“Waktu Mama kecil dulu… suka ikutan perayaan tujuh belasan, nggak?” Kiki,  anak nomor dua bertanya kala kami melewati jalan- jalan sepanjang Kampung Sebelah, di mana nampak masyarakat sedang mengadakan lomba-lomba pada acara tujuh belasan.

Anak- anakku suka tertarik menonton acara tujuh belasan. Sayangnya kini mereka sudah remaja, jadi akan malu jika ikut-ikutan Lomba. Tapi setiap ada acara keriuhan dari Kampung Sebelah, kami usahakan nonton, meski tak selesai.

“Waktu Mama kecil belum musim lomba-lomba agustusan, neng. Masih jarang. Kalopun ada… acaranya masih terbatas karena tidak setiap RT mengadakan lomba.” Aku menerangkan.

“Oh gitu, Mah… Berarti jaman dulu sepi dong, kalo tujuh  belasan…” kata anakku lagi.

“Ya nggak juga, Suka ada panggung.”

“Panggung apa, Mah?”

“Panggung tujuh belasan.”

“Acaranya apa aja?”

“Banyak. Biasanya diawali pidato pak RW. Lalu Pak Lurah. Kadang pak Camat, dsb.”

“Oh… terus apa lagi?”

“Biasanya nanti baru acara yang ditunggu- tunggu. Operet, lalu tarian, terus deklamasi… kemudian pengumuman para pemenang lomba dan pembagian hadiah… malamnya ditutup Layar Tancep…”

“Hah…? Apa itu Layar Tancep, Mah?”

“Dulu itu suka ada layar besar dipasang di lapangan tiap tanggal tujuh belas agustus. Biasanya dari sore kita sudah heboh. Siapkan makanan. Plus acara panggung tadi sebelumnya…”

“Rame, mah?”

“Uh… bukan rame lagi, neng…biasanya dari siang para ibu sudah siapkan makanan untuk nanti dibawa pas menonton si Layar Tancep.”

“Mama suka dibawain apa… makanannya?”

“Mama lupa. Yang pasti Mama seneng kita adik beradik Mama pada duduk di tikar yang kami bawa dari rumah. Baru di gelar aja tikernya… Mama udah bahagia. Kesananya Mama nggak ingat lagi soal makanan”

“Nggak sempit, Mah…?”

“Enggak… rasanya dulu semua orang bisa duduk. Mama bisa tidur malah.”

“Lhoh… kok tidur? Mama nggak nonton filmnya?”

“Kadang Mama suka takut. Jadi Mama pejamkan mata pas filmnya menayangkan adegan seram. Nah… pas merem ketakutan itu… Mama jadi tidur beneran…” Kemudian aku tertawa. Anakku juga ikut tertawa.

“Mama masih ingat judul-judul filmya?”

‘Masih dong… Beranak Dalam Kubur. Bayi Ajaib. Si Buta dari Gua Hantu. Terus ada film laga juga, tapi Mama lupa judulnya. Hanya film- film horor yang Mama ingat…”

Kemudian kami berhenti bicara demi menyaksikan lomba demi lomba yang diadakan. Lomba beradu balon, Lomba mengangkut tepung… dan yang paling lucu adalah lomba mengambil uang koin dengan menggunakan mulut. Kocak. Untuk dewasa biasanya sabuah semangka dioles olie. Tapi itu ekstrem ya… he he he. Namun untuk anak- anak… biasanya buahnya (bisa semangka atau bisa juga pepaya muda)  hanya dioles coklat atau apapun yang tidak membahayan.  Yang pasti anak-anak itu menjadi cemong karenanya. Seru. Banyak teriak sorak dan tawa terdengar.

Makna dari tujuh belas agustusan… tak usah dulu bicara sejarah panjang bangsa ini. Tentang banyak hal terjadi sebelum peristiwa kemerdekaan atau bagaimana mengisi kemerdekaan? Itu terlalu panjang dan nanti mereka akan belajar dan mengerti sendiri. Yang pasti… dengan mengisi memori mereka dengan acara setiap tujuh belasan… tentu akan memberikan kenangan sendiri.  Seperti anak- anakku… meski mereka kini telah remaja… namun kenangannya tentang tujuh  belasan,  tak terlupakan.

Dulu… Aku sering membawa mereka ke tempat-tempat lomba. Mengikutsertakan mereka dengan aneka lomba balap karung, makan kerupuk dan lain-lainnya. Ada hadiah yang bisa dibawa pulang. Seperti Mamet yang siang itu berhasil mengumpulkan 14 koin limaratusan atau sekitar 7 ribu rupiah nominalnya. Uang yang meski tak seberapa,  namun kebahagiaan dan keceriaan yang didapat…adalah.pengalaman tak ternilai.

Ah… anak- anak yang bahagia. Setidaknya pada peringatan kemerdekaan ini mereka diperkenalkan bahwa untuk mengadakan satu lomba itu ditumbuhkan sifat gotong royong dan kerja sama. Ketika lomba dimulai pun mereka diajarkan bahwa butuh kejujuran dan usaha. Tidak boleh curang dan mau ikuti peraturan. Bahwa semua yang diinginkan itu ada prosesnya. Ingin hadiah? Harus berusaha dan berjuang.

Ah… anak- anak yang beruntung karena lahir dan besar pada jaman sudah merdeka.
(Cikeu Bidadewi)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *