Puisi sebagai salah satu bentuk kesusastraan tertua di dunia. Kehadirannya telah melengkapi kebudayaan manusia, hampir di semua penjuru. Di tiap-tiap tempat, puisi bahkan mampu merupa dengan bentuk yang berbeda-beda.

Di benua eropa, daratan china, arab bahkan di bumi nusantara ini, puisi mewujud dalam keunikan khasanah budaya manusianya.

Kita mengenal ada syair, kwatrin, soneta, gurindam, kakawin hingga macapat.

Epos atau wira carita, dan tutur petuah kebajikan, hingga ramalan sekalipun, banyak yang disampaikan dalam bentuk puisi. Syair Abu Nawas, Les Prophéties, Bharatayuddha, I La Galigo, Serat Centhini, dan Jangka Jayabaya adalah sedikit contoh untuk disebutkan.

Tidak terkecuali kita mengenal pula yang disebut haiku. Puisi berpola 5, 7, dan 5 suara atau suku kata (morae) yang dipopulerkan antara lain oleh Matsuo Bashō, seorang samurai yang kemudian memilih jalan hidup menjadi seorang penyair.

[iklan]

Haiku, meski merupakan puisi pendek yang biasa ditulis dalam satu baris, namun di dalamnya terdapat kompleksitas, baik pemilihan diksi maupun makna. Haiku biasa menghadirkan dua ide yang berdampingan untuk ditautkan.

Salah satu contoh haiku yang terkenal yang ditulis Matsuo Bashō adalah haiku “Katak” berikut:

古池や / 蛙飛び込む / 水の音

furu ike ya / kawazu tobi komu / mizu no oto

kolam tua / katak melompat masuk / suara air

Kur 267, Haiku dalam Bahasa Tegalan

Tegal sebagai salah satu kota seni memang sejak lama telah menjadi kota yang sudah tidak asing lagi di peta kesenian, khususnya kesusasteraan Indonesia. Tegal yang telah melahirkan banyak sastrawan dan seniman berbakat dan menjadi persinggahan dari banyak sastrawan dan juga seniman Tanah Air. Sebut saja Emha Ainun Najib, Rendra dan Ebiet G Ade yang pernah akrab dengan kota Tegal. Pun hingga hari ini, kegiatan kesusastraan masih terus menggeliat dan bergelora di Tegal. Ide-ide kesusastraan terus saja tumbuh. Salah satunya adalah Kur 267.

Kur 267 (baca: Kur Loro-Enem-Pitu) ialah sebuah genre estetika baru dalam persajakan Puisi Pendek Tegalan. Genre baru ini digulirkan oleh Lanang Setiawan beserta Dwi Ery Santoso dalam diskusi bersama Mohammad Ayyub dan lainnya di sebuah warung pada tanggal 2 Januari 2020.

Secara etimologi Kur 267 berasal dari bahasa Tegalan yang artinya cuma atau hanya. Memiliki padanan kata Tegalan yakni mung atau gel.

Penamaan 267 berasal dari jumlah suku kata untuk setiap baris/larik dalam Kur. Lebih jauh angka 267 dimaknai sebagai penanda Hari Kelahiran Sastra Tegalan yang selalu diperingati pada tiap tanggal 26 November.

Adapun angka 7 dalam bahasa Tegalan dibaca “pitu”, dimaknai sebagai “pitulungan” (pertolongan). Dalam konsep yang lebih luas, tanggal 26 Novembar adalah pitulungan bagi kelangsungan masa depan bahasa Tegalan yang terpinggirkan untuk kemudian diperjuangkan dalam gerakan Sastra Tegalan yang selama seperempat abad diperjuangkan oleh Lanang Setiawan yang bergerak menekuni sastra lokal sejak dia melahirkan sajak “Tembangan Banyak” yang merupakan pengalihbahasaan puisi “Nyanyian Angsa” karya penyair Rendra ke dalam bahasa Tegalan pada tahun 1994.

Pola Tuang Kur 267

Kur 267 terdiri atas 3 baris. Baris ke 1 terdiri atas 2 suku kata berupa kata sifat/keadaan. Baris ke 2 terdiri atas 6 suku kata berupa kalimat yang menggambarkan peristiwa. Baris ke 3 terdiri atas 7 suku kata berupa kalimat yang menunjukkan sebuah penutup mengandung akibat sebagai konsekuensi dari hubungan kausalitas antara baris pertama dengan baris kedua. Atau bisa sebagai penegasan. Sebagaimana berlaku juga dalam Haiku.
Contoh Kur 267 dapat disimak di bawah ini:

PEGAT

Berem
Pegat ben taun
Nyangga isin por nemen

MOMOK

Sérong
Momok bebojoan
Wilad mbangkana lara

MONCÉR

Begér
Sajak lokal lair
Tegal sangsaya moncér

JANJI

Nyatu
Nyong kowen nyawiji
Janji urip semati

SETIA

Jujur
Tulus jero ati
Ngucap janji setia

Tiga Kur 267 yang pertama ditulis oleh Lanang Setiawan, sementara dua Kur 267 di bawahnya ditulis oleh Ria Candra Dewi.

Dalam menuang kata pada Kur 267 tidak diperkenankan menggunakan kata sambung seperti kata nang, nganti, ne, sing, dan lain-lain.

Kur 267, sebagaimana disebutkan Lanang Setiawan, “Laksana Musik Blues dan Matematika. Membuat Kur 267 itu antara Bait 1, 2 dan 3 seperti berdiri sendiri.”

“Ya…. ibarat musik Jazz, tiap-tiap pemainnya, memainkan musiknya seolah berjalan sendiri-sendiri, tapi hakekatnya terjalin padu. Inilah genre sastra Tegalan yang indah laksana musik Jazz, sekaligus bermatematika,” pungkas Lanang. (DK)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *