Dongeng Gagak
Sasti Gotama

Tahukah kau dongeng kanak-kanak tentang bocah yang benci dengan hidupnya? Ia mempercepat jalannya waktu dengan cara menarik benang perak dari lubang bola sihir. Hidupnya  berlalu dengan cepat dan ia menjelma kakek-kakek tua yang telah dekat ajal. Jika bocah itu menyesal dan ingin mengulang hidupnya dari awal, aku tidak. Benang hidupku sudah kutarik panjang-panjang dan kutakmau kembali ke masa kanak-kanak.

Mungkin karena aku sudah bahagia saat ini. Seperti  sore ini, ketika memandang istriku menyeduh teh hitam dan uapnya membentuk jejak putih di jendela.

[iklan]

“Senja yang cerah, tapi dingin.”
Aku mengangguk. Begitulah cuaca di Thanlyn di bulan Februari. Berangin, dingin, tapi kering.
“Apakah kau sudah memberi makan gagak?”

Aku menggeleng sambil mengeratkan jaketku. Aku benci gagak. Lagipula aku malas sekali hari ini. Terlalu dingin. Daripada membiarkan udara menjamah kulitku, lebih baik bergelung dalam selimut.

“Gagak-gagak itu bisa mati,” cetusnya.
Aku mencebik. “Biarkan saja.”
“Mereka juga ingin hidup.”
“Di negara asalku, gagak pertanda bencana.”
“Iya, kah?”
“Entah. Banyak cerita tentang gagak yang berdatangan ketika  seseorang meninggal.”

“Hmm, aneh. Di sini banyak gagak beterbangan dan hidupku baik-baik saja. Tapi seandainya ia menjadi pertanda bencana, bukan berarti ia layak mendapat hukuman dan dibiarkan kelaparan,” jawabnya sambil menyesap teh kental. Poni ikalnya bergelantungan di depan dahinya. Ia tersenyum lebar, tatapannya menembus jendela.

“Lihat, gagak-gagak yang datang semakin banyak.”
“Kau saja yang memberi makan.”

Ia mengangkat bahu, lalu tangannya meraih kantong berisi butiran jagung di atas lemari pendingin. Tanpa tergesa, ia membuka pintu depan dan menutupnya kembali tanpa suara. Lima menit kemudian, aku bisa melihatnya dari balik jendela dapur. Ia menebarkan butiran jagung di rerumputan taman.

Puluhan gagak segera mengerumuninya. Sesekali ia tertawa. Ia tampak seperti putri Mongolia di tengah padang salju Siberia. Bedanya, salju di sekitarnya berwarna hitam dan bergerak-gerak seirama paruh mematuk butiran jagung.

Baginya, gagak berarti bahagia. Tapi bagiku, gagak tak seindah itu. Gagak mengingatkanku tentang dongeng yang diceritakan pada siang lengang di sebuah kamar kos yang tak jauh dari rumahku di Semarang. Pendongengnya seorang lelaki kurus berhidung mancung bernama Tan. Ia juga begitu murah hati memberi kami banyak makanan. Coklat, gulali, atau kudapan-kudapan gurih yang terasa lumer di lidah.

Siang itu, tinggal aku sendiri. Coki dan Roni sedang sakit dan tak ikut berkumpul. Tan tampak kecewa. “Padahal aku telah mengarang suatu cerita. Tentang gagak.”

“Ceritakan padaku.”
“Nanti saja. Jika Coki dan Roni bisa gabung.”
“Aku ingin dengar,” ucapku tak sabar di depan pintu kamarnya.

Ia mengangkat bahu, lalu membuka pintu lebar-lebar, membiarkanku menyusup masuk ke dalam kamar yang tampak seperti baru saja diledakkan granat.

Ia kemudian menyuruhku duduk di pangkuannya. Ia memang biasa begitu jika sedang mendongeng.

“Ada seekor gagak di Padang Siberia.” Ia mulai bercerita.
“Di mana itu Siberia?”
“Nanti akan kutunjukkan di peta. Yang jelas, padang yang sangat indah dengan hamparan salju yang menutup seluruh permukaannya.”
“Aku ingin ke sana.”
“Dengarkan saja ceritaku, maka kau akan merasa sedang di sana.”

Aku mengangguk lalu menunggu ia melanjutkan cerita.

“Gagak itu kesepian. Di Padang Siberia ia sendirian, tanpa teman. Ia tak bahagia.”
“Kenapa ia tak bahagia?”
“Bisa kau diam dulu? Cerita ini tak akan maju.”

Aku mengangguk dan membiarkan ia bercerita.

“Karena kesepian, ia membuat teman bagi dirinya sendiri. Ia mencari bonggol tanaman berwarna hitam, lalu menempelkan dedaunan kering yang bisa ia temukan di sekitar. Maka jadilah gagak aneh berwarna kuning kecoklatan. Ia selalu mengajak gagak buatannya berbicara. Kadang ia membelai burung buatannya dengan sayap-sayapnya. Seperti ini.”

Tangan Tan yang kurus dan  kasar mulai membelai pahaku. Oh, rupanya seperti itu gagak membelai? Aku mulai masuk ke dalam ceritanya dan membayangkan sebagai boneka gagak yang aneh.

“Ia melakukannya setiap hari, bahkan mengajak gagak aneh itu menghitung bintang, mencari sisa buah yang bisa dimakan, hingga mengajaknya pergi mencari sarang.”

Tan mulai membuka celanaku dan membelai pantatku. Aku merasa sedikit geli. Aneh sekali cara ia bercerita kali ini. Mungkin ia ingin sekalian bercanda.

“Hingga mereka menemukan sebuah goa besar tak berpenghuni, mungkin bekas beruang Siberia berhibernasi. Lalu, mereka mulai masuk ke dalam dan menemukan kebahagiaan.”

Lalu, aku merasakan nyeri teramat sangat di bagian bawah tubuhku. Lebih sakit dari cubitan ibu atau tamparan ayah saat aku lupa membuat tugas sekolah. Tan membekap mulutku hingga aku tak bisa berteriak.  Tak lama, Tan melenguh panjang laiknya sapi jantan di belakang rumah Pak Karta, lalu mencampakkanku ke atas tilam tipis di lantai kamar. Perih sekali. Tapi, aku takut. Ia sekarang tampak semenyeramkan beruang Siberia.

“Jangan pernah bilang!” Ia menyeringai. Aku ingin menangis, tapi ibu selalu marah jika aku menangis. Ayah juga selalu mengatakan, lelaki harus kuat. Jangan pernah cengeng. Aku ingin bercerita, tapi bingung, pada siapa. Aku merasa sendirian. Mungkin seperti perasaan gagak yang kesepian itu.

Esoknya, aku tak pernah  melihat Tan lagi. Kata bibi tetangga rumah, ia sudah pindah indekos ke kecamatan sebelah yang lebih dekat dengan tempat kuliahnya. Aku hanya bisa diam dan menyimpan lukaku dalam-dalam hingga sekarang.

Mungkin karena itulah aku merasa nyaman dengan Myat, istriku. Dengannya, aku bisa bercerita banyak hal, kecuali masalah dongeng gagak, tentunya. Aku bertemu dengannya pertama kali di bandara Yangon. Ia terlihat kurus sekali dengan longyi merahnya. Aku masih ingat kata yang ia ucap pertama kali. Min ga la ba. Aku yang baru saja menginjak tanah negara ini, bingung bagaimana menjawabnya.

Ia tertawa, memperlihatkan giginya yang tersusun sempurna saat melihatku kebingungan. Kertas besar bertuliskan namaku tampak berguncang seirama tawanya. Setelah tawanya reda, baru ia memperkenalkan diri sebagai staf marketing di perusahaan tempatku bekerja tahun ini.

Tak butuh waktu lama, kami segera dekat, mungkin juga karena kesamaan minat. Kami sama-sama pecinta roti India saus kari. Bedanya, ia lebih menyukai puri yang digoreng sedikit renyah, sedangkan aku lebih suka pratha. Kami akan mencocolkan sobekan roti kami masing-masing ke dalam kuah kari, dan berebut menghabiskannya. Beberapa bulan kemudian, kami menikah, dan kami masih suka berebut kuah kari hingga sekarang.

Sayangnya, ia pecinta gagak. Gagak memang banyak sekali di Thanlyn. Kadang bergerombol di atas kabel telepon ataupun berkerumun di taman-taman kota. Penduduk Thanlyn begitu murah hati membagikan serpihan roti ataupun butiran jagung. Hingga kini, aku tak bisa mengatakan kepada Myat, betapa aku sangat membenci gagak. Bagiku, gagak seperti pemutar piringan hitam yang memutar ulang lagu lama. Mengingatkan aku akan cerita tentang gagak dan gua di Siberia.

Myat sudah kembali, terdengar dari suaranya yang memanggil namaku saat membuka pintu apartemen.

“Gagak-gagak semakin banyak. Kita harus membeli lebih banyak biji jagung.”
“Kau saja yang beli.”
“Ayolah. Hanya sebentar. Tolong belikan sekilo jagung di pasar dekat sungai Bago. Ada penjual jagung bermutu bagus  di sana.”
“Aku malas.”
“Iya, aku tahu. Tapi kau mencintaiku, kan? Demi aku? Please?

Aku menggerutu, tetapi tetap saja  bangkit dan meraih kunci motor yang tergantung di dinding.

“Mungkin aku akan pulang sedikit terlambat. Aku mau sekalian mencari Pratha.”
“Terserah kau saja. Jangan lupa puri yang renyah untukku.”

Aku menghela napas dan melangkah keluar dari pintu apartemen. Udara dingin Thanlyn langsung menyerbuku. Kueratkan jaket dan melangkah ke arah parkiran motor. Beberapa gagak tampak mendekat ke arahku. Kusepak mereka, hingga mereka beterbangan menjauh. Senja mulai merah. Aku harus bergegas, sebelum toko jagung di tepi sungai Bago tutup. Aku meraih sapu tangan hitam yang kulipat menjadi segitiga untuk menutup mulut dan hidungku.

Sambil menyalakan mesin motorku, aku teringat dengan sekumpulan bocah yang suka bermain sepakbola di bantaran sungai Bago. Kadang mereka bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek. Satu di antara mereka suka berontak. Ia menggigit tanganku hingga berdarah  kala kuajak ia  menyusuri gua Siberia –tentu saja setelah kuceritakan dongeng gagak. Tapi  ia bukan tandinganku dan dengan mudahnya menyerah kalah. Aku tak pernah melihat tubuhnya lagi setelah kutenggelamkan di sungai Bago. Mungkin mayatnya terbawa arus hingga ke hilir.

Senja merah hampir berjelaga. Aku harus cepat agar sempat memceritakan dongeng gagak bagi bocah-bocah itu. Mungkin satu di antaranya bersedia kuajak bertamasya ke gua Siberia.

 

sasti gotama

Sasti Gotama adalah seorang dokter umum yang suka menulis dan mengotak-atik kamera. Beberapa cerpennya dimuat di  media massa, cetak maupun on line. Karya-karyanya yang telah terbit adalah Kumpulan cerita Penafsir Mimpi dan Antologi Journey to Infinity

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *