Puisi yang baik kerap lahir dari penyair sejati. Ya, penyair sejati. Ia tidak akan terburu-buru menuangkan gagasan dan pemikirannya dalam puisi. Setiap objek yang dilihat, dirasa, dijalani, diketahui masuk ke ruang pikir yang dalam, lalu, diramu hingga mencapai titik maksimal. Jadilah puisi yang sebenar-benarnya puisi: menggugah dan inspiratif. Kesejatian yang mengalir dalam tubuh penyair pun tidak bisa dikatakan mudah didapat. Selamat membaca puisi-puisi di bawah ini, ada ruang pikir, rasa dan peristiwa yang dibangun sangat terikat oleh penulisnya. (redaksi).

Garis Tanah

sebagai orang dusun,
menikmati udara kota metropolitan,
kota-kota besar tempat jalan raya dan tanah
menjadi anak. kami tak mampu.

tapi tentang menyaksikan anak-anak
menangis terbakar matahari,
tersulut nyeri,
terendam sepi,
tersungkur berkali-kali
di jalan dan halaman rumah merah darah,
kami adalah saksinya dan hafal dari segala arah.

menyaksikan paha-paha berdamai dengan debu,
merasakan menjadi manusia
yang jauh dari semula kita mengadu:
pada ibu,
pada bapak,
pada tanah dan tempat bermain malam kala.
kami tak mampu.

kami tak mampu menikmati hujan
pembawa dingin dan aroma kangen
yang sebenarnya,
tapi tentang luka-luka dan sengsara
di tubuh-tubuh yang tumbuh seadanya
atau cinta dan baku sayang
berbunga mekar-mekar,
kami tak pernah tertinggal
atau meninggalkan.

sebagai orang dusun,
kami haru belajar menjadi seadanya dengan tabah

2020

Ketika ‘Apalah Daya Tangan Tak Sampai’ Berlaku Hari Ini

dada renyuh mata menyaksikan duka sendiri
merawat buku-buku dengan tangan yang lama,
kata-kata yang sama, sementara engkau ciptakan
penyair dan filsuf di tanah-tanah yang tak dapat kujamah
atau pada paragraf kitab-kitab dan surat kabar
yang tak dapat kubaca.

2020

Setelah Gagal Merantau

waktu itu engkau pertemukan aku dengan dunia
nyaris tiada. atau baru dicipta?
engkau suruh aku padami rindu dan menggantinya
dengan cinta apa saja.

tapi restukah tuhan padaku
dengan iba dan darah siap tumpah
dari penggal-penggal cerita

biarkan aku menjadi puisi dengan pengasingan
menebus kutukan
dan menulang dalam kayu-kayu yang tak habis dibakar
sebuah penyesalan.

2020

Di Pemakaman

aku menjemput pesan di batu nisan:
sebuah surat kabar yang gaib
wangsit tanah
hikayat perantauan:
restoran,
hotel berbintang,
toko-toko dan ruko.
lalu membacakan wasiat
pada selembar daun jati dan menghabiskan waktu
dalam menerjemahkan pesan batu
yang akhirnya kembali pada asal-usul
kesunyian mengabdi.

2020

Percakapan Pengantin Lama

bagaimana kota mencintai kita
sepasang dendam setelah gubuk rata

oleh suara mesin
dan teriakan atap-atap
serta jendela dan pintu

kali ini tak ada luar atau dalam
segalanya sama
kecuali langit dan tanah
yang tampak basah

oleh air mata tetangga
oleh kencing anak-anak
yang tak mengerti bagaimana menahan
hujan dan menjawab salam matahari

apakah masih ada cinta?
selain kita dan derita

lalu bagaimana kita temui kota
setelah derai doamu
dimakamkan
maka rawatlah dendam begitu dalam

2020

Romzul Falah HM, lahir di Sumenep, Madura. Alumni pondok pesantren Aqidah Usymuni Terate Sumenep. Bergiat di UKM Sanggar Cemara, Pabengkon Sastra, dan Kelas Puisi Bekasi (KPB). Puisi-puisinya tersiar di Kabar Madura, Radar Madura, Radar Banyuwangi, Cakra Bangsa, Suara Pemred, Suara NTB, Riau Post, Solopos, Bali Post, Bangka Post, Tribun Bali, Rakyat Sultra, Minggu Pagi, Tempo, dll. Juga dalam antologi puisi bersama, di antaranya: Negeri Sawit (Malam Puisi Rantau Prapat, 2019), Negeri Pesisiran (Komunitas Negeri Poci, 2019), dan Mahligai Penyair Titipayung (Mengenang Damiri Mahmud, 2020).

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *