Hari ini Jakarta berulang tahun. Perayaan Ulang Tahun Kota Jakarta itu identik dengan Jakarta Fair yang berlangsung hingga Juli. Monas dihias. Ondel-ondel dan tiap kantor kelurahan memasang spanduk bertuliskan Dirgahayu Jakarta. Seperti itu biasanya.

Orang tua saya pindah ke Jakarta tahun 1974, mobilnya masih Holden, Cililitan itu sebagai terminal tersibuk. Daerah Pramuka sebagai ujung Jakarta Pusat dan perbatasan Jakarta Timur itu masih tempat pembuangan Sampah. Daerah sekitar Percetakan Negara itu masih sepi. Penjara atau Lembaga Pemasyarakatan Salemba sudah ada. Rawasari itu masih ada area pemakaman. Dan ada satu area yang bernama Rawa Kerbo. Di situ kami pernah tinggal. Disebut Rawa Kerbo, mungkin dahulunya daerah itu banyak kerbau? Entahlah. Yang pasti pada tahun 1979 ketika saya duduk di kelas 1 SD, saya harus melewati pemakaman, jalan yang becek ketika musim hujan karena belum diaspal.Dan anak usia kecil itu harus menyebrang bypass untuk sampai ke sekolah. Dan untungnya bisa selamat mungkin karena jalanan masih sepi alias belum terlalu banyak kendaraan.

Perjalanan pergi dan pulang sekolah itu saya justru harus berhati-hati dan takut  ketika melewati jalan perkampungan. Apalagi dulu itu masih sepi. Dan karena masih banyak rumah warga berhalaman luas plus beberapa rumah memelihara kalkun dan soang. Jangan dikira kalkun dan soang itu tidak bisa mengejar dan mematuk. Paha dan bokong saya sering biru karena hewan-hewan itu.

Sekolah saya ada di area Perumahan sekitar Pulo Mas dan Kayu Putih yang pada waktu itu baru tahap pembangunan. Perumahan Kelapa Gading belum ada. Tak lama ketika duduk di kelas 6 SD, Jalan Layang Tol dalam kota dibangun. Bis Tingkat mulai ada. Disamping bemo dan oplet. Becak mulai diburu. Becak dianggap biang kemacetan. Benda-benda itu disita dan dibuang ke laut. Belakangan, alasan becak-becak dihilangkan dari ibu kota adalah soal kemanusiaan. Konon, becak adalah moda angkutan yang tak manusiawi. Ulala. Itu yang saya ingat. Ingatan lain tentang Jakarta ketika kecil adalah, saya masih sempat diajak ke laut yang gratis bernama Sampur. Pantai itu entahlah kini berada di area mana? Masuk ke dalam lingkungan Pelabuhan Peti Kemas atau sebagaian masuk kawasan Ancol? I dont know.

Jakarta berulang tahun ke 495 pada hari ini. Kadonya? I dont know. Pemberitaannya malah miring. Bahwa udara di DKI Jakarta adalah terburuk di antara kota-kota lain sedunia. Apakah ini politik? Mungkin. Saya tidak berada di pihak Tuan Anis Baswedan. Karena jika bicara kualitas udara yang buruk? Tentu itu adalah sumbangan bersama. Kendaraan di Jakarta dan daerah-daerah penyangga ibu kota yang jumlahnya puluhan juta, adalah ikut menyumbang tercemarnya udara di Jakarta dan sekitarnya. Belum lagi keberadaan pabrik-pabrik dengan polusi dan limbahnya.

Indonesia juga berulang tahun dua bulan lagi (Agustus mendatang). Lalu apa yang bisa dibanggakan dari negeri ini? Banyak pastinya. Dengan sumber daya alam yang tiada terkira plus sumber daya manusianya, seharusnya kita adalah bangsa yang percaya diri. Harusnya.

Bicara soal kota-kota besar di Indonesia dengan masalahnya. Bicara bangsa yang besar ini juga dengan masalahnya, rasanya malah menjadi tidak percaya diri. Jangankan mencari solusi. Kala membahasnya saja? Saya bingung harus memulai dari mana?

Sejak menikah, saya pindah dan tinggal di sekitaran Jakarta, saya membayangkan moda angkutan umum masal yang mudah. Demi menuju Jakarta. Saya tinggal di Tangerang Selatan, dan menuju ke Jakarta yang Jaraknya sekitar 10 km jika ditarik garis lurus, perjalanannya saja butuh perjuangan. KRL ada, namun peraturan berubah-ubah dan sulit bagi mereka yang tidak biasa berolah raga atau karena faktor kesehatan. Naik KRL di Jakarta itu murah tak sampai 1 dolar bisa kemana mana, tetapi transit dan kepadatan penumpang pada pagi dan sore hari atau di jam-jam sibuk alias orang berangkat dan pulang kerja itu, antrian mengular luar biasa. Belum lagi faktor keamanan. Ponsel dan dompet sering hilang. Yang lebih buruk? Pelecehan seksual.

Cerita sedih banyak kita dengar dan kita baca di grup KRL. Bagaimana seorang ibu muda yang menderita kanker stadium tiga, setengah merayap naik KRL lalu kehilangan ponselnya. Padahal di situlah letak semua data penting riwayat kesehatan tersimpan demi memudahkan pengobatannya. Lalu keponakan saya sendiri, pemuda gagah tetapi kehilangan HP dan lagi-lagi di situlah semua catatan/dokumen penting terkait sekolah tersimpan. Maling/copet sudah paham, mana penumpang rentan? Mereka yang tak waspada karena kali pertama naik KRL seperti keponakan saya itu. Atau yang clingak-clinguk. Ada cerita seorang bapak, yang karena kesolehannya, dia melaksanakan sholat dulu di stasiun Transit Manggarai. Musholla yang baru dan bersih tetapi tetapi tidak menjamin keamanan. CCTV belum terpasang. Andai pun ada CCTV apakah jaminan? So, selesai salat, dia harus menerima kenyataan, bahwa sepasang sepatunya telah raib.

Jakarta berulang tahun pada hari ini… saya sebagai salah seorang yang aktif di banyak komunitas literasi menerima beberapa undangan gratis untuk menghadiri beberapa cara di TIM atau Taman Ismail Marzuki. Meski terkesan buru-buru dan mendadak, namun setidaknya undangan sudah banyak disebar di beberapa grup literasi. Undangan yang bagi saya sedikit membosankan. Karena jika dilihat dari runutan acara, tidak ada hal yang baru. Pembukaan (biasanya ada satu tarian daerah sebagai pembuka), sepatah dua patah kata dari panitia atau sekapur sirih  dan dari pejabat yang menjadi perwakilan satu instansi yang mendanai acara tersebut. Kemudian pembacaan doa. Lalu masuk ke acara hiburan. Pembacaan puisi, musikalisasi puisi, penampilan musik and bla bla bla … bla bla bla… duh… saya sudah 12 juta kali menghadiri acara-acara model demikian jika tak mau di sebut kleyengan. Akhirnya, andaipun hadir, itu semata alasan menghargai si pengundang. Hmm… saya bermimpi segalanya berubah semudah membalikan telapak tangan. Well… mimpi adalah mimpi. Bunga tidur.

Tetapi menulis sepanjang ini pun… tentu saja saya tidak membantu dan  malah bisa disebut setengah nyinyir. Jika mau ikut terlibat langsung? Monggo. Jika hanya mau menjadi penonton pun? Monggo.  Yang pasti saya punya impian. KTP saya adalah KTP DKI. Beberapa fasilitas sudah saya nikmati setahun ini. Namun mimpi saya tak berhenti. Apa yang menarik yang akan kita bahas soal Jakarta?

Oh… Tetapi Jakarta juga sudah lebih cantik dari pemandangan Singapura. Sepanjang Jalan Sudirman dan sekitarnya, lihatlah ketika petang hari menjelang malam. Ketika lampu-lampu mulai dinyalakan. Mulai dari penerangan jalan hingga dari gedung-gedungnya yang bertingkat. Itu semua membius. Jangankan bagi orang dari desa. Atau orang-orang dari luar Jakarta. Penduduk yang tinggal di Jakarta sendiri bahkan turis-turis asing yang datang pun akan kagum. Mobil-mobil mewah yang seliweran. Penyebarangan jalan dengan jembatan-jembatan indahnya. Stasiun MRT. Dan tentu saja Mall-Mall keren yang di dalamnya terdapat butik butik yang menyediakan barang-barang merk Internasional. Semua ada di Jakarta.

Tapi jangan lihat hal itu pada siang hari. Jakarta kala cuaca terik dengan jutaan mobil berderet. Plus para PKL yang nyelip atau ada di sudut-sudut manapun. Atau ketika musim hujan. Di mana banjir menjadi pemandangan biasa. Perahu karet terapung hingga lemari dan kasur mengapung di sungai-sungainya.

Jakarta kota Impian. Sejuta harapan… Milyaran angan dan keinginan. Jakarta bisa menjanjikan sekaligus menyakitkan. Mewujudkan Ibu Kota yang sempuran bagi negeri yang indah ini tentu bukan impian semata. Menjadikan warganya damai dan sejahtera itu bukan hanya angan. Kita bisa mewujudkannya. Tidak akan mudah memang. Butuh waktu. Tapi jika kita mau memulai dari sekarang… anak cucu kita nanti yang akan menikmati hasilnya.

Dirgahayu Jakarta. My City. I hate you but i love you.

(CBD)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *