Jembatan Suram-Adu

Akhmad Idris

Senja menjadi pilihan yang tepat untuk sekadar berbicara tentang dunia dan segala hal indah yang mengelilinginya. Ketenangan dan kenyamanan yang diberikan oleh senja membuat cerita sederhana atau rumit tetap menyenangkan untuk dibicarakan di depan secangkir, teh, kopi, atau susu hangat. Senja kali ini Sugiman ingin mengajak kekasihnya menikmati senja di pinggiran jembatan Suramadu. Area pinggiran Suramadu atau biasa disebut dengan Kedung Cowek memang menjadi tempat favorit di Surabaya untuk “menghabiskan matahari”. Lautan yang memisahkan antara Jawa dan Madura tersebut mampu menjadi oase untuk meredam panas terik di Surabaya. Kumpulan batu-batu di pinggiran Suramadu disertai alunan indah debur ombak menjadi penghapus pilu bagi orang-orang yang sedang merindu atau menjadi melodi ritmis penenang hati yang cemas merenungi nasib bumi. Nila, kekasih Sugiman tak perlu berpikir dua kali untuk menyetujui ajakan kekasihnya. Sebuah warung kopi yang berdinding dan beratap terpal di pinggiran Suramadu menjadi saksi bisu pembicaraan mereka.

[iklan]

“Nil”, panggil Sugiman pada Nila.

“Menurut kamu, Aku Kuda Nil?”. Nila menanggapi panggilan kekasihnya dengan pura-pura tersinggung.

“Kamu Kuda Nil pun Aku tetap cinta”.

“Man Sugiman, janjimu licin seperti Caleg”.

“Hehehe, harus licin untuk menjatuhkan hatimu ke hatiku”.

“Man, hasil yang diperoleh dari tindakan licin hanya bersifat sementara. Kamu mau Aku mencintaimu hanya sesaat?”

“Baiklah, Aku menyerah. Kamu memang satu di antara milyaran manusia yang tidak bisa dirayu dengan janji-janji manis”.

“Semua janji itu manis, Man; tetapi hidup tak selalu manis. Berjanjilah yang realistis, bukan yang manis”.

“Siap, Bos-ku! Tapi bisakah kita membicarakan sesuatu yang lain? Tentang keindahan senja di sini mungkin?”.

“Suramadu memang indah ya, Man?”.

“Keindahan harus dibayar mahal!”.

“Tentu saja mahal, Man. Kurang lebih 5,5 Triliun yang harus dikeluarkan untuk merealisasikan jembatan terpanjang di Indonesia ini”.

“Ini bukan hanya masalah uang, Nil. ‘Mahal’ tak melulu tentang uang”.

“Lalu?”.

“Selalu ada pengorbanan dalam keindahan. Misalnya saja; keindahan jabatan merupakan hasil dari pengorbanan mati-matian dalam mencari ‘suara’. Keindahan alam merupakan hasil dari pengorbanan kesabaran manusia dalam menekan ‘jiwa perusak’nya. Begitu juga jembatan ini. Keindahan dan ketangguhannya merupakan hasil dari pengorbanan cerita-cerita tersembunyi selain uang 5,5 Triliun”, jelas Sugiman dengan mata menerawang.

Jembatan Sura-Madu; seperti itulah ejaan yang digunakan oleh kebanyakan orang. Namun, ejaan tersebut tidak berlaku bagi Sugiman. Sugiman meyakini bahwa selalu ada cerita lain di balik keindahan, bahkan bisa saja ada bertumpuk kesedihan di balik keindahan. Sugiman lebih senang mengejanya menjadi -Suram- dan -Adu- daripada -Sura- dan -Madu-. Semoga, setelah ini Sugiman bersedia mengungkapkan alasan atau cerita di balik semua itu.

