianggap standar emas dalam cinta dan pernikahan. Tapi sekarang, banyak yang mulai buka suara soal hubungan terbuka, poliamori dan berbagai bentuk relasi lainnya yang lebih fleksibel.
Meski begitu, nggak sedikit juga yang masih percaya kalau cinta sejati ya cuma butuh satu orang– yang bisa jadi rumah, tempat pulang, dan patner hidup dalam suka maupun duka. Jadi, di tengah gempuran pilihan dan perubahan gaya hidup, monogami itu masih ideal, atau justru jadi beban ekspektasi sosial?
Dalam Islam, poligami diperbolehkan dengan syarat seorang suami mampu berlaku adil terhadap semua istrinya. Namun, banyak orang yang berpendapat bahwa sulit untuk mencapai keadilan yang sempurna dalam praktik poligami, terutama dalam hal perhatian, kasih sayang, dan kebutuhan emosional. Monogami menghilangkan kekhawatiran tentang ketidakadilan karena fokusnya pada satu pasangan, sehingga memungkinkan untuk memberikan perhatian penuh dan adil.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran surah An-nisa ayat 3:
“Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.”
Para ulama dan pemikir Islam memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai pembahasan dalam surat An-Nisa ayat 3 ini. Di antaranya Faqihuddin Abdul Kodir yang menyatakan bahwa ayat ini bukanlah ayat yang menganjurkan untuk poligami, tetapi malah mengusulkan untuk melakukan pernikahan monogami, selain itu ayat ini juga memiliki makna tersirat lainnya. Di antaranya mengenai memiliki rasa keadilan oleh semua manusia dalam menjalani kehidupan terutama berumah tangga.
Faqihuddin dalam karyanya yang berjudul Sunnah Monogami Mengaji Al-quran dan Hadis menjelaskan tentang kebolehan melakukan poligami pada masa itu ialah karena banyaknya para syuhada yang terbunuh dalam perang Uhud yang mengakibatkan banyaknya laki-laki yang meninggal[1]. Hal itulah yang mengakibatkan banyaknya perempuan yang menjadi janda dan banyak anak yatim yang tidak terurus. Oleh sebab itu, turunlah ayat ini yang berkaitan untuk merawat dan menjaga anak yatim dengan penuh keadilan.
Beliau memfokuskan ayat 3 An-Nisa pada dua hal, yaitu yang pertama mengenai keadilan terhadap anak yatim dan juga perempuan yang akan dinikahi. Lalu yang kedua ketika ingin poligami maka harus didasari dengan rasa keadilan.
- Memaknai Sunah Nabi
Sunah secara literal berarti jalan yang dilalui. Ia juga bisa diartikan sebagai kebiasaan yang terpuji, baik untuk sesuatu yang diwajibkan agama, atau yang lain. Bagi mayoritas ulama fiqh, sunah dijadikan istilah bagi perbuatan terpuji yang tidak diwajibkan. Perbuatan yang jika dilakukan dapat mendatangkan pahala, tetapi jika tidak dilakukan tidak akan mengakibatkan dosa. Tetapi bagi ulama ushul fiqh, seperti yang dinyatakan Imam Az-Zarkasyi (Badr Ad-Din Muhammad bin Bahadur) dari ulama mazhab Syafi’i dalam kitab Al-Bahr Al-Muhith fi Ushul al-Fiqh juz III hal. 236, bahwa sunah didefinisikan sebagai sesuatu yang datang dari pribadi Nabi Muhammad Saw. Baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, atau baru sekadar keinginan. Dengan definisi ini, sunah juga biasa disebut dengan istilah hadis.
Pada praktiknya, sunah baik yang berupa perkataan, perbuatan, maupun pernyataan, lahir pada suatu masa, tempat dan kondisi tertentu untuk merespon keadaan tertentu, seringkali Nabi Muhammad Saw menyatakan sesuatu atau melakukan tindakan tertentu, justru untuk merespon pertanyaan atau keadaan yang terjadi di sekitar pada saat itu.
- Anjuran Berpoligami
Banyak sekali orang yang berbicara mengenai poligami dengan tanpa dasar sama sekali. Fakta bahwa Nabi Muhammad Saw berpoligami misalnya, dipahami sebagai sebuah anjuran bagi umatnya untuk berpoligami. Pemahaman yang simplistis ini sesungguhnya membahayakan kelangsungan peradaban umat Islam. Padahal secara eksplisit tidak ada anjuran dari Nabi Muhammad Saw kepada umat Islam untuk berpoligami.
Faqihuddin di dalam bukunya yang berjudul Sunnah Monogami: Mengaji Alquran dan Hadits juga menyampaikan bahwa sepanjang bacaan terhadap kitab-kitab komentar (syarh) hadis, seperti Fath Al-Bari karya Al-Asqallani, Subul As-Salam karya Ash-Shan’ani dan Nayl Al-Awthar karya Ash-syawkani, tidak ditemukan pernyataan ulama bahwa ada sunah yang mengajurkan poligami. Sekalipun mereka tahu bahwa Nabi Muhammad Saw melakukan poligami, tetapi tidak satu pun dari mereka yang mendasarkan kepadanya untuk menganggap poligami sebagai satu anjuran Nabi Muhammad Saw.[2]
Yang jelas tidak ada pernyataan langsung dari Nabi Muhammad Saw, yang menganjurkan poligami sebagai suatu tuntutan keutamaan. Sebaliknya, ada beberapa teks sunah yang justru mengkritik tindakan poligami.
- Kritik Terhadap Poligami
Masyarakat Arab pra-islam terbiasa dengan praktik-praktik poligami yang tanpa aturan dan perlindungan terhadap perempuan. Umat Islam pun pada awalnya masih terpengaruh dengan tradisi tersebut, seperti yang diceritakan para ulama tafsir generasi awal Islam. Mereka merasa takut tidak bisa adil terhadap anak-anak yatim, tetapi tidak merasa takut tidak berbuat adil terhadap istri-istri mereka yang dinikahi secara poligami.
Allah SWT mengkritik kebiasaan dan ketidak khawatiran ini dengan menurunkan ayat An-Nisa untuk menghentikan kebiasaan buruk berpoligami tanpa perhatian terhadap perempuan. Dalam konteks kritik ini juga, kita bisa memahami mengapa Nabi Muhammad Saw bersikeras untuk mengingatkan diri pada kedisiplinan yang sangat tinggi, untuk tetap memperlakukan istri-istri beliau secara merata. Dalam hal nafkah, menginap ataupun bepergian. Beliau tidak pernah sekalipun melebihkan satu istri dengan istri lainnya dalam hal nafkah dan bergilir.
Pada konteks masyarakat yang sangat permisif terhadap poligami, kedisiplinan yang sangat tinggi dalam berpoligami adalah suatu kritik yang nyata dan tajam. Nabi Muhammad Saw mengancam kepada mereka yang berpoligami tetapi memiliki kecenderungan lebih terhadap satu istri dari istri-istri yang lain.
Sesuatu tidak akan diancam dengan siksaan yang pedih, kecuali karena sesuatu tersebut dilarang agama dan termasuk perbuatan dosa. Berbuat tidak adil terhadap istri-istri dalam poligami adalah perbuatan dosa yang mengakibatkan siksaan di akhirat nanti.
Jika demikian, dugaan kita sangatlah kuat bahwa para pelaku poligami pada saat sekarang ini, semuanya terancam siksaan yang pedih di akhirat nanti. Tidak ada satupun dari mereka yang akan selamat dari siksaan tersebut, karena mereka semuanya merasa kesulitan untuk menerapkan sunah bergilir pada kondisi dimana mobilitas sangat tinggi dan perbedaan jarak antara istri-istri yang dinikahi.
Ancaman siksaan terhadap pelaku ketidakadilan dalam berpoligami, adalah salah satu bentuk kritik ekspilit terhadap praktik poligami itu sendiri. Selain cara kritik yang lebih halus, perlu adanya pembatasan kuantitas, perlu adanya aturan dan keharusan untuk memperhatikan kebutuhan bergilir perempuan.
- Sunah Memilih Monogami
Nabi Muhammad Saw tidak mengizinkan Ali RA menikah yang kedua kali selagi Fatimah RA masih disisinya. Nabi Muhammad Saw memberi tawaran kepada Ali RA untuk menceraikan Fatimah RA jika ingin menikahi perempuan lain atau tetap bersama Fatimah RA tanpa menikah dengan perempuan lain. Karena poligami menjadi fitnah bagi diri Fatimah RA dan sangat mengganggu kehidupannya.
Perempuan memiliki hak penuh untuk merasa sakit hati atas poligami, bahkan merupakan suatu yang alami dan tidak ada kaitannya dengan agama. Fatimah sendiri merasa sakit hati dan perasaannya itu diakui Nabi Muhammad Saw. Berarti sakit hati karena poligami juga sunah. Karena ia dirasakan Fatimah RA dan diakui oleh Nabi Muhammad Saw.
Perempuan bisa tidak mengizinkan dipoligami, atau orang tua bisa tidak mengizinkan putrinya dipoligami. Penolakan ini tidak ada kaitannya dengan kurang beragama, kurang sabar, atau kurang setia terhadap suami. Penolakan merupakan hak penuh perempuan maupun orang tua, dan itu juga sunah karena dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Ada banyak sunah yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk melarang perbuatan, atau tradisi apapun yang mengakibatkan kezaliman dan kenistaan. Larangan Nabi Muhammad Saw terhadap poligami Ali RA termasuk salah satu indikasi bahwa poligami sejak dahulu bisa menjadi ajang perilaku kezaliman dan tindakan kenistaan.
Nabi Muhammad Saw melarang adanya poligami antar perempuan yang bersaudara, adik kakak, keponakan-bibi apalagi ibu-anak dikarenakan akan ada keretakan persaudaraan antara istri-istri. Menyambung persaudaraan adalah wajib dan memutusnya adalah haram. Pelarangan ini juga berlaku bagi perempuan merdeka dengan perempuan budak. Karena akan mencederai status sosial perempuan merdeka tersebut. Poligami memang pada praktiknya akan mencederai status perempuan, baik istri pertama maupun kedua, ketiga atau keempat.
Dari kritik Nabi Muhammad Saw terhadap praktik poligami yang tidak adil, penolakan rencana poligami Ali RA dan pelarangan poligami antar perempuan yang bersaudara, mengisyaratkan bahwa poligami adalah bukan pernikahan yang ideal dalam Islam. Karena seringkali dijadikan media tindakan kezaliman dan kenistaan terhadap pasangan. Tindakan tersebut dalam Islam diharamkan Al-Qur’an maupun hadis.
Tidak ada satu orang pun ulama bahkan orang awam sekalipun yang menolak prinsip dasar bahwa Islam mengharamkan segala bentuk kezaliman dan kenistaan. Bahkan sesuatu yang dianggap ibadah pun, jika nyata mendatangkan kezaliman dan kenistaan pada seseorang, maka dapat dihentikan bahkan diharamkan melaksanakan amal ibadah tersebut.
Termasuk poligami, sebagai sesuatu yang menurut Imam Syafi’i tidak masuk dalam kategori ibadah karena berurusan dengan syahwat manusia, sangat mungkin untuk dilarang ketika nyata mendatangkan kezaliman dan kenistaan. Poligami juga banyak dijadikan ajang penipuan terhadap perempuan, penyia-nyiaan, pembiaran, keretakan hubungan saudara, dan bahkan kekerasan fisik ataupun mental.
Dengan cara pandang ini, kita bisa sampai kepada pesan Nabi Mhammad Saw, yaitu pembebasan perempuan dari kungkungan hegemoni sosial, beralih ketuntunan ketauhidan dan penyerahan total kepada nilai-nilai ajaran Allah SWT. Pesan yang ingin menempatkan perempuan sebagai posisi Khalifah Allah SWT dimuka bumi ini yang sama persis kedudukannya dengan laki-laki. Tanpa ada keharusan ketundukkan antar sesama hamba, kecuali untuk kepentingan yang diizinkan Allah SWT.
Jika dibaca secara utuh, maka kritik-kritik ini akan sampai pada kesimpulan bahwa memilih monogami juga sunah. Kita diperintahkan untuk tidak terjun pada kehancuran dan kerusakan, pada tindak ketidak adilan dan kezaliman. Ketika keadilan dan kebebasan dijadikan prinsip, setiap orang dan masyarakat bisa menentukan sendiri, manakah perkawinan yang paling mungkin bisa membebaskan pasangan dari tindak kezaliman, penyia-nyiaan dan keburukan sosial lainnya.
Dengan melihat prinsip-prinsip ini dan memandang betapa poligami pada praktiknya banyak membuat perempuan sengsara, kita dapat memastikan bahwa Nabi Muhammad Saw pada konteks masyarakat kita sekarang lebih berat memilih monogami, daripada harus mempertahankan kewenangan poligami. Namun, dengan cara pandang yang sama poligami bisa menjadi terlarang pada konteks dosial dimana ia nyata mencederai kemanusiaan perempuan.
[1] Faqihuddin Abdul Kadir, Sunnah Monogami: Mengaji Alquran dan Hadis (Yogyakarta: Umah Sinau Mubadalah, 2017) hlm. 111-112.
[2]Faqihuddin Abdul Kadir, Sunnah Monogami: Mengaji Alquran dan Hadits, (Yogyakarta: Umah Sinau Mubadalah, 2017) hlm. 283.
Azka Khairunnisa, seorang mahasiswi Institut Studi Islam Fahmina.