Neng Sarah

 

Setelah pertengkaran hebat hari ini berakhir, suamiku pergi ke rumah orang tuanya dengan keadaan marah dan matanya yang memerah raut wajahnya sangat kesal melihatku. Dia tidak membawa apapun kecuali handphone.

Keesokan harinya aku memutuskan untuk pergi sendirian ke pengadilan agama dan aku hanya membawa kartu nikah, kartu keluarga, dan KTP. Aku juga tidak lupa untuk membawa handphone dan dompet yang hanya berisi 200 ribu di dalamnya dan itu uang terakhirku yang aku sisihkan untuk uang darurat dari gajiku setiap bulan. Pada jam 8:15 mobil yang aku pesan dari aplikasi online telah tiba, perlahan drivernya membuka kaca mobil dan bertanya.

“Apakah kamu yang memesan?”

“Ya Pak, itu saya,” ucapku tersenyum kepada drivernya

“Tujuannya ke pengadilan agama ya Kak?”

“Ya Pak. Kira-kira berapa lama perjalanannya?”

“Sekitar satu jam Kak.”

“Oke Pak.”

Dengan tenang aku mulai masuk ke dalam mobil dan duduk di depan. Perlahan-lahan driver mulai menjalankan mobilnya, dan aku melihat jalan yang aku lewati sedikit demi sedikit. Aku memakai earphone untuk mendengarkan musik, dengan tujuan agar mengurangi rasa panik di dalam diriku. Tetapi aku tidak bisa membohongi perasaanku, hatiku berdegup kencang, dan juga aku merasakan betapa berisiknya kepalaku. Tidak terasa sedikit lagi aku hampir sampai di pengadilan agama, tidak lama kemudian mobil mulai berhenti.

“Kita sudah sampai Kak.”

“Oke Pak, terima kasih.”

Lalu aku mulai turun dari mobil dan mulai memasuki gerbang menuju ke ruang tunggu. Aku mengambil nomor antrian dan lalu aku duduk di kursi paling ujung sebelah kiri. Di sana aku melihat banyak sekali orang, umur mereka bermacam-macam, mulai dari yang sangat muda sampai yang paling tua sekitar umur 60 tahun semuanya ada di sana, kadang aku berpikir mengapa akhir-akhir ini banyak sekali orang yang ingin bercerai?

Tidak berselang lama nomor yang aku pegang dipanggil. Lalu aku masuk ke suatu ruangan, aku dimintai surat nikah dan berkas-berkas yang lainnya. Tidak berselang lama aku mulai dimintai keterangan oleh staf pengadilan agama, selang beberapa saat aku di tanya oleh orang itu akhirnya sampai pertanyaan terakhir.

“Apakah kamu yakin ingin mengakhiri semuanya. Apakah kamu sudah tidak ingin lagi bersamanya?”

“Aku yakin Pak. Aku sudah tidak ingin hidup bersamanya lagi. Aku sudah cukup sabar menghadapi dia selama 7 tahun ini,” ucapku lirih menatap orang itu, lalu tidak lama kemudian aku di suruh untuk pulang dan dimintai hadir di sidang pertama di beberapa hari kemudian.

Aku bersiap untuk pulang. Aku memesan kembali taksi online seperti sebelumnya. Beberapa saat kemudian mobil itu datang, lalu aku masuk dan duduk di belakang, driver mulai menjalankan mobil, dengan tatapan kosong aku mulai membayangkan bagaimana aku akan menjalani kehidupan ku ke depannya. Tapi aku yakin di balik semua ini pasti ada hikmahnya , tidak terasa akhirnya aku sudah sampai di depan rumahku, lalu aku turun dan aku segera masuk kamar dan mengunci kamarku.

Aku melihat di sekelilingku ternyata sangat berantakan sekali, banyak barang berserakan karena kejadian tadi malam, bahkan banyak pecahan kaca di sana. Satu persatu aku ambil dan aku masukan ke tempat sampah. Tidak terasa air mataku menetes, pikiranku kacau aku tidak tahu harus berbuat apa lagi, saat ini aku hanya bisa menangis meratapi nasibku. Tapi di sisi lain aku tersadar bahwa ini bukanlah akhir dari kehidupanku. Tetapi inilah awal kehidupanku yang baru.

Tidak terasa hari dimana persidangan pertama akan dimulai. Pagi itu, aku bangun jam 4 pagi dan aku mulai bergegas ke kamar mandi untuk mandi. Setelah selesai mandi aku segera mengambil wudu. Setelah semuanya selesai aku bergegas untuk salat subuh. Pada jam 8 pagi aku mulai berangkat untuk menuju ke pengadilan agama lagi. Setelah sidang selesai, aku langsung pulang, untungnya sidang itu berjalan lancar.

Setelah beberapa hari aku menungggu akhirnya ada panggilan untuk sidang kedua. Aku memulai aktivitasku seperti biasa dan sampai aku pergi ke sidang ke dua dimana keputusan kedua akan ditentukan. Aku mulai memasuki ruang sidang dengan dua saksi yang ku bawa dan aku menatap hakim di hadapanku. Selang beberapa menit kemudian akhirnya sidang selesai dan keputusan hakim adalah kita berdua telah resmi bercerai.

Dengan perasaan haru dan lega aku meninggalkan ruang persidangan itu. Kala itu, aku tidak langsung pulang, aku duduk dulu di depan supermarket yang tepat berada di depan gedung pengadilan agama itu. Aku membeli sebotol kopi dingin, lalu aku duduk di kursi depan yang ada di luar. Tidak sengaja aku melihat ada seorang ibu-ibu pemulung dan membawa anaknya yang masih sangat kecil mungkin umurnya sekitar 4 tahun. Terbesit di benakku bahwa dia saja masih mau berusaha untuk mencari rezeki sambil membawa anaknya yang masih kecil, walaupun pekerjaannya tidak menghasilkan banyak sekali uang tapi setidaknya dia mau berusaha dan mungkin untuk makan sudah cukup. Mungkin selama ini aku terlalu takut bagaimana kehidupanku ke depannya setelah perceraian ini. Tapi aku lupa kalau aku punya Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang dan maha pemberi rezeki untuk semua umatnya.

“Ya Allah maafkan aku telah melupakanmu. Aku terlalu khawatir dengan kehidupanku ke depannya. Tapi aku lupa bahwa aku punya engkau yang maha pemberi rezeki.”

Akhirnya aku pulang dengan sedikit rasa tenang di hatiku. Sampailah aku di depan rumah. Perlahan aku masuk dan aku memeluk kedua orang tuaku yang sudah lama menungguku pulang. Anakku satu-satunya pun ikut memelukku. Tidak terasa air mataku mengalir deras. Aku meminta maaf kepada orang tuaku karena aku telah banyak merepotkan mereka, tidak terasa rasa haru itu berlangsung lama.

Beberapa hari kemudian masalah semakin berdatangan, entah itu masalah keuangan sampai masalah yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya.  Sampai dimana terbesit di benakku untuk bekerja ke luar negeri. Tujuanku adalah untuk menenangkan diri dan juga membantu keuangan ekonomi orang tuaku. Setelah pertimbangan yang panjang, aku akhirnya memberanikan diri untuk izin kepada kedua orang tuaku. Ternyata ayahku tidak mengizinkanku untuk pergi, dia berkata bahwa dia khawatir denganku jika berada di negara orang, dan jika terjadi apa-apa dia tidak bisa langsung menemuiku. Dia bilang akulah anak kesayangannya dia tidak mau jauh dariku. Tetapi setelah beberapa hari kemudian aku bisa meyakinkan dia bahwa aku bisa menjaga diriku baik-baik di luar sana. Aku janji aku akan pulang dengan selamat dan aku janji akan berusaha mengangkat derajat keluarga kita. Akhirnya dengan berat hati ayahku mengizinkanku untuk berangkat.

Akhirnya aku mencoba mencari referensi perusahaan terpercaya yang bisa membantuku berangkat ke luar negeri. Aku  pun memilih untuk pergi ke negara Formosa yaitu Taiwan. Proses demi proses aku lalui , waktu demi waktu aku korbankan  mengikuti pelatihan untuk bekerja ke Taiwan , dan  sampai pada akhirnya aku bertemu pada hari dimana aku harus berangkat ke Taiwan. Dengan berat hati aku harus meninggalkan keluargaku dan juga anakku satu-satunya. Rasa sedih bercampur bahagia yang aku rasakan saat itu membuatku tidak bisa fokus hari itu. Aku mendapatkan jadwal  penerbangan pada tanggal 11 September 2022. Aku menghabiskan waktu selama 8 jam untuk penerbangan menuju Taiwan.

Dengan penuh rasa syukur akhirnya aku mendarat di bandara Taiwan dengan selamat tanpa kekurangan satu apapun. Inilah awal kehidupan baruku, aku harus bisa mengubah hidupku menjadi jauh lebih baik lagi dari sebelumnya. Tidak terasa waktu terus berlalu, sebelum genap tiga bulan yang aku rasakan adalah rasa ingin pulang ingin berkumpul dengan keluarga, rindu akan anakku satu-satunya. Rasa campur aduk itu terus menghampiriku bahkan setiap malam aku menangis karena itu semua. Tetapi tidak terasa genap satu tahun aku di sini, rasanya aku sudah mulai berdamai dengan diriku sendiri. Aku sudah mulai betah tinggal di negara Taiwan ini, yang aku pikirkan sekarang bagaimana aku harus bisa mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk masa depanku dan juga anakku. Semakin hari aku semakin menikmati pekerjaanku dan mulai mensyukuri apa yang telah aku dapatkan. Aku mulai menikmati prosesnya, sampai dimana aku mulai merasa kesepian, aku membutuhkan seorang teman untuk diajak bertukar cerita setiap harinya, dan akhirnya secara tidak sengaja ada seseorang yang mengirimkan pesan ke salah satu media sosialku.

Ternyata dia adalah pekerja migran yang berasal dari Vietnam, entah mengapa semakin hari semakin seru obrolannya. Kita bisa saling mengerti keadaan satu sama lain dan saling menghargai perbedaan. Suatu hari kamu memutuskan untuk bertemu di satu kota yang berbeda di tengah-tengah dari kota tempat tinggal kita berdua. Dikarenakan dia berada di kawasan atas kota Taiwan sedangkan aku berada di kawasan bawah kota Taiwan, jadi kita memutuskan untuk bertemu di tengah karena kami rasa agar adil dalam hal perjalanan dan lain lain. Karena jarak tempat tinggal kita hampir memakan waktu 4 – 5 jam perjalanan menggunakan kereta api.

Saat itu aku pergi ke stasiun pada jam 8 pagi dan aku membeli tiket kereta yang dimana kereta itu pergi pada  pukul 08.15. Aku harus menunggu sekitar 15 menit. Aku melihat di sekeliling banyak sekali orang yang menunggu kereta. Aku pergi mencari tempat duduk dan aku menemukan kursi di paling ujung. Lalu perlahan aku duduk dan aku sedikit melihat handphone. Beberapa saat kemudian kereta datang, lalu aku bersiap untuk masuk ke dalam kereta itu. Setiap orang satu persatu masuk ke dalam kereta, tidak lama kemudian kereta mulai berjalan.

Aku melihat ke arah jendela ternyata pemandangan kota Taiwan seindah itu, saking larutannya aku dengan keindahan itu, tidak terasa bahwa aku hampir sampai di kota tujuan. Akhirnya kereta itu berhenti juga, aku turun dari kereta dan akan keluar dari stasiun. Ternyata di pintu keluar stasiun sudah ada yang menungguku, tidak lain dan tidak bukan adalah dia. Aku melihatnya, dan menatapnya sebentar. Ternyata aslinya dia lebih tampan dibanding yang aku lihat di media sosial, lalu dia pun berbalik menatapku, tatapannya sangat dalam dengan sedikit senyum manis di bibirnya.

“Apakah ini kamu?”

“Ya ini aku, senang bertemu denganmu.”

Lalu dia mengajakku ke suatu tempat makan yang enak. Dia memesankanku beberapa makanan. Kita makan bersama dan mengobrol seru. Dia sempat bertanya kepadaku, bagaimana pendapatku terhadap penampilannya.

“Apa yang kamu pikirkan pertama kali setelah melihatku tadi?”

“Aku rasa kamu sangat ramah, baik, dan tampan.”

Dengan sedikit tertawa aku mengatakan itu, lalu dia tersenyum melihatku, dan tiba-tiba dia memegang tanganku dengan lembut lalu dia bertanya.

“Apakah kamu mau menemani hari hariku kedepannya. Mau menjadi tempat untuk bercerita tentang keseharianku, berbagi cinta dan juga menjadi rumah ternyamanku. Maukah kamu menjadi pacarku?” ucap dia dengan lembut sambil tersenyum melihatku.

Dengan hati yang berdebar kencang dan sedikit gugup aku terdiam sesaat, aku rasa saat itu seakan akan waktu berhenti sesaat. Aku menatap dia dan aku melihat ke dalam matanya ada harapan yang sangat dalam terhadapku, tanpa berlama-lama akhirnya aku menjawab pertanyaannya dengan jawaban iya. Rasanya setiap detik hari itu adalah hari paling bahagia dalam hidup kita, tidak lama kemudian dia membelikan beberapa hadiah untukku.

Setelah semuanya selesai kita mencari taman terdekat untuk menikmati waktu yang tersisa saat itu. Di taman itu banyak sekali pasangan yang sedang duduk bersantai dan di depan taman terdapat kolam ikan kecil, lalu kita duduk di kursi di bawah pohon yang rindang. Tak terasa karena waktu sebentar lagi mau malam. Kita bergegas untuk pulang dan pergi ke stasiun yang tadi tempat di mana kita bertemu. Akhirnya kita berpamitan untuk pulang, dia memberikan pelukan hangat kepadaku, dan akhirnya kita berpisah.

Aku bergegas untuk membeli tiket kereta ke tujuan kota di mana tempat tinggalku, di situ tertera kereta sekitar 10 menit lagi akan berangkat. Aku menunggu di ruang tunggu, lalu tidak lama kemudian kereta datang dan aku mulai masuk dan mencari tempat duduk yang telah aku pesan sebelumnya.

Akhirnya aku telah tiba di stasiun kota tempat tinggalku, aku mulai memesan taksi untuk pulang ke rumahku. Dikarenakan jarak stasiun ke rumahku lumayan jauh, yang mengharuskan aku memesan taksi untuk pulang ke rumah. Sesampainya di rumah aku langsung menyimpan barang bawaan dan aku siap-siap untuk mandi lalu tidur. Di dalam benakku tidak pernah terpikirkan bahwa aku akan berpacaran dengan orang yang beda agama. Aku berpikir apakah di ujung nanti kita bisa bersama ataukah tidak, karena aku tahu bahwa air wuduku bertemu dengan air tirtamu hanya akan ada air mata di akhir itu.

Waktu terus berlalu, aku yang disibukkan dengan pekerjaanku, dan juga keseharianku tidak terasa aku sudah menjalin hubungan selama satu tahun dengannya. Hari-hari yang kita jalani sama sekali tidak ada pertengkaran atau pun kesalahpahaman. Tepat dimana ada hari dimana kita akan bertemu ke empat kalinya, lalu dia menghampiri ke kotaku dan kita bertemu di satu tempat makan yang ada di sana. Aku melihat dia dari kejauhan, lalu dia melambaikan tangannya dengan senyum manis di wajahnya. Aku melihat dia membawa beberapa barang di tangannya, lalu dia duduk di depan ku, dan kami mulai memesan makanan. Beberapa saat makanan yang kita pesan datang, sambil berbincang-bincang dan sambil menyantap makanan yang kita pesan tadi.

Seperti biasa setelah kita makan kita akan mencari tempat duduk yang nyaman untuk mengobrol, lalu kita menemukan taman di tengah kota yang suasananya tenang dan cukup sejuk. Karena taman itu dipenuhi dengan pohon beringin dan beberapa tanaman bunga yang indah, lalu kita duduk di bersama. Tidak lama kemudian dia mengeluarkan kotak berisi cincin yang indah yang berlapiskan permata yang indah di tengahnya, lalu dia bertanya kepadaku, apakah aku mau untuk menjadi istrinya?

Aku sangat kaget dan aku tidak menyangka dia akan melamarku secepat itu. Aku terdiam sejenak dan lalu aku berkata.

“Agama kita berbeda mengapa kamu ingin menikah denganku?”

“Aku menemukan kenyamanan yang selama ini aku cari, dan itu berada dalam dirimu. Aku melihat sosok yang wanita yang sangat lemah lembut terhadapku. Intinya semuanya yang aku harapkan selama ini ada pada dirimu. Jadi apakah kamu mau menikah denganku?”

“Satu pertanyaanku apakah kamu mau mengikuti agama yang aku ikuti, karena aku tidak ingin meninggalkan Tuhanku.”

“Apakah tidak ada persyaratan lain yang harus aku lakukan selain itu?”

“Tidak ada, karena masalah yang ada dihubungan kita hanyalah itu. Tuhan kita berbeda.”

“Aku akan lakukan apapun itu untukmu asalkan jangan minta aku meninggalkan Tuhanku.”

Di situ kita terlibat sedikit pertengkaran, yang dimana kita tidak mau meninggalkan Tuhan kita. Tetapi kita juga sama-sama ingin bersatu dalam ikatan pernikahan. Aku melihat matanya berkaca-kaca dan juga raut wajahnya yang sangat sedih, dimana seharusnya ini menjadi hari bahagia baginya, tetapi malah berujung kepada kebingungan dan kesedihan.

“Sebaiknya kita memberikan sedikit lebih banyak waktu untuk kita berpikir dan merenungkan ini semua,” ucapku kepadanya, lalu dia menyetujui itu.

Kita pun menghabiskan waktu yang tersisa dengan saling berdiam diri. Rasa canggung yang menyelimuti hati ini, aku bingung harus bagaimana, di sisi lain aku sangat mencintainya dan dia juga adalah sosok orang yang selama ini aku cari, tapi di sisi lain pula aku tidak mau meninggalkan Tuhanku hanya demi seseorang.

“Ini sudah malam, waktunya kita pulang.”

Lalu kita mulai berpisah, dengan berat hati aku meninggalkannya, dan dia menggenggam tanganku seolah olah berkata jangan tinggalkan aku sendirian.

“Jaga dirimu baik-baik. Mari kita renungkan ini terlebih dahulu.”

Dengan senyum manis aku berkata itu kepadanya, lalu dia membalas dengan mencium keningku. Kita sama-sama pergi ke tempat masing masing dengan perasaan yang tidak karuan aku pulang ke rumah. Di sepanjang perjalanan aku hanya bisa melamun dan tatapanku kosong, seperti biasa setelah sampai rumah aku bersiap-siap untuk membersihkan diri. Setelah semuanya selesai aku bersiap untuk tidur, entah kenapa malam itu aku tidak bisa tidur, walaupun rasanya badanku terasa sangat lelah tapi mataku enggan untuk terpejam, mungkin aku masih memikirkan hal yang tadi siang aku alami, rasa ragu rasa bimbang dan rasa sedih semuanya berkecamuk dalam pikiranku.

Aku tidak tahu hubungan ini akan seperti apa akhirnya, apakah seperti kataku tadi jika air wudu dan air tirta bersatu hanya akan ada air mata ujungnya.

Neng Sarah, seorang mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *