Puisi adalah media ekspresi yang sangat tidak asing, cukup akrab bagi siapa saja dan dimana saja kapan saja takkan dipungkiri hendak membantah, ingin menapikan lantaran sudah kemestian yg pasti bagi setiap orang yg telah terlanjur hidup normal dipentas dunia ini, ingin hidup menang, senang dan tenang memenangkan dunia ini. Begitulah kiranya ketika saya membaca kumpulan buku Kitab Hujan karya Nana Sastrawan. Ada ruang normal dan abnormal, ruang dimana saya bisa berekpresi dengan leluasa, ruang yang penuh imajinasi dan mengejutkan, ruang masa lalu, kini dan mungkin akan datang. Ketika membacanya hanya seakan tertarik kedalam ruang itu dan cukup lama untuk keluarnya lagi.

Sungguh puisi – puisi dalam buku kedua karya Nana Sastrawan menyentuh, imajinatif, sarat makna dengan irama, persajakan, sonansi dan sangat memperhatikannya seluruh fenomena dan peristiwa yang merupakan dunia sekitar terekam. Menurut pemikirku, ada amanat yg ingin disampaikan penulis pada pembaca Kitab Hujan tentang hidup yang lurus untuk menuju kebenaran karena hanya engkaulah sendiri yg bisa menjaga dirimu karena dengan akal semata belum menjamin manusia. Melalui Kitab Hujan mari saling mengisi dan melengkapi karena kita hidup tidaklah sendiri, kita hidup bersama orang-orang yg kita kasihi. Mari mengarungi perjalanan hidup dengan ketulusan dan kesetiaan. (Ucha September, pembaca Kitab Hujan)

[iklan]

Nana adalah tubuh puisi yang hidup. Saya curiga puisi-puisinya di buku adalah matanya, hidungnya, telinganya, dan segala indranya yang lain. (Pringadi Abdi Suryapenyair dan cerpenis)

“… tak terelakan, kita akan terdiam di tengah kesendirian …” (Kidung Kematian) adalah salah satu larik yang menarik bagi saya. Atau, dengan kata lain, demikianlah puisi-puisi Nana hidup dan berawal dari kesendirian. Ia serta merta mengkristalisasikan pengalamannya berjalan ke berbagai tempat,ruang, dan waktu seperti dalam sajak Pelabuhan Ratu, Kota, atau Tengah Malam. Dalam kesendirian juga ia berbicara tentang sosok dan tokoh, seperti Ibuku Perempuan Gila, Perempuan, atau sajak-sajak yang ia dedikasikan bagi WS Rendra juga Mbah Surip.

Rupanya, Nana paham betul bagaimana seharusnya ia menyikapi kesendiriannya. Ia berhasil mereka ulang pengalamannya sebagai puisi. Selain mereka ulang, ia juga menyatakan sikap yang tegas melalui cara pandangnya sendiri atas segala hal yang terjadi, dan melingkupi dirinya. Maka, tidak heran, jika puisi-puisi Nana begitu khusyu mengolah kesendirian sebagai simulacrum. (Yopi Setia UmbaraPenyair).

Pemesanan Buku
0877884848000 (jika persediaan ada)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *