Sejatinya manusia sukar untuk menerima perubahan, entah perubahan yang dialami diri sendiri, orang lain, maupun alam sekitar tempat tinggal. Pada masa lampau manusia dimanjakan dengan keindahan alam, tanah yang subur, pegunungan yang menjulang tinggi, rindangnya pohon, dan birunya air laut. Kini kondisinya telah berbeda, alam tak lagi sama seperti dulu, tidak ada keheningan, sekarang ketenangan dan kenikmatan jiwa telah hilang.
Kerinduan dan kegelisahan terhadap alam sekitar tergambar jelas dalam buku antologi puisi yang berjudul Selepas Musim Menjauh (Jejak Pustaka, 2021) karya Ahmad Sultoni. Penyair asal Cilacap ini menuliskan kepeduliannya terhadap alam sekitar tempat tinggalnya dengan kalimat dan diksi yang megah. Saya serasa dibawa masuk ke dalam dunianya, tulisan yang dibuat membius pembaca untuk ikut kembali ke masa yang telah terlalui.
Ahmad Sultoni mencoba bercakap dan menuangkan isi hatinya tentang perubahan alam di kampung halamannya melalui tulisan. Puisi-puisi ini berisi 50 puisi dengan menggunakan pendekatan nuansa alam. Puisi-puisi Ahmad Sultoni mengusungkan tema alam dan lingkungan yang populer disebut dengan ‘sastra hijau’. Di dalam buku ini dominan menceritakan fenomena alam yang sangat dirasakan oleh Ahmad Sultoni di kampung halamannya ketika kecil. Perubahan fenomena alam sekitar yang dialami membuat Ahmad Sultoni merasa kota atau tempat tinggalnya dulu, sekarang telah menjadi kota yang asing. Seperti dideskripsikan pada puisi Kota yang Asing berikut ini:
“Kotamu yang belum tidur/ selama beberapa tahun/ hanya bisa termenung/ yang tafakur/ jalanan kotaku pernah berkisah keluh/ saat pekat kabut dan angin utara memelukku/ aku memaksamu untuk bercerita/ di pinggir jalan raksasa itu/ ihwal pohon yang makin langka/ ihwal jangkrik yang berhenti mengerik/ ihwal jalanan aspal yang makin panas/ ihwal jiwa-jiwa yang bersahaja/ yang kukenang/ sepeda ontel/ hingga becak delman/ 2018”
Pada puisi di atas, Ahmad Sultoni menceritakan alam sekitarnya yang sekarang telah berbeda, banyak modifikasi yang dilakukan, jalanan banyak yang diaspal dan semakin lebar, pohon-pohon banyak tertebang, suara jangkrik yang berisik kini tak terdengar. Tak banyak yang dapat dikenang, hanya jiwa-jiwa manusia yang bersahaja, sepeda ontel, dan delman yang masih ada dalam ingatan. Dalam puisi ini menampilkan kekecewaan yang dialami oleh Ahmad Sultoni karena semua alam menjadi baru, tampak asing, dan tak seperti dulu.
Kemajuan teknologi yang semakin canggih membuat masyarakat yang berada di tempat tinggalnya semakin maju, meninggalkan segala sesuatu yang bersifat tradisional dan berubah menjadi masyarakat yang modern. Seperti yang dikisahkan pada puisi Warna Sore di Ujung Pohon Mahoni berikut ini:
“Sore belum sepenuhnya selesai/ matahari masih memijarkan warna oranye/ seperti harapan seorang lelaki tua/ yang sedang berjalan di ujung pematang itu/ pada padi-padinya/ yang tak kunjung menguning/ Bertahun-tahun kemudian/ di sore yang belum sepenuhnya selesai/ matahari masih memijarkan warna oranye/ seperti nyala lampu jalanan kota/ jalanan yang dahulu kala pematang itu/ tempat lelaki tua itu menaruh/ harapan pada padi-padian/ yang tak kunjung menguning/ Tahun-tahun lari/ Ini jalanan makin ramai/ tapi di kepala lelaki itu/ hamparan padi menguning/ sulit dilupakan/ 2019”
Pada puisi di atas, Ahmad Sultoni menggambarkan suasana di sawah kala itu. Diksi yang ditulisnya mengandung citraan penglihatan yang kuat, dibuktikan dengan waktu sore hari matahari masih berwarna oranye. Di ujung pematang ada lelaki tua yang sedang berjalan dengan penuh harap melihat padi-padinya yang tak kunjung panen. Setelah sekian tahun berlalu, tempat yang dulunya dipenuhi harapan lelaki tua itu kini menjadi jalanan kota, diterangi banyak lampu, jalanan semakin ramai. Namun, tetap saja di dalam ingatan lelaki tua itu, kenangan pada hamparan padi menguning sulit untuk dilupakan.
Terkadang sebagai manusia kita tak pernah menyadari bahwa kicauan burung dan kokok ayam sangat berarti. Di masa lalu mendengar nyanyian kedua hewan itu membuat dongkol, merasa terusik karena berisik. Kini baru disadari, kurangnya mensyukuri dan menikmati hidup ini membuat kita lupa bahwa segala sesuatu tidak ada yang statis, manusia bersifat dinamis, begitu juga dengan lingkungan. Kampung yang dulunya sunyi kini penuh dengan keramaian. Suara burung dan ayam kini tergantikan dengan suara klakson motor dan mobil yang berlalu lalang. Hal itu digambarkan pada puisi Orkestra Burung dan Ayam di Pagi Hari berikut ini:
“Kata burung pagi ini/ ke mana perginya/ kampungku jadi sunyi/ kokok ayam pun taka da/ o, kampungku telah jadi kota/ kota yang mengusir/ nyanyian burung/ nyanyian ayam/ nyanyian jiwaku/ 2020”
Kumpulan puisi Ahmad Sultoni tidak hanya membawa saya pada ingatan yang dulu sebelum alam sekitar berubah seperti sekarang ini. Namun, lebih dari itu saya merasa adanya kedukaan, berduka karena sulitnya menerima hal-hal baru yang datang dalam hidup kita. Puisi-puisi yang dituliskannya bermakna sangat dalam. Perubahan yang terjadi di kampung halamannya digambarkan dengan sangat apik. Pergantian musim, perubahan kampung menjadi kota, area pematang sawah menjadi jalanan ramai, serta kemajuan masyarakat yang beriringan dengan teknologi.
Tema yang dibuat oleh Ahmad Sultoni dalam kumpulan puisi ini begitu menarik, mengaitkan antara alam manusia, hewan, dan lingkungan sekitar. Pemilihan kata yang indah, menggunakan bahasa-bahasa kiasan yang saya sendiri sedikit merasa kesulitan untuk memahami beberapa kata yang tertera di kumpulan puisinya. Namun, saya bisa menikmatinya tatkala saya ikut masuk menyelami makna kata dari puisi-puisi yang dituliskannya. Ini sebuah kemenangan bagi Ahmad Sultoni karena dapat membuat pembaca terbawa masuk ke dalam puisi yang diciptakannya. Seperti ikut merasakan pahitnya kehilangan kampung halaman.
Nadia Rahmatika, lahir di Tegal tahun 2000. Mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Karyanya berupa esai, puisi, dan cerita rakyat telah terbit di berbagai media massa.