Oleh Maemunah, S.Pd.I
Terkadang mulut terlampau lelah berkata-kata
dan sering kali kecepatan gerak mulut tak sejalan
dengan letupan-letupan pemikiran di kepala
Maka menulis adalah jawabannya
(Ristiana Manao)
Untaian kata yang ditulis Ristiana Manao di atas, cukup mewakili keadaan sebagian besar dalam mengekspresikan perasaannya. Disadari atau tidak, kadang apa yang terucap seringnya tidak terlalu digubris, ada istilah masuk kuping kiri, keluar kuping kanan, atau bahasa lainnya, hanya dianggap angin lalu. Namun berbeda jika menggunakan kata yang tertulis, karena apa yang tertulis akan tetap mengabadi, dan yang terucap akan berlalu bersama angin (kata bijak Yunani).
Terkadang pula, dalam permasalahan tanggapan orang terhadap kesalahan seseorang yaitu sangat berbeda ketika orang itu kalah dalam ucapan (lisan) itu mungkin masih bisa ditolerir, berbeda ketika kesalahan tersebut ada pada kesalahan omong yang tertulis. Mungkin akan terus diperdebatkan kebenarannya. Itulah kekuatan tulisan. Tajam dan tidak mudah terlupakan.
Walaupun seperti biasanya, awal kali, saya merasa bingung karena tidak tahu apa yang harus keluar terangkum olah pikir dan hati saya. Dengan modal ingin saja menulis, berharap ada cerah dan sejuk dalam batin yang sering kali merasa gundah tidak tahu apa yang tengah dirasa karena persoalan-persoalan hidup yang tak pernah ada habisnya.
Telah habis kata terucap di bibir telah habis pikir untuk berkata lewat suara. Mungkin itu pula yang membuat saya harus melakukan hal ini (menulis), karena aktivitas menulis ternyata mampu memposisikan sebagai jawaban dari segenap rasa. Menulis adalah jawaban dari separuh kisah hidup yang masih tanda tanya. Menulis adalah ekspresi jiwa seseorang dalam mempertahankan hidupnya. Menulis itu menghidupkan jiwa yang mati. Bahkan meskipun raga kita sudah benar-benar tiada (tutup usia), karya tulis kehidupan tetap akan dapat dikenang oleh mereka yang masih hidup. Seperti yang dialami RA Kartini, Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, Iwan Simatupang, Kuntowijaya, Abraham Lincoln, dan para penulis kenamaan lainnya yang sepanjang perjalanan hidup manusia senantiasa selalu dikenang. Bahkan dijadikan teladan bagi generasi sesudahnya.
Benar memang, bahwa hidup ini pada dasarnya untuk menghadapi persoalan satu kepersoalan lainnya. Tidak lebih dari itu. Oleh karenanya, mustahil hidup di dunia ini tak pernah ada masalah. Sebab disadari ataupun tidak, hidup adalah interaksi alam (manusia dengan lingkungan) yang terjadi karena adanya komunikasi baik langsung maupun tidak. Maka saya coba lakukan aktivitasnya menulis ini sebagai salah satu bentuk komunikasi tidak langusng yang mudah-mudahan bisa bermanfaat.
Menulis dan menulis adalah jalan terbaik untuk mengurangi beban sekaligus melatih kepekaan dalam proses kehidupan. Selain itu, menulis juga dapat membantu seseorang untuk mengenali diri, mengenali pikiran, perasaan, dan apapun yang bergejolak dalam diri (Hernowo).
Lalu bagaimana caranya? Tanya itu sepatutnya kita tanyakan pada diri sendiri, sebab yang mengetahui segala masalah dan yang akan dihadapi serta selesaikan tentu adalah diri kita sendiri. Bukan orang lain. Karena orang lain hanya sebagai sarana bertukar pikir (tempat curhat). Orang lain hanya separuh kecil yang bisa memahami kondisi kita. Selebihnya keputusan tetap ada di tangan kita.
Sukses gagalnya jalan hidup ini adalah kita yang punya keinginan, lakukan saja apa yang jadi inginmu. Karena hidup ini sendiri, berdua pun hanya dengan Tuhan, orang lain tak pernah benar-benar tahu adalah ungkapan seseorang Fahmi Fathurrahman, salah satu rekan senior saya ketika beliau menjawab permasalahan yang tengah saya hadapi. Apa yang ia katakan sangat indah didengar, dan terasa merdeka di hati. Bagaimana tidak, ungkapan tersebut seolah hidup yang sedang kita jalani tanpa ada yang melarang atau memaksa sesuatu itu harus ini dan itu. Karena hidup hakekatnya sendiri, berdua pun toh hanya dengan Tuhan, dan orang lain di luar sana tak penar benar-benar mengetahui, apalagi mengerti.
Orang yang berbakat gagal melihat masalah sebagai hambatan. Sedangkan orang yang sukses melihat masalah sebagai tantangan yang membuat hidup lebih bergairah. Demikian pula dalam menulis, sepakatkah anda dengan pernyataan Muhammad Fauzil Adhim di atas? Bahwa menulis sebagai jembatan dari segala kegelisahan-kegelisahan yang dirasa menyiksa. Menulis sebagai jawaban dari gejolak hati manusia yang terdalam. Bahkan, Ristiana Manao mengakui sepenuhnya terkait lisan yang berucap terkadang tak sepadan dengan nurani dan apa yang saat itu terlintas oleh pikir, maka menulis adalah jawabannya.
Mulut bungkam, blibet, pikiran mumet, hati gundah gulana, dan segala rasa yang tak mengenakan lainnya. Solusi tepat adalah sesegera mungkin melampiaskannya dalam tulisan. M Arief Hakim dalam bukunya yang berjudul . Kiat menullis Artikel di Media mengungkapkan bahwa menulis pada hakikatnya adalah upaya mengekspresikan apa yang dilihat, dialami, dirasakan, dan dipikirkan ke dalam bahasa tulisan (hal 15). Jadi, mulailah membiasakan menulis sebagai sarana dalam mengekepresikan hidup.
Maemunah, S.Pd.I adalah seorang penulis buku dan Direktur Penerbit Hyang Pustaka. Karya-karya novel di antaranya, Ta’aruf Cinta, Pesan dalam Bisu, Takut Kehilangan. Beberapa artikelnya banyak dimuat di media cetak.