***

Sugiman berjalan mendekati bibir pantai (meskipun tidak seperti pantai pada umumnya) dengan kondisi langit berwarna merah kekuning-kuningan. Memang benar, semesta adalah keindahan tiada tara yang tak akan mampu ditandingi oleh ciptaan manusia super sekalipun. Di antara kicauan burung-burung ‘penikmat’ senja dan ikan-ikan di laut, Sugiman menjelaskan bahwa sebutan Suramadu sebagai singkatan Surabaya dan Madura menunjukkan kesan terpaksa. Nila mengernyitkan dahi mengisyaratkan bingung dengan “kesan terpaksa”. Sugiman menangkap kebingungan itu dengan penjelasan bahwa Surabaya adalah nama kota, sedangkan Madura adalah nama pulau. Penggabungan yang tepat menurutnya adalah kesesuaian antara dua hal yang digabungkan. Jika nama kota, maka seharusnya digabungkan dengan nama kota juga (menjadi “Surabangka” dari Surabaya dan Bangkalan); begitu pula kalau yang diinginkan nama pulau (menjadi “Jama” dari Jawa dan Madura). Analisis tersebut menguatkan keyakinan Sugiman bahwa nama Suramadu sebenarnya bukan untuk menyingkat Surabaya-Madura, tetapi ada kisah lain yang tersembunyi atau memang sengaja disembunyikan.

Sebelum melanjutkan ceritanya, Sugiman menghampiri penjual pentol dengan gerobak yang tertulis ‘PENTOL (O bukan i)’. “Pedagang sekarang jauh lebih kreatif daripada ‘mereka’ yang mengaku akan mengayomi rakyat dengan lebih kreatif”, ungkapnya dalam hati. Memasuki waktu malam, area sekitar Suramadu akan menjadi ‘pasar dadakan’; sebab berbagai macam Pedagang Kaki Lima akan mulai memadati dan menawarkan dagangannya lengkap beserta muda-mudi yang mengaku sedang ‘menikmati’ masa mudanya.

“Pentolnya enak, Man”, ungkap Nila tentang rasa pentol yang baru dilahapnya.

“Iya, tetapi pentol pakai ‘o’ ya bukan pakau ‘i’”, canda Sugiman yang diikuti gelak tawa bersama-sama.

“Man, ayo lanjutkan cerita asal-usul nama Suramadu versimu. Aku penasaran”.

“Baiklah, Nil. Pemilihan nama jembatan ini menurutku dilatarbelakangi oleh dua hal, yakni kesedihan dan pertikaian. Kesedihan yang disebabkan oleh penggusuran, kematian, kecelakaan, dan sebagainya. Pertikaian yang disebabkan oleh perseteruan antara pihak yang bergembira dengan pembangunan jembatan dan pihak yang diam-diam bersusah hati dengan pembangunan tersebut.

***

KMP (Kapal Motor Penyeberangan) Joko Tole merapat dengan gagah di Pelabuhan Ujung komplek Tanjung Perak. Kapal yang mengangkut penumpang dari pulau Madura tersebut selama beberapa masa telah menjadi penghubung antara Jawa dan Madura. Selain KMP Joko Tole, juga terdapat KMP Trunojoyo, KMP Gajah Mada, dan lain-lain. Pelabuhan memang menjadi salah satu tempat yang dinanti. Di sini sebagian orang menemukan jodohnya, menjemput rezekinya, menanti putra-putrinya, menunggu belahan hatinya, bahkan mengenang cerita-cerita yang dipaksa untuk melupakan. Pelabuhan Ujung Tanjung Perak merefleksikan miniatur kehidupan; seperti pertemuan dan perpisahan, penjualan & pembelian, keuntungan dan kerugian, kepulangan dan kepergian, atau kegembiran dan kemarahan. Penjual telur puyuh dan beberapa bungkus permen terlihat menawarkan dagangannya kepada para penumpang. Terkadang sumringah karena pembeli tidak mau mengambil uang kembalian, terkadang juga gelisah karena ‘calon’ pembeli pura-pura tidak mendengar tawarannya. Penjual tersebut menggerutu di dalam hati, betapa sulitnya menggerakkan dua bibir untuk sekadar berkata tidak atau dengan menggelengkan kepala.

Seorang Bapak tua bertopi biru terlihat mondar-mandir di bibir dermaga dengan memegang sapu di genggaman tangannya. Bapak tua tersebut ternyata pegawai kebersihan di Pelabuhan Ujung Tanjung Perak. Ia terlihat lebih tua dari umurnya dengan perawakan punggung membungkuk dan rambut putih yang tampak sebagian sebab ditutupi topi. Petugas penjaga pintu masuk mengatakan bahwa usia Bapak tua tersebut masih 58 tahun, padahal Bapak tua tersebut terlihat berumur di atas 60 tahun. Langkah kakinya yang masih kokoh dan cekatan membuatnya tetap dipertahankan sebagai pegawai kebersihan, meskipun dipengaruhi juga oleh faktor ‘iba’. Iba karena ia memiliki istri yang terjangkit kanker otak stadium akhir. Di sudut lain, seorang anak kecil mengenakan kaos kebesaran bertuliskan “Bondo Nekat” sedang membawa ecek-ecek [1] dari tutup botol bekas yang digunakan sebagai pengiring suara cempreng[2]nya. Ia sudah biasa mengamen di area masuk kapal ‘menyambut’ para penumpang. Lewat simpati para penumpang, ia melengkapi kelangsungan hidup sehari-hari. Ia tak pernah tahu siapa orang tuanya, bahkan ia pernah iseng mengatakan bahwa ia dilahirkan oleh Malaikat. Tempat tinggal juga tak punya. Jika ada yang bertanya dimana rumahnya, ia hanya menjawab “sesuai kata Rhoma Irama, langit sebagai atap dan bumi sebagai lantai”.

Gerah, kotor, bau (bau keringat dan bau-bau yang lain) di pelabuhan ternyata menyimpan kisah-kisah menakjubkan. Tak peduli sekeras apapun hidup, pelabuhan ini telah menjadi ‘penopang hidup’ bagi sebagian orang; baik penjual, pegawai, penumpang kapal, atau anak kecil pecinta Rhoma Irama. Namun, pemandangan pelabuhan ujung mendadak berubah seratus delapan puluh derajat. Terdengar kabar bahwa pemerintah akan segera merealisasikan pembangunan jembatan terpanjang di Indonesia yang menghubungkan antara Jawa dan Madura. Usaha pemerintah untuk meningkatkan perekonomian Madura dan sekitarnya disambut dengan baik oleh semua kalangan. Tanpa diketahui banyak orang, ada sebagian orang yang kelangsungan hidupnya sedang terancam.

***

Telur puyuh sudah banyak yang basi dan beberapa bungkus permen sudah melewati masa kadaluarsa. Penjual telur puyuh hanya bisa menunduk sedih, mengutuk apapun yang ada di sekitarnya, dan puncaknya ia ingin membanting semua dagangannya. Toh, tak dibanting pun dagangannya juga tak akan laku. Setelah peresmian jembatan Suramadu, penumpang kapal di Pelabuhan Ujung semakin menurun secara drastis. Penjual telur puyuh hanya bisa menggeram marah, tetapi ia kebingungan kepada siapa harus marah. Ia merasa jembatan itu telah merampas kelangsungan hidupnya. Jembatan itu yang telah mengambil semua pembelinya. Entah apa yang ada di kepalanya, tetiba ia keluar dari pelabuhan mencari angkutan umum yang mengarah ke jembatan itu. Di dalam angkutan, ia sudah menyiapkan sebuah korek api yang diselipkan di saku celananya. Ia bertekad akan membakar jembatan itu dengan sebuah korek api. Sesederhana itu pemikirannya. Ia tak pernah tahu jembatan itu tidak sama dengan jembatan kayu di kampung halamannya yang akan dengan mudah terbakar hanya dengan sepercik api. Ia memang tak pernah tahu, tetapi setidaknya ia telah jujur dengan dirinya sendiri. Ia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa ia terluka. Sayangnya, kejadian selanjutnya berlangsung tragis. Penjual telur puyuh membakar dirinya sendiri, karena putus asa dengan usahanya yang berkali-kali tidak membuahkan hasil saat membakar jembatan itu. Setelah berteriak kalut sebab api panas yang membakar tubuhnya sendiri, ia menceburkan dirinya sendiri ke tengah laut. Konon di malam-malam tertentu, dari tengah-tengah jembatan akan muncul sosok kepala tanpa tubuh yang diselimuti oleh api atau biasa disebut dengan istilah ‘kemamang’[3]. Hal tersebut diyakini sebagai kepala penjual telur puyuh yang sedang mencari dagangannya yang tertinggal di pelabuhan.

Di tempat lain, seorang Bapak tua bertopi biru ditemukan meninggal dunia di rumahnya dengan kondisi memegangi perutnya. Di samping jasadnya, ditemukan juga jasad istrinya yang diduga meninggal dua hari sebelumnya. Kematian pasangan lansia tersebut diduga karena dehidrasi dan kelaparan. Setelah pembangunan jembatan Suramadu selesai, pihak pengelola Pelabuhan Tanjung Perak melakukan pengurangan pegawai. Kehilangan pekerjaan membuat Bapak tua tidak memiliki pemasukan sama sekali. Uang yang tersisa hanya dapat digunakan untuk beberapa hari, bahkan sekadar untuk membeli air saja tidak ada. Sering terlihat penampakan sosok tinggi bertopi biru di pinggiran bagian tengah jembatan Suramadu. Ketika kendaraan berhenti untuk melihat dan memastikan, ternyata sosok itu menghilang kemudian tercium bau wangi bunga sedap malam.

Nasib naas juga menimpa bocah berbaju ‘Bondo Nekat’. Penumpang yang diharapkan datang untuk memberikan sekeping dua keping uang receh ternyata tak kunjung datang. Tiada penumpang, berarti tiada pemasukan; pikirnya. Ia memutuskan bernyanyi dari satu bus ke bus yang lain. Ketika menaiki bus jurusan Sumenep, ia tetiba meminta berhenti di tengah-tengah jembatan Suramadu. Setelah turun dari bus, ia menyanyikan lagu “Gelandangan” sekencang-kencangnya kemudian melompat ke tengah laut. Suara cemprengnya sering terdengar melalui kicauan burung-burung di kala senja,

***

“Nil, ceritaku sudah selesai. Mengapa engkau justru melamun?,” tanya Sugiman setelah selesai bercerita.

“Oh iya, maaf. Aku masih terbayang nasib ‘mereka’ yang kau ceritakan. Tetapi, apa itu benar-benar terjadi, Man?” tanya Nila penasaran.

“Itu hanya cerita versiku, Nil. Kau berhak memilih percaya atau tidak. Bagiku, Suramadu bukan Surabaya-Madura. Itu hanya kamuflase terhadap makna sesungguhnya. Suramadu itu diambil dari Suram dan Adu. Suram karena kejadian-kejadian menyedihkan di balik kegagahannya dan Adu karena pertikaian antara yang setuju dan tidak setuju yang sengaja disembunyikan”.

“Jadi kamu membacanya Sura-Madu atau Suram-Adu?,” tanya Nila lagi.

“Aku tidak berani mengejanya, Nil. Takut ada yang Marah!”

Surabaya, 18 Januari 2020

Akhmad Idris. Seorang lelaki lulusan Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, lahir 1 Februari 1994. Baru-baru ini telah menerbitkan buku kumpulan esai dengan judul Wasiat Nabi Khidir untuk Rakyat Indonesia (2020). Salah satu cerpennya pernah menjadi juara haparan 3 dalam lomba penulisan cerpen Pekan Budaya 2016 oleh HMJ Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang. Beberapa cerpen juga pernah dimuat di beberapa media online seperti Himmah Online milik Universitas Islam Malang dan Majalah Pewara Dinamika milik Universitas Negeri Yogyakarta.

 

[1] Sejenis alat musik yang terbuat dari kayu dan beberapa keeping tutup botol bekas. Biasanya digunakan untuk mengamen

[2] Nama lain dari fales

[3] Sejenis hantu kepala yang diselimuti api

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *