Oleh Dewi Nova
Satu ransel dan satu koper teronggok di samping pot bunga lotus. Tubuh pot dari tanah liat setinggi anak balita dua tahun itu diselimuti lumut hampir di seluruh bagian. Debu lamat-lamat menutupi lantai teras yang tak kusapu sejak kemarin. Matahari belum muncul. Udara subuh terasa sejuk. Sebenarnya ini waktu yang baik untuk berangkat ke terminal bus. Semakin tinggi matahari bergerak akan kian keras aku dan pemudik lain berlomba mendapatkan tempat duduk. Menuju Lebaran kali ini kakiku seperti terikat di kursi malas yang kududuki. Pikiranku dilumuti ingatan-ingatan pada Ua Milah, kakak perempuan ibuku.
Sejak kakek dan nenek tiada, setiap lebaran keluarga besar berkumpul di rumah Ua Milah. Ia selalu menyambut kedatangan kami dengan hangat dan berbagai sajian panganan buatannya. Tapi bila Ua Milah tak ada lagi di rumah, apakah berkumpul bersama keluarga masih diperlukan? Apa aku bisa berjabatan tangan dan berpura-pura memaafkan orang-orang yang membuat Ua Milah tak lagi di rumah? Terutama juga memaafkan diriku sendiri.
“Ceu Milah itu kasihan, dari kecil tidak terlalu disayang Kakek. Mungkin karena dianggap kurang berprestasi di sekolah,” kata bibiku.
“Maklum, sejak kecil Ceu Milah dibesarkan sama buyutmu yang lebih mempersiapkannya jadi petani dan tak terlalu memperhatikan pendidikan,” timpal ibuku.
Cerita itu kudengar saat aku masih SMP. Yang menggangguku, waktu itu, bukan soal Kakek yang pilih kasih. Bagiku sudah jelas, tidak seharusnya Kakek berbuat seperti itu. Apalagi saat kutangkap pancaran rasa bangga di mata bibiku, yang juara kelas dan paling disayang Kakek, saat menceritakannya. Yang menggelisahkanku gagasan buyut mempersiapkan anak jadi petani. Siapa yang tahu apa yang lebih jelas untuk masa depan seseorang? Barangkali karena saat itu aku pun sedang didera tugas-tugas sekolah yang rasanya menghabiskan masa remajaku.
Setelah SMA baru kumengerti kepandaian Ua Milah bertani dan modal kebun wasiat dari almarhum buyut memang membuatnya lebih mandiri dibandingkan ibu dan bibiku, yang menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Walau hal itu belum cukup untuk membuat Ua Milah menjalani hidup dengan tenteram. Ua Milah menikah dengan Ua Adung, pemetik kecapi paling andal di kota kecamatan. Ia cukup terkenal dengan pembawaannya yang memikat. Sayangnya Ua Adung cepat sekali menghabiskan hasil jerih payah Ua Milah. Sempat ibuku mengingatkan kakaknya agar dalam pernikahan tak satu pihak yang terlalu bekerja keras. Tetapi Ua Milah selalu menemukan penjelasan yang meyakinkan kami tentang keperluan-keperluan suaminya.
Bila Lebaran tiba sering kulihat air mata Ua Milah berderai saat Ibu dan bibiku sungkem. Mereka berpelukan, saling meminta maaf dan berlinangan air mata. Kukira itu kesempatan satu-satunya Ua Milah untuk menangis sambil sembunyi dalam selubung suasana bermaaf-maafan. Air mataku pun menetes. Tapi perasaan-perasaan pilu itu harus segera kami kemasi. Kami melanjutkan sungkem pada Ua Adung, seolah-olah kami tidak tahu jika ia terus-menerus menghabiskan hasil jerih payah Ua Milah. Setelah itu kami makan bersama dan bersenda gurau, seperti suasana Lebaran keluarga bahagia yang kulihat di TV. Sementara kepalaku sibuk menghitung. Untuk seorang seniman di kota kecamatan seperti Ua Adung, uang yang banyak habis dipakai untuk apa?
Suatu ketika Ibu menerima surat bertanda pos dari kota Riyadh. Rupanya pengirimnya Ua Milah. Ia berkabar keadaannya baik karena mendapatkan majikan yang tidak terlalu merepotkan. Ia tak perlu lagi jadi petani, karena kebun wasiat sudah dijual untuk membayar utang-utang suaminya. Kulihat Ibu sesenggukan, lalu menelepon bibi. Keduanya berbincang lama. Aku sendiri merasa lemas, menjatuhkan diri di tempat tidur. Apa iya, seorang suami boleh lebih tahu dan menentukan kepergian Ua Milah jadi buruh migran ketimbang adik-adiknya?
Sejak itu kami melewati tahun-tahun berlebaran tanpa Ua Milah. Kami tetap sungkem kepada Ua Adung. Kini Inten, anak tertua mereka, yang melanjutkan kebaikan Ua Milah. Inten menjamu kami dengan semur ikan mas, opor ayam, rengginang, wajit ketan, dan kue kembang goyang dari beras. Aku mengunyah kue kembang goyang sambil menyembunyikan kangen pada Ua Milah. Inten tersipu-sipu senang waktu kami melahap suguhannya. “Maaf saja kalau tak selezat buatan Ibu,” katanya.
Sejak itu aku merasa ingin lebih dekat dengan Inten. Tetapi ia seperti ingin membuktikan bahwa mampu setegar ibunya. Ua Adung memuji Inten yang cekatan seperti ibunya. Kami pun melupakan kekesalan pada Ua Adung yang membuat Ua Milah bekerja di negeri yang jauh. Kami semakin melupakan kekesalan itu ketika Inten membuka toko kecil, yang modalnya kiriman Ua Milah. Apalagi setelah datang surat dari Ua Milah yang meminta Rere, anak tertua bibiku, menemani Inten membuka toko. Tujuannya membantu meringankan beban bibi untuk biaya sekolah Rere. Tiga tahun Rere membantu Inten, hingga dapat menyelesaikan SMA. Walau Ua Milah meminta untuk terus tinggal sambil melanjutkan ke universitas, Rere menolak karena tak mau terlalu merepotkan.
Ua Milah akhirnya pulang ke Tanah Air. Kami menangis haru dan bahagia. Kulitnya tampak pucat, karena bertahun kurang terpapar matahari. Tak ada lagi jejak-jejak kulit petaninya. Sementara kami mengamatinya lekat-lekat karena kangen, Ua Milah sibuk menghadiahi kami abaya berbagai model. Hanya Rere yang tak hadir menyambut Ua Milah, karena sedang diperkenalkan kekasihnya pada calon mertua.
“Ua mah cape-cape kerja pingin ada keturunan kita yang kuliah. Eh, malah buru-buru nikah. Padahal, Rere kan anaknya pintar,” keluh Ua Milah. Bibiku tersipu malu menyadari anaknya tak dapat memenuhi harapan kakaknya.
Ua Adung hari itu mengenakan pakaian terbaik, berseri-seri menyambut tetangga yang juga ingin bersilaturahmi dengan Ua Milah. Inten menutup toko. Aku membantunya menyiapkan minuman untuk keluarga dan tamu. Bila ada sedikit luang, Inten duduk merapat pada ibunya, sambil bertanya ini-itu. Matanya berbinar seperti bulan purnama.
Sebulan sebelum menikah, Rere menghampiri aku yang sedang menyiram bunga di teras. “Apa iya, kamu sudah mau menikah? Apa sudah dipikir matang-matang?” tanyaku, karena setahuku belum terlalu lama Rere mengenal lelaki yang akan jadi suaminya.
Mula-mula Rere memberi jawaban melingkar-lingkar, dari alasan tak ingin merepotkan orang tua hingga menghindari dosa berpacaran. Lama-lama ia menangis, tak kuasa menutupi ini-itu. Pelan-pelan ia bercerita bahwa Ua Adung sering memintanya menemani tidur. Walaui Rere selalu menolak, tapi ingatan peristiwa itu menjadi belatung dalam hidupnya. “Aku butuh rasa aman, Teh. Aku butuh berjarak dengan keluarga kita. Tapi tolong Teteh jangan ceritakan ini pada siapa pun. Aku tak ingin membuat Ua Milah menderita.”
Permintaan Rere di akhir cerita membuatku seperti pendekar yang dipaksa menyerahkan pedang. Kami menyimpan rahasia itu sambil terus mengawasi tindak-tanduk Ua Adung.
Sejak itu aku memang tak sudi makan setikar dengan Ua Adung. Tetapi Lebaran selalu memaksaku untuk berpura-pura tidak mengetahui kejahatannya. Lalu berpura-pura memaafkannya.
Sekembali Ua Milah, toko semakin maju. Modal ketelatenannya sebagai petani berbekas pada cara ia memajukan toko. Baru setahun, dua tahun, kemajuan itu, diam-diam Rere mengabari aku, Ua Adung menikah lagi dengan perempuan di kecamatan tetangga.
Tetapi tak ada yang berubah dalam cara Ua Milah membicarakan suaminya. Entah karena cinta, entah karena apa, Ua Milah selalu menjadi orang yang paling andal dalam meyakinkan kami bahwa suaminya tak seburuk sas-sus yang kami dengar.
Sesekali, entah karena apa, Ibu dan bibiku menimpali ketabahan Ua Milah dengan doktrin agama yang dimengertinya. Terutama tuntutan menjadi istri solehah yang akhir-akhir ini sering mereka terima melalui broadcast WhatsApp. Tren di kalangan ibu-ibu yang menjamur beberapa tahun ini.
Sesekali ketiganya membenarkan ustad-ustad populer yang sedang pamer poligini di saluran gosip di TV atau sosial media. Bagaimanapun, poligini lebih baik daripada berzinah. Kurang lebih begitu tanggapan yang kudengar dari perbincangan mereka. Memang keluarga tidak ada yang benar-benar membenarkan Ua Adung berpoligini. Tapi, apa bedanya? Atau apakah menurut keluargaku sas-sus Ua Adung tukang main perempuan menjadi lebih diterima setelah poligini diam-diam?
Kuamati Inten tak memedulikan apa pun. Ia tetap bekerja keras seperti saat ibunya jadi buruh migran. Hanya aku dan Rere yang terus awas, seperti dua ekor anjing penjaga, tetapi dengan mulut ditutup brongsong.
Lama-lama toko Ua Milah menciut menjadi warung. Laba yang mereka dapat mesti dibagi dengan dapur Ua Adung di rumah yang lain. Semakin sedikit penghasilan Ua Milah, semakin surut pula rasa hormat Ua Adung kepadanya. Tak lagi kami mendengar Ua Adung memuji istrinya yang cekatan, loyal, dan pujian lainnya.
Ua Milah semakin lama semakin layu juga kesehatannya “Barangkali Ua baiknya ke Arab lagi, tapi badan sudah tak sebugar dulu,” keluhnya suatu kali.
“Bila boleh berpendapat, aku tak akan mengizinkan Ua pergi lagi. Tinggalah bersama Ibu atau Bibi. Sudah cukup Ua bekerja keras,” kataku. Dalam hatiku gemeletuk geram, tak boleh lagi Ua Adung membuat Ua Milah jadi sapi perah.
Sejak itu Ua Milah memang lebih sering di rumah Ibu daripada di rumahnya. Ia merawat semua bunga. Ia menanam segala yang bisa ditanam. Tangan dinginnya membuat keluargaku lebih banyak memetik daripada membeli. Bila Ua Adung menjemputnya, tergopoh-gopoh ia mengikuti mau suaminya.
Suatu hari Ua Milah mengirim pesan singkat, “Tolong pinjamin Ua dua juta. Ua Adung sedang dikejar-kejar rentenir.” Seperti kucing diajak berkelahi, semua duriku berdiri. Tetapi aku berusaha menjawab dengan lembut agar tak melukai perasaannya. Bahwa aku tak dapat menolong kesulitan suaminya.
Tak lama kemudian kudengar kabar Ua Milah jatuh sakit. Kali ini ia membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit. Keluarga baru mengerti, rupanya sudah lama Ua Milah mengidap TBC. Sebulan kemudian, Ua Milah berpulang. Tepatnya sebulan sebelum Lebaran tahun ini. Aku yang sudah jauh merantau tak bisa segera pulang kampung. Rere meraung-raung di telepon. Aku pun terhuyung-huyung pilu. Ibu dan bibiku menangisi suratan nasib perempuan yang paling pekerja keras di antara kakak-beradik itu.
Kepergian Ua Milah tak hanya membuatku sedih, tapi juga gelisah. Apa iya, setiap kematian itu alami? Apa iya, setiap kematian itu suratan dari sang Pemberi Hidup? Bila aku, Rere, dan keluargaku tak cukup bersungguh-sungguh mempertahankan hidup dan penghidupan Ua Milah? Apa iya, kami tak diberi tanggung jawab terhadap sesama oleh Sang Perawat Hidup?
Matahari kini sudah muncul. Cahayanya jatuh pada embun yang menggenang di daun dan kelopak lotus. Cahaya itu menjadi matahari-matahari kecil yang memancarkan energi. Tetapi kakiku masih terikat kursi malas. Tubuhku bergelayut dimakan lumut kenangan. Apa iya, Lebaran ini aku harus pulang? Apa iya, aku harus berpura-pura memaafkan Ua Adung, keluargaku, keluarga bibiku, dan terutama diriku? Apa iya, aku harus terus berpura-pura bahwa keluarga besarku baik-baik saja? Apa iya, aku harus berpura-pura mempercayai bahwa doktrin istri solehah yang merugikan Ua Milah itu sebuah kebenaran?
Dewi Nova lahir di perkebunan teh Santosa, Pangalengan – Bandung. Ia menulis puisi, cerpen, esai dan profil budayawan dan seniman. Karyanya tersebar di beberapa harian dan media on line. Bukunya yang telah terbit Perempuan Kopi (kumpulan cerpen) dan Burung-Burung Bersayap Air (kumpulam puisi). Saat ini Dewi tinggal di Tangerang Selatan, Banten, dapat dihubungi melalui dewinova.wahyuni@gmail.com atau akun instagram de_nova_